Mereka semua tiba di rumah Iza, mereka dipersilahkan duduk oleh Iza, dan Iza menyuruh ART di rumahnya untuk menyiapkan minuman, cemilan dan juga makan malam, Iza kembali duduk disebelah Kelana dan melihat para pria yang saat ini melihat seisi rumahnya dan juga seluruh penjuru ruangan.
“Kalian kayak gak pernah lihat rumah mewah aja,” kekeh Iza.
“Ah sombong banget sih lo, rumah gua aja lebih luas dari rumah ini.” Tora menggeleng. “Oh iya. Kolam renang dimana?”
“Gak ada kolam renang lah di sini.”
“Rumah lo besar dan gak ada kolam renang? Masa sih?” tanya Tora.
“Emang di rumah lo ada?” tanya Iza.
“Ya iyalah ada. Rumah itu baru dikatakan gede kalau ada kolam renangnya.”
“Kalian apa-apaan sih. Kok malah berdebat masalah rumah. Rumah kalian itu mau besar atau kecil tetap aja kalau emang nyaman buat kalian ya udah itu rumah terbaik,” geleng Panji.
“Bener yang dikatakan Panji, kalian gak harus saling membanggakan apa yang kalian punya karena yang kalian punya,” geleng Kelana melanjutkan membenarkan perkataan Panji membuat Panji senang ketika Kelana membelanya.
Awalnya, Panji hanya ingin mendekati Kelana karena penasaran, juga taruhan dari Tora, namun lama kelamaan malah jadi seperti orang yang ingin mendapatkan hati seorang crush. Panji mendesah napas halus dan mengelus leher belakangnya.
Tak lama kemudian, ART di rumah Iza datang dan membawa nampan berisi empat cangkir kosong dan satu teko berisi teh hangat, juga dua piring cemilan. Lalu menaruhnya diatas meja sofa. Iza mempersilahkan mereka semua untuk minum.
“Kalian makan malam di sini aja ya, gue udah nyuruh ART gue untuk masak makan malam,” kata Iza.
“Eh, gak boleh, Iza. Aku gak bisa,” geleng Kelana.
“Memangnya kenapa? Bang Malik? Udah aku udah chat bang Malik dan Bang Malik udah iyain, jadi kamu gak usah khawatir.” Iza menyikut sahabatnya.
Kelana menggeleng, ia tak bisa menolak permintaan Iza karena sahabatnya itu akan terus memaksanya dan baru kali ini juga ia datang di rumah Iza, jadi tidak masalah kalau beberapa jam di sini dulu.
“Makan gratis, Bro,” bisik Tora,
“Diam lo.”
Tora tertawa dan menyesap teh yang sudah dituang oleh Iza sebagai tuan rumah. Tora menyesapnya dan merasakan kesegaran yang tiada duanya. Wangi tehnya benar-benar menggoda, sangat cocok dengan cemilan yang sudah disiapkan.
Hampir dua jam berlalu, Kelana dan Panji duduk di gazebo, sementara Iza dan Tora berdiri didekat taman bunga yang ada di halaman belakang rumah Iza. Seraya menunggu jam makan malam.
Sejak tadi, Kelana tidak mendapatkan telepon dari Malik, artinya masih sangat aman.
“Maaf,” lirih Panji.
“Hem? Maaf karena apa?” tanya Kelana.
“Karena aku belum bisa jadi imam buat kamu,” kata Panji.
“Imam?”
“Maksudnya shalat magrib tadi.” Panji menjawab lagi.
“Oh yang tadi? Emang kenapa? Gak apa-apa kok, kan namanya baru belajar,” kata Kelana. “Nanti makin ditingkatkan saja.”
“Kamu mau gak jadi guru ngajiku?” tanya Panji.
“Aku?” Kelana menunjuk dirinya sendiri.
“Iya. Kita bisa bertemu sepulang kerja.”
“Aku gak bisa melakukannya.” Kelana menggelengkan kepala.
“Kenapa?”
“Karena sepulang kerja aku harus langsung pulang dan aku gak bisa kemana-mana, tadi aja kalau bukan Iza yang chat abangku, aku gak mungkin di izinkan seperti ini,” kata Kelana.
“Begitu ya?”
“Tapi kalau kamu mau belajar mengaji, aku bisa kenalkan kamu dengan seseorang, kebetulan abangku mengajar di pondok pesantren, kalau kamu mau belajar, ada guru ngaji di sana.”
Panji maunya Kelana yang mengajarinya supaya makin dekat, kalau orang lain Panji lebih baik belajar sendiri, semua ini juga demi Kelana. Jadi, Panji akan menolaknya.
“Gak perlu, aku bisa belajar sendiri,” jawab Panji.
“Kan tadi kamu mengajakku untuk jadi guru ngaji.”
“Aku maunya diajarin kamu. Bukan orang lain,” jawab Panji.
“Oh gitu? Maaf kalau gitu. Karena aku gak bisa,” geleng Kelana. “Aku bukannya mau nolak. Tapi emang gak bisa kalau sepulang kerja. Pagi sampai sore juga gak bisa karena kita di kantor.”
“Ya udah gak apa-apa,” kata Panji. “Aku bisa cari guru ngaji lain.”
Kelana tersenyum.
Panji menunduk sesaat dan kembali menatap wajah Kelana dari samping, Panji merasa kagum dan bangga kepada Kelana, karena usianya masih muda, namun sudah tahu banyak agama. Panji tersenyum setiap kali membayangkan wajah Kelana yang begitu kalem dan cantik. Meskipun sering menolaknya, namun Panji tidak pernah menyerah.
“Lan, besok kita makan siang lagi ya,” kata Panji.
“Jangan terlalu sering ya, karena kan di kantor entar salah paham. Malah dikira pacaran,” kata Kelana.
“Emang kamu perduli sama hal itu?”
“Bukankah kamu juga gak mau kan kalau ketahuan sering makan siang bareng?”
“Kamu tahu darimana?”
“Aku tahu kok, hanya aku pura-pura gak tahu aja,” jawab Kelana mulai luwes ngomong sama Panji, mulai akrab dan mulai tak memiliki batasan untuk mengatakan sesuatu. “Kamu kan sedang dapat promosi untuk menggantikan Pak Rabi.”
“Kamu tahu itu juga?”
“Aku sering mendengar Pak Rabi ngobrol sama Bu Wulan.”
Panji mengelus leher belakangnya yang tidak gatal dan tersenyum.
“Jadi, untuk kenyamanan kita, untuk kamu juga, kita gak boleh sering kelihatan bersama, karena itu akan menjadi salah paham dan gak baik juga buat kamu,” kata Kelana tahu segalanya meskipun Panji tidak menjelaskan apa pun.
Panji tahu, bahwa yang dikatakan Kelana memang untuk mereka juga, karena di kantor ada peraturan baru. Jadi, tidak boleh ada yang pacaran, jadi daripada dikira sering bersama dan dikira pacaran, mereka harus menjaga jarak.
“Tapi gak apa-apa kan kalau bareng ke musholah?” tanya Panji.
“Kalau itu sudah tentu. Karena itu adalah ibadah, aku gak mungkin larang kamu ke musholah.”
Panji tersenyum dan menunduk sesaat. Kelana mendesah napas halus dan mencoba mengatur napasnya yang sudah mulai memburu.
“Non, makan malam udah siap,” kata ART di rumah Iza.
“Gais, ayo kita makan malam,” ajak Iza.
“Iz, kalau misalkan udah makan malam, aku langsung pulang aja ya,” kata Kelana.
“Udah gak usah mikirin pulang dulu lah. Kita makan malam dulu dan nikmatin makan malam kita,” jawab Iza.
“Tapi—”
“Beres mah itu, kamu gak usah khawatir,” kata Iza.
Kelana tersenyum dan mengangguk, lalu mereka semua masuk ke rumah, tangan Kelana dan Panji bergesek karena berjalan begitu dekat, Kelana menggeser dirinya agar tidak terlalu dekat dan tidak boleh bersentuhan dengan lelaki yang bukan mahram.
Panji merasakan jantungnya berdetak kencang. Panji merasa lebih dekat dengan Kelana, karena sering bersama.
Panji tersenyum dan mengelus leher belakangnya, mereka lalu duduk di kursi masing-masing, yang sudah ditunjukkan oleh Iza.
“Orangtua lo mana? Sejak tadi gua gak lihat mereka,” tanya Tora yang duduk bersebelahan dengan Panji.
“Mereka kerja.” Iza menjawab.
“Apa? Mereka kerja? Semalam ini?”
“Mungkin pulang besok,” jawab Iza lagi.
“Benarkah?” Tora mengangguk dan paham.
Iza sering memaksa Kelana agar mau ke rumahnya karena Iza pengen punya teman, karena kesibukan orangtuanya, Iza sendirian di rumah.
Iza menunduk setelah pertanyaan itu akhirnya datang dari temannya. Iza jadi akan kesepian lagi kalau mereka semua pulang.
Kelana menyentuh lengan sahabatnya dan tersenyum, Kelana paham dengan apa yang dirasakan Iza saat ini.