Sekuat tenaga aku mencoba menahan air mata agar tak luruh di hadapan dua bersaudara yang kini berdiri bersisian di area dapur. Benar, aku memang takut ditertawakan.
"Ndra, aku pengen bicara sama kamu." Suara bariton Mas Aryan memecah keheningan. Dengan hati bergemuruh aku mendongak menatap wajah suamiku yang terlihat serius kali ini. Dimas sendiri menajamkan pandangan menatap kakaknya.
"Bisa?" tanya Mas Aryan penuh ketegasan.
Hatiku makin tak karuan dibuatnya. Mau berbicara apa Mas Aryan sekarang? Pentingkah? Dadaku tiba-tiba berdebar hebat karena penasaran dengan apa yang akan suamiku sampaikan.
"I-iya, Mas, bisa. Mau bicara di mana?" tanyaku agak tergagap. Dimas masih berdiam diri menyimak percakapanku dengan kakaknya. Suamiku melirik adiknya sesaat sebelum menjawab pertanyaanku.
"Di kamar aja," jawab suamiku cepat. Aku mengangguk dengan gugup.
"Ayo," ajak Mas Aryan padaku.
Mas Aryan pun berjalan menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua, sedang aku mengikuti langkahnya di belakang. Sementara Dimas berdecak sebal saat ditinggalkan sendiri di dapur.
Sesampainya di kamar, Mas Aryan mengunci pintu. Menciptakan perasaan was-was yang tak bisa kulukiskan. Wajar aku khawatir. Mengingat hubunganku dengan suami yang memang tak pernah harmonis sejak terikat pernikahan.
"Mas, mau ngomong apa, sih?" tanyaku penasaran—masih seraya mencoba menetralisir perasaan agar tak terlihat tegang.
Mas Aryan tak buru-buru menjawab pertanyaanku. Dia hanya menatapku dengan tatapan penuh kebencian yang membuatku terpaksa menunduk saat dua bola matanya beradu dengan mataku.
Mas Aryan mengambil napas panjang sebelum memulai perkataan. Aku hanya sanggup meremas jari dengan perasaan kalut yang tak kunjung pergi.
"Kamu sengaja bikin aku cemburu dengan memamerkan kedekatanmu dengan Farel? Iya?" cecar Mas Aryan dengan kilat kemarahan yang terpancar di matanya.
Ya ampun, kenapa dia bisa terlihat semarah ini? Bukankah itu hal remeh yang tak pantas diperdebatkan? Kenapa juga Mas Aryan menganggap serius hal ini?
Aku memilin jari-jemari dengan perasaan tak menentu.
Ah, aku benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran suamiku. Bukankah dia tidak pernah mencintaiku? Kenapa juga dia harus menuduhku yang tidak-tidak?
Aku mengambil napas dalam sebelum memberi penjelasan. Aku rasa Mas Aryan benar-benar sudah salah paham kali ini.
"Ya Allah, Mas … enggak. Kenapa kamu sampai berpikiran begitu?" Aku mencoba meyakinkan suamiku dengan menatap dalam mata elangnya. Kupegang kedua pundaknya mencoba meyakinkan kalau tuduhannya tidaklah benar.
Mas Aryan menghempas dengan kasar kedua tanganku yang memegang pundaknya, lantas berdecak sebal. Aku mengerutkan dahi, makin tak mengerti dengan jalan pikirannya sekarang.
"Kamu pikir aku bakal cemburu? Iya?" tanya Mas Aryan dengan intonasi suara yang naik beberapa oktaf. Membuat jantungku berdegup kencang. Bukan sedang jatuh cinta, tapi menahan rasa takut. Takut dia bakal menghabisiku kali ini. Mungkin, posisiku saat ini persis seperti rusa yang tengah melihat singa dari kejauhan dan tengah berjalan mendekat.
Akan tetapi, yang membuat aku heran, kenapa kata cemburu itu dia ucapkan berulang-ulang? Apa mungkin memang dia benar-benar cemburu? Ah, entahlah. Pertanyaan penuh keheranan ini masih saja memenuhi benakku.
"Mungkin," jawabku sambil menyilangkan tangan di depan d**a mencoba bersikap senormal mungkin. Membuat kemarahan di wajah Mas Aryan semakin terlihat nyata.
"Mungkin apa? Cemburu?" bentak Mas Aryan seperti tak terima, matanya melotot saat menatapku.
"Iya," balasku ketus sambil membalas tatapan mata garangnya.
"No way! Jangan harap!" teriak Mas Aryan dengan gayanya yang arogan.
Oh, ternyata dia memang tak sependiam yang kubayangkan.
"Terus kenapa juga kamu harus marah-marah kalo gak cemburu?" Olokku kesal dan tanpa terasa aku berteriak dengan suara lantang.
"Aku cuma tidak suka melihat istriku jalan dengan laki-laki lain," gumam Mas Aryan. Dia berucap seraya berkacak pinggang tanpa menatapku. Penuturannya kali ini mampu memancing senyuman di bibirku.
"Itu artinya … kamu cemburu," ucapku lantas menutup mulut dengan mata menyipit menahan senyuman. Sedangkan hatiku berbunga-bunga mendengar apa yang suamiku lontarkan.
"Omong kosong macam apa ini, Sandra? Jangan mimpi kalau aku bakal cemburu padamu!" berang Mas Aryan, matanya melotot saat menatapku. Otot-otot lehernya bahkan begitu kentara saat ini. Membuat bunga yang tengah bermekaran dalam hatiku layu dalam seketika.
"Perlu kamu garis bawahi, sejauh ini cuma Mela gadis paling istimewa," Mas Aryan menimpali penuturan sebelumnya yang sebenarnya sudah cukup membuat hatiku hancur. Aku yag tadinya serasa sedang melayang dalam seketika terhempas dan jatuh ke dasar bumi sampai berkali-kali. Dan, rasanya … sakit.
"Terus, kenapa kamu ngelarang aku jalan sama laki-laki lain?" cecarku menahan rasa yang semakin menghimpit dalam d**a. Sungguh, ternyata, cinta tak berbalas memang menyakitkan. Namun, aku bertekad akan tetap memperjuangkan cinta sejauh mana yang aku bisa.
"Karena kamu istriku, kau paham?" Mas Aryan kembali membentak. Emosinya kali ini terasa sangat meledak-ledak. Sungguh, ini pertama kalinya dia semarah ini padaku selama pernikahan kami.
"Aku tidak mau orang merendahkanku, saat melihat istriku jalan dengan laki-laki lain." Dia mencebik bibir pasca kata-kata itu terluah dari bibirnya.
Apa yang dia inginkan sebenarnya?
"Terus, gimana hubungan kamu dengan Mela? Apa masih berlanjut?" cecarku dengan hati pilu. Merasa ini semua sangat tak adil bagiku. Dia tak mencintaiku, tapi tak suka melihatku dengan laki-laki lain.
"Bukan urusanmu!" dia menjawab dengan sangat ketus.
Aku terdiam membisu sambil meremas ujung kaos yang kukenakan. Karena tak tahu harus berbuat dan berucap apa kali ini.
"Kamu tahu, kan aku menikahimu cuma untuk menyenangkan hati Papa? Dan … aku hanya menunggumu menyerah untuk mengakhiri pernikahan konyol ini." Ucapan suamiku terdengar bagai petir yang sanggup meluluh lantahkan ketegaranku.
Pernikahan konyol dia bilang? Mataku memanas dengan kaki yang perlahan terasa lunglai dan seperti tak sanggup lagi menopang badan.
"Aku gak akan pernah menyerah. Karena aku mencintaimu," ucapku penuh kepiluan. Serasa ada yang tercekat di tenggorokan.
Mas Aryan tersenyum miring mendengar kata-kataku yang diucapkan dengan iringan rasa kecewa. Dia sama sekali tak menunjukkan rasa empati melihat kepiluan yang pastinya tergambar jelas di wajahku.
"Ok. Aku tunggu, sampai sejauh mana kau akan bertahan, Kasandra," ejek Mas Aryan dengan nada merendahkan.
Tanpa bisa kubendung, air mataku luruh. Benteng pertahananku roboh sudah.
Melihat tangisanku, Mas Aryan hanya tersenyum sinis tanpa rasa belas kasihan sedikit pun.
"Sandra … Nak! Kamu baik-baik aja, kan? Apa tanganmu terluka kena pisau?" Dari luar, terdengar mama mertua berteriak seperti mengisyaratkan kekhawatiran.
"Enggak, Ma. Sandra cuma lagi ngelap mata yang pedih habis ngiris bawang tadi." Aku terpaksa berbohong menyembunyikan kesedihan.
"Ada Aryan juga ga di dalem?"
"Iya, Ma," balas suamiku cepat.
"Oh, Mama ganggu, ya? Maaf, deh." Kata-kata mama mertua membuatku tersenyum geli.
"Iya, Ma, mengganggu pertengkaran." Aku berucap lirih yang disambut oleh suamiku dengan mata melotot.
"Iya, nih, Ma, gangguin aja nih. Pasangan suami istri yang lagi sayang-sayangan." Terdengar suamiku membual kali ini.
"Oh, ya, udah sok diterusin." Terlihat mertuaku cekikikan.
Melihat suamiku yang sedang tertunduk, tanpa berkata apa pun, aku berjinjit dan mengecup bibirnya sekilas.
Mata Mas Aryan membulat sempurna dalam seketika.
"Keterlaluan kau, Sandra!" desis suamiku dengan mata melotot tajam padaku.
"Bodo amat!" Aku berlari lantas membuka pintu meninggalkan suamiku yang berdiri kaku yang pastinya masih menyimpan rasa kesal oleh perbuatanku.