Kelana dan Panji kembali ke kantor, setibanya mereka di lift, mereka lalu keluar dan berdiri didepan lift, Kelana menoleh sesaat melihat Panji yang menghentikan langkah kakinya.
Kelana lalu melanjutkan langkahnya dan masuk ke ruangan staf. Tanpa Kelana ketahui, Panji tidak mau terlihat oleh semua orang bahwa ia dan Kelana kembali bersama. Jadi, Panji sengaja mempersilahkan Kelana untuk duluan ke ruangan.
Kelana lalu duduk dikursi kerjanya. Kelana menoleh melihat Iza yang datang dan menggeser duduknya. Seperti biasa, Iza akan menginterogasinya.
“Kamu darimana?” tanya Iza.
“Aku dari makan siang,” jawab Kelana.
“Di kantin?”
“Iya.”
“Kenapa aku gak lihat kamu?”
“Aku tadi pas ke kantin udah gak ada orang sih.”
“Masa gak ada orang. Terus pelayan di sana bukan orang?”
“Maksud aku pekerja.”
Iza mengangguk. Kelana berbohong karena tidak mau ketahuan kalau ia dan Panji makan siang bersama, ia tidak mau berkata jujur karena ada peraturan di kantor ini yang bisa membuatnya dan Panji tertekan. Kelana tersenyum lagi.
“Lan, kita ke rumahku yuk,” kata Iza.
“Emang ngapain ke rumah kamu?” tanya Kelana.
“Aku mau ajakin kamu makan siang. Aku yang akan ngomong sama Bang Malik.”
“Ya udah. Kamu ngomong aja sama Bang Malik. Kalau diizinkan aku akan ke rumah kamu.”
“Bener ya. Jangan ada alasan hafalan ini, hafalan itu lagi.”
“Iya. Tenang aja. Gak ada kok yang harus aku hafal hari ini.”
Iza tersenyum dan kembali ke meja kerjanya untuk mengambil ponselnya. Ia mengirim pesan kepada Malik untuk meminta izin membawa Kelana ke rumahnya hari ini, Kelana menoleh melihat Iza yang begitu semangat mengetik diponselnya.
Tak lama kemudian. Panji masuk ke ruangannya dan duduk dikursi kerjanya. Panji menyikut Tora karena Tora memandanginya seolah mau mengatakan sesuatu dan menanyakan darimana dia. Namun, Panji menggeleng dan tak mau membahasnya dulu.
“Ada kemajuan?” bisik Tora.
“Emang lo tahu gua darimana?”
“Makan siang bareng Kelana, ‘kan?”
“Ah salah. Gua dan Kelana gak makan siang bareng,” geleng Panji. “Kalau gua dan Kelana makan siang bareng, Kelana gak mungkin ada di sini lebih dulu dari gua.”
“Iya juga, ya,” angguk Tora tak membahasnya lagi.
Panji tersenyum dan menoleh sesaat melihat Kelana. Panji menunduk dan kembali fokus pada layar monitornya. Panji mengelus leher belakangnya karena ia cukup senang telah berhasil mengajak Kelana untuk makan siang sama-sama. Semoga saja ini adalah awal yang baik.
“Lo dicariin sama Pak Rabi,” kata Tora.
“Eh gua dicariin? Kenapa lo gak bilang dari tadi?”
“Gua baru ingat.”
“Ah lo apaan sih. Gua temuin dulu,” kata Panji hendak bangkit dari duduknya, namun Tora menariknya untuk duduk lagi. “Apaan sih.”
“Percuma lo temuin Pak Rabi sekarang, karena Pak Rabi lagi gak ada ditempat, lagi ada rapat di luar. Kayaknya tadi mau ngajakin lo rapat deh, tapi Dion udah gantiin lo,” kata Tora membuat Panji menggeleng dan menyalahkan diri karena Dion menggantikannya. “Makanya lo kalau makan siang tepat waktu dong. Shalat kan bisa kapan-kapan aja. Waktunya juga panjang.”
Panji menggeleng dan tidak masalah jika Rabi tidak mengajaknya dan malah mengajak Dion, karena hari ini ia senang karena bisa makan siang berdua dengan Kelana.
***
Sore menunjukkan pukul 5. Terlihat Kelana dan Iza keluar dari lift seraya bergandengan tangan, Kelana tersenyum dan melihat Iza begitu senang ketika berhasil mengajaknya ke rumahnya. Rumah Iza memang baru saja di renovasi dan Kelana belum pernah melihatnya, baru hari ini ia berhasil mengajak Kelana.
“Hei, kalian mau kemana?” tanya Tora menghampiri keduanya. Tora bersama Panji.
Panji dan Kelana bertukar pandangan sesaat dan kembali memalingkan wajah mereka.
“Apaan sih lo, gak usah sok akrab deh.” Iza menggelengkan kepala.
“Apaan sok akrab. Gua gak sok akrab kali,” geleng Tora. “Gua hanya nanya mau kemana kalian.”
“Gue sama Kelana mau ke rumah gue, emang kenapa? Mau ikut?” tanya Iza.
Kelana mencubit kecil lengan sahabatnya, namun Iza tak menyadarinya. Kelana menggeleng karena Iza terus saja bertengkar dengan Tora setiap mereka bertemu.
“Gua mau ikut dong. Emang rumah lo dimana?” tanya Tora.
“Gue hanya basa-basi kali. Gak usah percaya.”
“Gak mau. Pokoknya gua ikut ke rumah lo. Kan lo udah ajakin.”
“Idih maksa banget sih,” geleng Iza.
“Gua gak sendiri kok, bareng sama Panji juga,” kata Tora menarik Panji, membuat Panji menoleh sesaat melihat Kelana yang tak tahu apa-apa. “hari ini soalnya kita free. Iya kan, Ji?”
“Apaan sih lo?” bisik Panji.
“Ini kesempatan lo buat deket sama Kelana,” bisik Tora memahami perasaan sahabatnya.
Kelana mengelus belakang hijabnya dan bingung dengan sikap keduanya. Tak pernah akur dan selalu saja berantem.
“Mau kan, Ji? Kita kan gak pernah lihat rumah lo, Za. Jadi, ajakin kita aja.” Tora melanjutkan.
Iza tidak tahu harus menolak apa tidak, kalau menolak ia tidak enak kepada Panji, dan jika tak menolak ia malas sekali berurusan dengan Tora.
Iza mendesah napas halus dan mengangguk. “Ya udah.”
“Kalian naik mobilku saja.” Tora melanjutkan.
Kelana menoleh dan melihat Iza, karena yang berhak memutuskan adalah Iza, bukan dirinya.
“Ya udah ayo.” Iza lalu melangkah bersama Kelana didepan Panji dan Tora.
Mereka lalu melangkah masuk ke mobil Iza. Iza yang tak paham duduk dikursi belakang bersama Kelana, padahal sejak tadi Tora mengajaknya untuk duduk didepan. Biar Panji yang duduk dibelakang bersama Kelana, namun Iza malah tidak paham sama sekali dan malah tetap duduk dikursi belakang. Panji memberi kode kepada Tora untuk jalan. Tak perlu mempermasalahkan tempat duduk.
Mereka lalu berangkat.
***
“Kok masih di sini, Bang? Bukannya mau jemput Lana?” tanya Fauziah yang saat ini membawa teh bersama cemilan diatas nampan.
“Tadi, Iza chat Abang, minta izin untuk Kelana. Iza mau ngajakin Kelana ke rumahnya katanya. Karena baru selesai direnovasi.” Malik menjawab.
“Oh begitu? Pantas aja abang gak segercep biasanya,” kekeh Fauziah.
“Gak apa-apa lah sesekali Abang izinkan Kelana untuk bergaul juga.”
“Kok Abang baru mikirnya sekarang? Kelana itu udah dewasa, emang gak boleh dikungkung terus.”
“Iya iya. Kamu pasti akan belain Kelana.”
Fauziah tersenyum dan berkata, “Soalnya kasihan sama Kelana, Bang. Setiap hari harus bergelut dengan bacaan yang Abang suruh. Jadi, sudah saatnya Kelana bisa pulang sendirian. Dan bisa bergaul sama Iza.”
Malik mengangguk.
“Abang minum gih tehnya.”
Malik mengangguk dan menyesap teh tersebut.
“Lalu pulangnya bagaimana?” tanya Fauziah.
“Udah jadi tanggung jawab Iza katanya.” Malik menjawab.
Fauziah mengangguk dan senang kalau suaminya itu mau mengizinkan Kelana berteman.