Haruskan Aku Melepasnya?

961 Kata
Papa mertua menyambut hangat kedatanganku dan Mas Aryan sore ini. Dengan tampang sok manis, aku menggamit mesra lengan suamiku. Terserah, Mas Aryan bakal suka atau tidak. Yang jelas, aku tak akan menyia-nyiakan momen kali ini. "Nah, gitu, dong, Yan, harus rukun sama istri. Punya istri harus dimanja dan disayang," ujar papa mertua kala kami melangkahkan kaki masuk ke rumah yang Mas Aryan tinggalkan semenjak menikah denganku. "Iya, Pa." Mas Aryan mengangguk ramah pada pria paruh baya yang banyak berjasa padaku dalam meraih mimpi memiliki seorang Aryan Aditya Wardhana. Mas Aryan tampak tak nyaman ketika aku terus menggandeng lengannya bahkan saat kami duduk berdepan-depanan dengan Papa. "Duh, mesranya … penganten baru ini," celetuk mama mertua yang muncul tiba-tiba dari arah dapur. "Ah, Mama apaan, sih?" Mas Aryan tampak gugup dan salah tingkah mendengar ledekan sang mama. Segera aku bangkit dan menyalami mama mertua dengan takzim. Sudah seharusnya begitu, kan? Sebagai menantu kita memang harus bersikap ramah dan manis bukan? "Gimana kabar kamu, Sandra Sayang?" tanya mama mertua. Beliau memang senantiasa bersikap manis padaku. Entahlah, mungkin karena ketiga anaknya laki-laki atau karena hal lain, aku tak tahu. Saat aku menikahi anak sulungnya, beliau memang sempat mengatakan jadi bisa merasakan seperti apa memiliki anak perempuan. "Baik, Ma," balasku sambil tersenyum. "Mas Aryan gimana? Masih kaku kayak kanebo kering?" tanya mertuaku yang diiringi tawa kecil kala memandang putranya yang tampan. Aku hanya cekikikan menyambut gurauan mama mertua. Mas Aryan sendiri tersenyum getir saat menatap ke arahku dan ibu kandungnya. Sementara papa mertua terkekeh mendengar istrinya berkelakar sore ini. "Engga, Ma, Mas Aryan baik, kok. Sikapnya juga selalu manis sama Sandra." Aku harus berkata bohong agar Mas Aryan tak memakiku saat sampai di rumah nanti. "Oh, syukurlah." Mama mertua tersenyum lega. "Syukurlah, San. Kamu harus pinter-pinter ambil hati suamimu, seperti Mama yang pinter ngambil hati Papa," serobot papa mertua yang memancing senyum di pipi wanita paruh baya yang berdiri di hadapanku. "Ah, Papa, malu lah, jangan diceritain!" sergah mama mertua dengan wajah bersemu merah. Papa mertua kembali terkekeh. Sementara anak sulungnya tampak tak begitu menikmati suasana yang mungkin baginya amat membosankan. "Ma, Sandra sama Mas Aryan malam ini boleh nginep nggak? Kebetulan Sandra besok nggak ada jadwal kuliah," ungkapku sambil menyusun rencana. Mendengar ocehanku yang mungkin tak disangka-sangka, Mas Aryan tertegun. "Kamu serius, Sayang, mau nginep di sini?" tanya Mas Aryan yang di dalamnya pasti tersirat rasa tidak suka akan rencanaku kali ini. Beginilah suamiku, memanggilku dengan sebutan sayang hanya saat di depan orang tuanya. "Iya, dong, Mas, serius." Aku bersikeras dengan nada penuh keyakinan. "Kamu kenapa, sih, Yan? Istri pengen nginep aja kayak keberatan begitu?" protes mama mertua sambil melotot manja pada putra sulungnya. "Masalahnya …." Kata-kata Mas Aryan terdengar menggantung. "Apa masalahnya? Sandra gak bawa baju ganti?" sela mama mertua. Mas Aryan mengangguk dengan gugup. "Ada, kok beberapa, kemarin-kemarin sebelum ke kampus, Sandra bawa baju ke sini." Mama mertua memberi penjelasan. Aku manggut-manggut membenarkan apa yang dikatakan mama mertua kali ini. Mas Aryan terkesiap mendengar penjelasan mamanya. Sedang aku hanya tertawa dalam hati melihat suamiku yang tampak tak berkutik saat ini. Seperti biasa papa mertuaku yang murah senyum terkekeh mendengar penjelasan sang istri dan melihat sikap putra tampannya yang tampak salah tingkah. "Ma, udah masak yang buat makan malam?" tanyaku mengalihkan perhatian. "Belum, Sayang. Kamu mau bantuin masak?" tanya mama mertua meyakinkan, yang kubalas dengan anggukan mantap. "Ya, udah, yuk." Mama mertua menarikku ke dapur. "Kebetulan siang tadi Bi Rohmi pulang kampung, anak beliau sakit. Jadi Mama emang harus masak sendiri hari ini," tukas mama mertua menceritakan perihal asisten rumah tangganya. Di rumah ini memiliki tiga ART, tapi untuk urusan dapur, mama mertua memasrahkannya pada Bi Rohmi yang menurut beliau masakannya sesuai selera keluarga ini. Saat tengah meracik bahan masakan, sebuah suara yang cukup aku kenal membuyarkanku dari lamunan. "Masak apa, Kakak Ipar?" Lelaki 24 tahun yang aku kenal sejak lama bersedekap di sampingku yang tengah sibuk dengan urusan dapur. Aku tak segera menyahut menjawab pertanyaannya. Aku masih saja menyibukkan diri dengan kegiatanku. Malas sekali menanggapi ocehan tak penting laki-laki ini. "Masak apa, Kakak Ipar Sayang?" Geli sekali aku mendengar kata sayang meluncur dari lelaki menyebalkan ini. "Kepo!" jawabku ketus. Dari dulu aku memang tak suka padanya. Dia terlampau pecicilan. Dan sialnya, saat menikah dengan Mas Aryan, aku baru tahu kalau lelaki ini adik suamiku. "Ya ampun, kakak iparku galak amat, ya?" ledeknya menjengkelkan. Aku hanya mencebik bibir mendengar ocehannya yang senantiasa membuatku kesal. "Dimas, bisa gak kamu gak gangguin orang masak?" Aku bertanya dengan nada kesal. Rencanaku menginap adalah agar Mas Aryan bisa lebih mesra padaku. Namun, yang kuhadaapi sekarang justru adiknya yang seperti kurang kerjaan asyik menggangguku. "Sandra, kamu gak takut kena karma?" tanya Dimas santai, ia masih sambil bersedekap saat menatapku. Aku meletakkan pisau dapur yang sedari tadi kupegang. Aku menatap padanya dengan rasa kesal yang makin menjadi. Muak sekali mendengar kata itu berulang kali ditujukan padaku? "Karma? Maksud kamu apa?" tanyaku dengan d**a berkecamuk. "Karma karena menikung sahabat sendiri?" Dimas kembali mengungkit dengan gaya bicara yang ringan tanpa beban. "Aku gak butuh pendapatmu." Aku berdecak sebal. Ah, apakah keputusanku menginap adalah keputusan yang salah? Selalu saja, orang-orang yang tak suka dengan pernikahanku dengan Mas Aryan mengingatkanku akan karma. Sefatal itukah perbuatanku? "Kalau sekiranya kamu lelah menaklukkan hati suamimu yang masih milik wanita lain, kamu bisa datang padaku. Aku akan menerimamu dengan ikhlas. Melakukan turun ranjang pun aku siap." Dimas berbicara panjang lebar, membuat telingaku semakin panas. Mataku hampir meloloskan air mata mendengar penuturan adik iparku barusan. Senista itukah aku? Mencintai pria yang tak mencintaiku? Apakah mendapatkan hati Mas Aryan adalah sebuah mimpi yang tak kan mungkin terwujud? Tanpa kuketahui sejak kapan kedatangannya di dapur, Mas Aryan berdeham mencairkan suasana kalut antara aku dengan adiknya. Aku menoleh, menatap suamiku dengan mata berkaca. Haruskah aku melepasnya agar orang-orang berhenti memperolok diriku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN