4. Selamat Kamu Diterima..

2112 Kata
Berat langkah Citra meninggalkan kedua orang tuanya yang masih terus prihatin dengan kondisi Luna yang masih koma. Namun, Citra sendiri tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan yang telah didapatkan. Mungkin Citra sudah berhasil mengalahkan puluhan bahkan ratusan pesaingnya, hingga dirinya mendapatkan sebuah panggilan untuk interview. Meski hati Citra tidak sedang baik-baik saja, ia harus tetap menunjukkan senyumnya. Selama perjalanan kembali kota, Citra kerap menilik ponsel pribadi miliknya. Ia berharap Valerian—kekasihnya itu membalas serentetan pesan yang Citra kirimkan sejak kemarin. Tentang kedukaan Citra, hingga voice note penuh dengan isak tangis, Citra utarakan melalui aplikasi chat. Namun hingga detik ini, semua pesan yang dikirimkan Citra nyatanya belum ada yang terbaca sama sekali. Sesibuk itukah Valerian? Sehingga keluh-kesah Citra tidak terbaca sama sekali. Kadang, perasaan ragu itu kerap menghampiri Citra. Bagaimana tidak? Ia merasa selalu ada untuk Valerian, akan tetapi pria itu kerap disibukkan dengan dunianya. Citra sebenarnya tidak ingin menuntut balas, ia hanya kadang merasa sesak. Mengapa kekasihnya semakin hari semakin sibuk dengan dunianya sendiri? Salahkah bila Citra kecewa atau bahkan marah? Setelah menempuh perjalanan dari desa ke kota. Citra pun dengan memesan ojek online, berhasil turun di depan sebuah kantor yang mempunyai puluhan lantai itu. “Besar sekali..di luar ekspektasi! Bismillah..” ucap Citra sesaat sebelum benar-benar melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam sana. Tak lupa gadis itu juga sesekali membenahi pakaian kerjanya. Rok span di bawah lutut serta kemeja putih tebal yang sudah dapat Citra pastikan tidak menerawang. Citra memang selalu mengenakan pakaian yang sopan. Ia selalu mengingat nasihat sang bapak. Ajining diri saka busana. Merasa kehadirannya sudah diterima dengan baik, langkah Citra menuju ruang interview benar-benar dipermudah. Ada salah seorang karyawan perempuan yang bersedia mengantarkannya ke ruang interview yang berada di lantai paling atas gedung ini. Tatkala menaiki sebuah lift, barulah Citra mengetahui bahwa kantor sebesar ini mempunyai tiga puluh lantai. Dan lantai teratasnya adalah lantai dua puluh sembilan. Citra menyimpan rasa penasarannya untuk sebuah lantai yang merupakan lantai tiga puluh. “Ahh..mungkin sebuah balkon yang bisa digunakan untuk menyaksikan pemandangan seluruh kota,” gumam Citra di dalam lift tersebut. Gumaman Citra yang tentu saja didengar oleh karyawan wanita yang begitu ramah itu. “Kamu penasaran dengan lantai tiga puluh?” “Huh? I—iya, maaf..” “Benar dugaan kamu. Lantai tiga puluh memang merupakan ruang terbuka. Menurut berita yang beredar di seluruh penjuru kantor, Pak Rama memang kerap melepaskan penat di atas sana dengan menyaksikan pemandangan seluruh kota yang sudah pasti sangat indah! Tapi sayangnya, kami—karyawan tidak diperkenankan untuk naik ke lantai tiga puluh. Akses hanya terbuka untuk Bu Hana saja,” jelas karyawan tersebut dengan mata penuh binar kebahagiaan membayangkan betapa indahnya pemandangan di atas sana. Gedung-gedung kota, alun-alun kota, hingga kemerlapnya keramaian lampu-lampu dan kendaraan di kota ini sudah pasti terlihat begitu jelas dari atas sana. Apa tadi katanya? Bu Hana? Tanpa keraguan sedikit pun Citra bertanya, “Bu Hana istri Pak Rama?” Tawa karyawan tersebut meledak seketika. “Bukan! Bu Hana itu sekretaris pribadi Pak Rama. Bisa dibilang, Bu Hana juga merupakan satu-satunya orang kepercayaan Pak Rama di kantor ini. Tangan kananlah istilahnya. Ngomong-ngomong, Pak Rama single lhoo..” Citra tersenyum kikuk mendengar kalimat terakhir yang diutarakan oleh karyawan tersebut. Jadi, bos pemilik kantor sebesar dan sesukses ini masih single. Apa stok wanita sudah menipis sehingga pria itu belum menikah? Entahlah, yang jelas Citra hanya mengangguk-angguk. Sebelum ia benar-benar sampai pada lantai yang hendak ditujunya. Citra dengan kerendahan hatinya serta tak luput senyum manis menghiasi wajahnya, mengulurkan tangan pada karyawan tersebut. “Kita belum sempat berkenalan. Nama saya, Citra, Mbak..” “Ahh nggak usah panggil ‘Mbak’! Nama saya Dina. Salam kenal. Semoga betah ya..” “Memangnya saya sudah pasti diterima? ‘Kan masih interview kerja, Dina..” “Optimis dong, Citra! Menurut penglihatan saya, wajah-wajahmu meyakinkan kok. Siap-siap, sebentar lagi sampai!” Ting. Belum sempat Citra menenangkan gemuruh hebat dalam dadanya. Pintu lift ini sudah terbuka. Tubuhnya pun juga mendapatkan sebuah dorongan dari belakang. Siapa lagi pelakunya jika bukan Dina? “Semangat dan selalu percaya diri, Citra! Daaa..” Dina melambaikan tangannya dengan pintu lift yang perlahan mulai tertutup. Disitulah senyum tulus Citra tercetak jelas. Ternyata, masih ada seorang rekan kerja di tempat baru yang mau membantunya dengan ikhlas dan sepenuh hati seperti apa yang baru saja dilakukan oleh Dina. Setidaknya, ada nilai plus pertama yang Citra sematkan untuk perusahaan besar di bawah pimpinan Pak Rama ini. “Halo, selamat pagi. Pasti kamu Citra ya?” Sedikit terkejut dengan seorang wanita yang ternyata duduk dengan tertutupi sebuah meja besar seperti meja resepsionis. Wanita cantik dengan pakaian rapih nan sopan itu menyapa Citra. Tentu saja Citra juga membalasnya dengan ramah. Citra menerka-nerka, mungkinkah wanita di hadapannya ini adalah Bu Hana? “Sudah siap untuk interview? Kali ini Pak Rama sendiri yang mengambil alih—“ “Apa Bu!?” Citra terkejut bukan main. Ia merasa tingkat kegugupan dalam dirinya semakin meningkat. Astaga, sebenarnya posisi sekretaris mana yang nantinya akan menjadi jabatan Citra? Mengapa harus sampai Pak Rama sendiri yang repot-repot untuk menginterviewnya? “Saya Hana, sudah kenal ‘kan pasti dari Dina? Mari saya antar..” Pikiran Citra masih terus bekerja mencerna apa yang barusan Hana katakana. Citra merasa kehadirannya di kantor ini seperti sudah dipersiapkan dengan baik. Ah, mengkhayal saja! Memangnya siapa Citra? Ia hanya gadis biasa yang mencoba peruntungannya setelah lulus kuliah melamar di sebuah perusahaan ternama—Wisena Corp. Tok..tok..tok.. “MASUK!” “Jangan gugup! Kamu masuk ke dalam sendirian, Citra. Semoga berhasil..” bisik Hana dengan senyum tulusnya. Citra sempat tertegun sesaat. Ia sudah menjumpai dua orang dengan energi positif pagi ini. Apakah yang ketiga kali ini—yang tak lain dan bukan merupakan bosnya sendiri juga akan memberikannya sebuah energi positif? Entahlah, dari suara teriakan Pak Rama barusan, Citra tidak bisa menebak bagaimana sosoknya. Dengan sekali tarikan napas pasti, tangan Citra membuka pintu besar ruangan bosnya. Ia melangkah dengan pasti menuju meja yang berada di depan sana. Di luar dugaan Citra. Ia mengira bosnya itu terlampaui tua dan perutnya buncit sehingga masih betah dengan status single-nya karena tidak ada yang mau dengannya. Karena keturunan itu tidak bisa dirubah, sementara kekayaan bisa diraup dengan mudah asal bekerja keras. Baiklah, kembali pada niat awal Citra menginjakkan kakinya sampai di ruangan bosnya ini. Hendak mengucapkan ‘selamat pagi’ pun rasanya Citra tak mampu. Kegugupannya semakin menjadi saat bosnya itu mengabaikan sejenak beberapa kertas hingga dokumen di atas meja. Beliau kini menatap Citra yang masih berdiri di hadapannya. Tak lama kemudian, aksi tatap-tatapan itu berakhir saat pria itu bangkit dari duduknya di sebuah kursi kebesaran miliknya. “Fara Citra Imarta, benar kamu yang melamar sebagai sekretaris di kantor saya?” “Iya, Pak Rama. Benar sekali.” “Selamat kamu diterima sebagai calon istri saya.” “Apa!?” Bukan lagi senam jantung, tapi usus breakdance! “Awas bola mata kamu keluar, Citra.” “P—pak, apa maksud dari ucapan Bapak barusan? Mungkin telinga saya salah dengar.” Rama menggeleng. Kemudian ia mendudukkan dirinya di sofa. “Tidak, Citra. Kamu tidak salah dengar.” Melihat gadis di hadapannya masih berdiri dan sangat tegang—mungkin saking syoknya mendengar Rama yang langsung to the point. Dengan keramahannya, Rama pun menawarkan Citra untuk berbincang sembari duduk. Meski ragu, pada akhirnya Citra juga menghempaskan dirinya untuk duduk di sebuah sofa yang berhadapan langsung dengan Rama—bos yang menurut Citra sangat gila. Perkataannya Rama bahkan masih terngiang-ngiang hingga detik ini. Berharap salah dengar, Citra justru semakin jelas mendengarkan penuturan jujur yang keluar dari bibir pria sukses tersebut. “Citra?” “Mohon maaf sebelumnya, Pak Rama. Tujuan saya kemari tidak lain dan bukan hanya untuk melamar menjadi salah satu bagian dari perusahaan yang Bapak pimpin. Saya berharap ucapan Pak Rama tadi hanya sebatas candaan guna menyambut kedatangan saya kemari.” Firasat Rama tentang Citra memang terbukti. Citra bukanlah seorang gadis sembarangan yang akan langsung senang ketika mendapatkan tawaran menggiurkan menjadi calon istri pria sukses bergelimang harta seperti dirinya. Dengan senyum tipis, Rama masih berusaha diam dan ingin mendengar perkataan Citra lebih lanjut. Namun Citra bungkam setelah mengungkapkan niatnya dengan sungguh-sungguh. Bagaimana Rama bisa tahu bahwa Citra bersungguh-sungguh ingin menjadi salah satu bagian dari perusahaannya? Dari tatapan mata Citra yang menyiratkan sebuah rasa kepercayaan diri, Rama dapat menilai sosok Citra yang gigih meski usianya masih berada di angka dua puluh satu tahun. “Mengapa kamu diam saja? Lanjutkan uneg-unegmu. Jangan sampai ada yang mengganjal Citra, karena sekali saya berucap. Mungkin kamu akan kewalahan untuk menanggapi saya nantinya,” ungkap Rama dengan senyum miringnya. Menyeramkan, gi-ladan nekad. Rama di mata Citra benar-benar bertolak-belakang dengan apa yang ada di angan Citra sebelumnya. “Maaf atas ucapaan saya yang kurang sopan barusan, Pak Rama. S—saya hanya terkejut.” “Saya tidak sedang memberi kamu kejutan.” “Huh?” Rama terkekeh dengan wajah polos Citra yang tampak tengah kebingungan. “Kamu lucu sekali.” “A—apanya yang lucu, P—pak? Bisa kita langsung saja pada kegiatan interview, Pak?” Citra tentu saja menginginkan kegiatan interviewnya segera dimulai, karena jauh-jauh hari ia sudah mempersiapkan dirinya. “Citra?” “Iya, Pak Rama.” Bulu kuduk Citra mulai beraksi menari-nari. Ia tidak bisa membaca situasi macam apa yang kini tengah terjadi diantara dirinya dengan Rama. Bosnya itu menatap Citra dengan tatapan seriusnya. Keramahannya hilang seketika. “Bukankah tadi di awal saya sudah bilang. Selamat kamu diterima—“ “Sebagai sekretaris di kantor Bapak?” potong Citra dengan nada bertanya. Meski tidak sopan, tetapi Citra melakukan ini karena ia tidak ingin kembali mendengarkan kalimat tidak masuk akal yang keluar dari bibir sang bos. Istri? Istri bos? Kepala Rama mungkin butuh pendinginan karena pagi-pagi sudah berinteraksi dengan berkas-berkas di atas meja kerjanya. Ya, sebatas itulah pikiran positif yang masih tersisa di benak Citra. “Tentu saja. Tapi, mulai detik ini. Secara otomatis kamu juga menjadi calon istri saya, Citra.” “Pak Rama, saya yakin sudah membaca brosur lowongan pekerjaan di kantor Bapak ini tidak hanya satu-dua kali. Tapi berkali-kali. Tetapi di sana tidak tertera bahwa nantinya pelamar yang diterima bekerja juga langsung otomatis menjadi calon istri Bapak.” “Kamu banyak bicara, Citra. Apa kamu tidak mau—“ “Tidak Pak Rama, terima kasih. Asal Bapak tahu, saya sangat setia dengan kekasih saya, Pak.” “Kekasih? Lebih pasti mana kekasih dengan calon suami?” Untuk pertama kalinya di depan Rama, Citra diam seketika. Ia tak seperti tadi yang selalu semangat membalas setiap ucapan yang keluar dari bibir Rama. Pertanyaan yang Rama berikan pada Citra benar-benar bersifat memojokkan Citra. Sebagai wanita, upayanya membela diri seperti sudah jatuh masa habis. “Tidak bisa menjawab huh?” “Pak, jangan bercanda. Mari langsung saja pada intinya.” Citra masih memohon karena ia benar-benar membutuhkan segera pekerjaan ini untuk membantu kedua orang tuanya yang banting-tulang untuk membiayai rumah sakit Luna yang masih koma. Kali ini Rama menegakkan tubuhnya setelah sedari tadi bersandar di sandaran sofa. Wajah tampan Rama seketika memenuhi seluruh kelopak bola mata Citra. Ya, Rama mendekatkan wajahnya ke depan sehingga jarak antara wajah Rama dengan Citra cukup dekat kini. Tidak peduli dengan meja pembatas di tengah-tengah keduanya, Rama masih terus mengamati wajah cantik Citra. Dan menyelami kedua bola matanya yang sedari tadi bergerak gelisah. Pria itu paham. Citra syok dengan ungkapannya tadi. Memang tentang ‘calon istri’ itu tidak bisa dijadikan bahan lelucon. Rama sadar betul. Namun ia tidak sedang bercanda kali ini.  “Saya tidak sedang bercanda, Citra. Saya tahu tentang keadaan kamu yang tengah sulit sekarang ini. Saya pastikan adik kamu—Luna akan mendapatkan perawatan terbaik, sehingga ia bisa melewati masa komanya.” Ucapan Rama barusan semakin membuat Citra tercengang. Dari manakah pria ini tahu tentang musibah yang tengah menimpa keluarganya? Apa semua ini sudah direncanakan? Itu artinya, ucapan Rama tentang ‘calon istri’ tidaklah main-main. “Ya, apa yang kamu pikirkan benar. Saya telah memilih kamu diantara banyaknya pelamar. Bukan semata-mata hanya sebagai sekretaris saja. Akan tetapi merangkap menjadi calon istri saya. Saya harap kamu mempertimbangkan semuanya—“ Drrrtttt…ddrrrrtttt… Ponsel pribadi milik Citra bergetar di saat yang tidak tepat. Di saat perbincangannya dengan Rama semakin memanas. Akan tetapi, mau menutup panggilan suara penting ini, tidak mungkin! Ibu. “Pak, Ibu saya menelepon,” cicit Citra mencoba membuat Rama peka dengan kondisinya saat ini. Syukurlah Rama mengizinkan Citra untuk mengangkat telepon dari ibunya itu. Di luar ruangan, dengan perasaan yang masih tidak karuan. Citra mencoba menetralkan hembusan napasnya agar terlihat baik-baik saja ketika berbicara dengan ibunya melalui panggilan suara ini. “Halo, Bu—“ “Citra..hikss..k—keadaan Luna semakin parah..Ibu t—iidak  tahu h—harus  bagaimana lagi..”   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN