"Yan, kira-kira ... kapan, nih Papa sama Mama bakal bisa nimang cucu?"
Mas Aryan terbatuk saat papa mertua menanyakan perihal cucu padanya.
"Aku, sih, terserah Sandra aja, Pa, siapnya kapan," celoteh suamiku saat duduk bersama di meja makan malam ini.
Kali ini, giliran aku yang terbatuk mendengar bualan suamiku di depan kedua orang tua serta dua adik laki-lakinya. Sementara mama mertua senyam-senyum menyambut ucapan suamiku yang tidak bisa dipastikan keasliannya. Ibarat emas, mungkin kata-kata suamiku barusan setara dengan emas imitasi.
Saat kulirik, dua adik iparku tampak menunjukkan raut berbeda dalam menyikapi omong kosong sang kakak sulung. Dimas menatap sengit pada Mas Aryan, sementara si bungsu, Denis cuma cengar-cengir.
"Ihir … makanya, gempur terus, Mas," celetuk Denis tanpa tedeng aling-aling pada suamiku--yang dibalas dengan tatapan tak bersahabat si tampan--yang duduk bersebelahan denganku.
"Belum pernah nelen sendok?" Suamiku mendelik menatap adik bungsunya. Denis hanya cengar-cengir melihat ekspresi kemarahan yang ditunjukkan kakaknya. Ah, Denis, kelakuanmu persis dengan Farel yang selalu santai dalam segala kondisi.
"Ya ampun, calon bapak, galak amat. Kak San, ntar dikasih jatah, dong ini suaminya. Biar nggak cepet emosian kayak gini," usul Denis tanpa takut kena gampar atau lemparan garpu dari kakak sulungnya yang hari ini mudah tersulut emosi.
Aku, mama, dan papa mertua hanya terkikik melihat pertikaian lelaki beda usia sembilan tahun tersebut. Sementara Dimas yang duduk di samping Denis tampak duduk tak tenang saat ini.
***
"Sekarang pun aku siap, Mas," bisikku di telinga suamiku saat kami sudah sama-sama naik ke atas ranjang malam ini.
Mas Aryan menatapku tajam.
"Nggak usah ngimpi! Siapa juga yang pengen hamilin kamu." Seperti biasa kata-katanya memang pedas, lugas, dan menyakitkan.
Meski aku tahu kata-kata Mas Aryan di depan orang tuanya cuma sekadar basa-basi saat membicarakan perihal momongan, tapi tetap saja, aku sakit hati saat dia menjelaskan padaku secara tegas soal penolakannya padaku.
"Satu lagi, nggak usah kegatelan cium-cium terus, aku enek!" Lagi suamiku berucap dengan gaya ketus yang dimiliki.
Aku mengusap d**a sambil beristighfar. Astaghfirullah.
"Enek apa enak?" godaku sambil mesam-mesem. Aku tak mau lagi terlihat rapuh di hadapannya. Sebisa mungkin, aku harus tetap terlihat ceria. Aku tak ingin lagi menampilkan wajah cengeng di depan suamiku.
"Enek lah, ngarep banget jadi enak," sindir suamiku cepat tapi menusuk.
Aku kembali beristighfar. Ya ampun, begini amat, punya suami?
Aku menarik selimut tak mau berdebat lagi, aku sudah kehilangan mood untuk menarik perhatiannya. Aku bahkan tak peduli lagi jam berapa suamiku akan tidur.
Terserah!
***
Selepas salat subuh, aku turun ke dapur untuk membantu mama mertua menyiapkan sarapan pagi ini.
"Udah bangun, Menantu Mama yang paling cantik?" Mama mertua yang tengah mengiris daun bawang--mungkin untuk membuat sup—tampak riang menyambut kedatanganku ke dapur.
Aku tersenyum simpul menanggapi gurauan wanita paruh baya ini.
"Mama apaan, sih, jelas Sandra mantu paling cantik, lah, orang menantu Mama baru satu," selorohku sembari mengambil pisau untuk mengiris wortel.
"Hahaha, iya, ya? Eh, ngomong-ngomong, kok rambut kamu enggak basah?" Mama mertuaku mengamati dengan seksama rambut yang pagi ini aku ikat tinggi.
Mataku membulat mendengar pertanyaan ibu tiga anak lelaki yang berdiri di hadapanku.
Ya ampun, apa semua mertua begini? Kepo dengan urusan ranjang anak dan menantunya?
"Eum, itu, anu, Ma …." Aku benar-benar gugup, tak tahu harus menjawab apa.
"Mau diajakin, Sandra malah keburu tidur, Ma." Tanpa terduga, suamiku sudah muncul di dapur dan menyerobot percakapan antara aku dan mamanya.
"Oh …." Mertuaku manggut-manggut. "Coba lagi besok, ya, Nak. Mama udah pengen nimang cucu. Siapa tahu anak kalian cewek." Mama menerawang ke atas dengan senyum terkembang di bibir. "Uh, udah gak sabar, pengen makein pita," ujar mertuaku antusias.
Aku hanya menahan tawa melihat mama mertuaku yang seperti tengah berandai-andai. Mama Mama … andaikan Mama tahu, anak Mama ini jual mahal, loh.
Mas Aryan yang tengah duduk sambil meneguk air putih terbatuk mendengar ucapan wanita yang telah melahirkannya ke dunia.
"Ada-ada aja Mama ini, kalau anak aku cowok gimana?" gerutu Mas Aryan selepas meneguk habis air di dalam gelasnya.
"Ya … ya nggak apa-apa, palingan juga ntar mirip kamu," jawab mertuaku lirih sambil memilin jari. Ya, mama mertuaku memang berpembawaan manja dan selembut ini. Hm, tapi entahlah, bagaimana bisa beliau melahirkan singa seperti Mas Aryan. Ah, maksudku … anak setempramen Mas Aryan.
"Kenapa mirip aku?" gumam suamiku menunjukkan wajah kesal.
"Ya … karena kamu yang ngebet lah, sama Sandra," kilah mertuaku yang membuat anak mertuaku padam muka. "Sandra, 'kan cantik," puji mama mertua seraya melirik padaku.
Mas Aryan mengembuskan napas dengan kasar lantas berlalu dengan wajah kesal.
"Sayang, Mama tinggal dulu, ya, mau bangunin Denis, katanya ada PR. Dasar anak malas, selalu ngerjain PR pagi-pagi," gumam mertuaku sebelum berlalu dari hadapanku.
"Iya, Ma," balasku seraya mengangguk ramah.
Aku pun lantas melanjutkan pekerjaan di dapur pagi ini. Jarang-jarang kan aku bisa masak menyiapkan sarapan untuk keluarga suami? Jadi, apa salahnya kalau aku jadi menantu rajin pagi ini?
Aku yang tengah mengiris wortel tersentak saat seseorang tiba-tiba memelukku dari belakang. Mataku membelalak dengan degup jantung tak beraturan sebelum membalikkan badan.
Bukan, aku yakin bukan suamiku yang melakukannya.