Kebahagiaan Citra nyatanya tidak bertahan lama. Ia pulang dengan derai air mata yang membanjiri wajahnya saat mendengar kabar tentang adiknya—Fara Luna Maharani mengalami kecelakaan hingga tidak sadarkan diri. Kini ia dan kedua orang tuanya tengah menunggu dengan harap-harap cemas di sebuah ruang tunggu rumah sakit umum. Sebagai seorang kakak yang juga bertugas untuk selalu menghibur kedua orang tuanya dari sebuah duka. Citra tidak bisa terus-terusan menangis dan meratapi nasib Luna yang tengah mendapatkan perawatan intensif di dalam sana.
Dengan perlahan nan pasti, Citra merapatkan duduknya pada sang ibu yang tengah menangis dalam diam dan menatap kosong ke depan sana. “Bu..” Tangan Citra kini menggenggam dan mengusap lembut tangan ibunya. Inilah saatnya Citra menjadi penguat dan meyakinkan kedua orang tuanya bahwasannya Luna merupakan seorang gadis yang kuat, Luna pasti tidak apa-apa.
“Ibu jangan menangis, Luna pasti akan baik-baik saja. Dokter di rumah sakit umum ini pasti akan sekuat tenaga menyelamatkan Luna.”
Ibu akhirnya menoleh pada putri pertamanya. Beliau pun kemudian merangkul Citra. “Hikss…hikss..ini salah Ibu, Nduk. Andai saja kalau Ibu tadi tidak menyuruh Luna pergi ke pasar karena belanjaan Ibu ada yang ketinggalan, Luna pasti tidak akan mengalami insiden kecelakaan ini. Lagipula, Ibu yakin. Ini bukan salah Luna..”
“Iya, Bu. Citra tahu. Pihak kepolisian juga masih mengusut tuntas kasus kecelakaan Luna. Mereka masih mengejar supir truk yang tadi pagi menabrak Luna. Citra dengar kabarnya, si supir itu mengemudi dalam keadaan mabuk, Bu. Terbukti dari beberapa botol minuman keras yang ditemukan polisi di samping kursi kemudi truk yang dikendarainya.”
“Ya Allah..bisa-bisanya orang mengemudi sambil minum,” ucap ibu yang semakin syok saja ketika mendengarkan penuturan dari Citra. Di sini, Citra merasa sudah salah membicarakan tentang insiden yang menimpa adiknya tadi pagi. Seharusnya tidak usah ia bahas saat-saat seperti ini. Bodoh sekali dirinya! Citra menyalahkan dirinya sendiri kini.
Sementara itu, bapak Citra yang tengah berdiri di depan mereka berdua dengan menyenderkan punggungnya di tembok pun merasa iba dengan kondisi sang istri. Istrinya begitu syok dengan penjelasan dari putri mereka. Bapak pun tidak segan-segan memberikan kode melalui matanya agar Citra tidak perlu membahas lebih dalam tentang penyelidikan polisi. Pria paruh baya itu yakin, cepat atau lambat, polisi akan segera membekuk pelaku tabrak lari yang meninggalkan kendaraannya begitu saja. Namanya orang mabuk, pasti tidak sadar dengan apa yang telah ia perbuat.
“Cit..”
“Iya Bu?”
“Kamu kalau lapar, cari makan gih ke kantin rumah sakit,” titah sang ibu dengan suara yang masih serak karena menangis sejak tadi. Meski pun beliau sangat khawatir dengan kondisi Luna, tetapi Citra yang baru saja tiba dari kota itu sudah pasti tidak sempat sarapan. Kasihan putrinya itu..
Namun apa yang dilakukan Citra? Gadis itu menggeleng. Ia merasa tidak lapar bahkan belum ada sesuap nasi yang masuk ke dalam perutnya sejak keberangkatan dadakannya tadi pagi. Melihat kedua perempuan yang disayanginya tengah bersedih dan murung. Bapak pun merasa harus bertindak tegas di sini. Jangan sampai ada yang turut sakit karena memikirkan kondisi Luna.
“Citra? Sebaiknya kamu cari makan. Bungkuskan sekalian makan untuk bapak dan ibu. Tambah kopi ya, Cit. Ini uangnya..” Kali ini Citra tidak bisa lagi menolak perintah yang langsung turun dari bapaknya. Pasalnya, pria paruh baya itu sudah menyerahkan beberapa lembar uang kertas padanya. Bukannya menerima uang yang diberikan sang bapak, Citra justru bangkit dan hanya pergi dengan membawa tas kecilnya setelah berpamitan kecil pada kedua orang tuanya.
Rasanya dunia Citra yang baru saja dipenuhi bahagia, kini sudah kembali mendapatkan ujian dengan insiden kecelakaan yang menimpa sang adik. Gadis itu hanya berharap, semoga dengan adanya kejadian Citra ini, keluarga kecilnya selalu diberi kekuatan untuk menghadapi setiap cobaan hidup yang menerjang keluarga kecil mereka.
Sesuai dengan pesanan dari sang bapak, Citra membeli tiga bungkus nasi, dan satu cup kopi. Sementara dirinya dan ibu akan minum teh hangat saja karena keduanya tidak terbiasa meminum kopi.
Drrrttt….ddrrrttt..
Usai membayar pesanan makanannya di kantin rumah sakit, Citra mendapati ponselnya yang tengah ada di tas kecil yang dipakainya, bergetar hebat. Itu tandanya ada sebuah panggilan suara yang masuk. Citra menebak, mungkin saja ini panggilan suara dari Valerian yang sudah mengetahui tentang kabarnya dari Asya—teman kosnya. Namun saat Citra sudah mengambil duduk ternyamannya, ia merasa gugup saat ada nomor tidak dikenal menghubunginya. Siapa pemilik nomor tidak dikenal ini? Jika ini merupakan nomor iseng, Citra pastikan akan langsung memaki-maki si penelepon karena telah mengganggu hari-harinya yang sangat riweuh ini.
“Halo—“
“Halo, Selamat siang! Dengan K—kak Fara Citra Imarta?”
“I—iya saya sendiri, dengan siapa ya?” Citra merasa asing dengan suara perempuan yang mengenal nama lengkapnya itu. Sepertinya juga perempuan di seberang sana itu ragu memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’.
“Perkenalkan, saya Hana Maira dari Wisena Corp. Saya hanya ingin memberitahukan bahwasannya besok Kakak bisa langsung datang untuk interview. Mohon maaf sebelumnya jika saya langsung menelepon dan mengganggu kenyamanan Kakak, karena saya sudah mencoba email namun tidak mendapatkan balasan.”
“J—jadi saya diterima Bu?”
“Iya.” Citra sangat bersyukur dengan Tuhan yang dengan mudahnya membantu Citra untuk keluar dari permasalahan ini. Setelahnya sambungan telepon terputus saat keduanya saling mengucap salam perpisahan dan ‘sampai bertemu esok hari’.
Inilah yang namanya keajaiban. Citra tentu saja tidak akan pernah menyianyiakan kesempatan kali ini untuk bisa bekerja dan menghasilkan uang untuk biaya perawatan adiknya. Ya, Citra harus bergegas dan mengabarkan kabar bahagia ini pada kedua orang tuanya agar mereka sedikit tenang. Citra yakin..inilah bentuk pertolongan Tuhan padanya.
“…kami sudah berusaha semampu kami, Bapak-Ibu. Sekarang kita hanya menunggu perkembangan pasien. Tentang pasien akan sadar dari komanya atau tidak, saya sebagai manusia biasa hanya bisa melakukan yang terbaik dan berdo’a untuk kesembuhan pasien saya. Kami permisi. Mari..” Dokter pun meninggalkan area ruang rawat inap Luna.
Dengan mata kepalanya sendiri, Citra menyaksikan bahwa sang ibu langsung terduduk lemas di lantai. Hati ibu mana yang tidak merasa terpukul saat mengetahui kondisi anaknya yang berada di ambang hidup dan mati.
Luna, malang sekali nasibmu, Dik..
“Ayolah Bu, jangan seperti ini. Bukan hanya Ibu saja yang sedih dan terpukul. Bapak juga. Tapi ayo kita semangat! Semangat untuk kesembuhan Luna, karena hanya dari kerja keras kitalah Luna bisa mendapatkan perawatan yang layak dan tepat.”
“T—tapi..uang dari mana, Pak!?”
“Ibu..Ibu tidak perlu memikirkan biaya rumah sakit Luna. Citra baru saja diterima bekerja. Citra akan mencoba meminta gaji Citra di awal. Do’akan setiap langkah Citra ya, Bu..” sela Citra mencoba membantu ibunya untuk berdiri kembali. Ibu pun tersenyum disela-sela tangisannya yang terus mengeluarkan air mata kesedihan.
Setelahnya wanita itu memeluk erat putri pertamanya dan berkata, “Ibu akan selalu do’akan setiap langkah kamu, Nduk.”
“Terima kasih, Ibu. Maaf, besok Citra sudah harus kembali ke kota.”
“Iya Citra, kami mengerti. Apa perlu besok Bapak sendiri yang antar?”
“Ya tidak usah ditawarin toh, Bapak. Langsung diantarkan saja! Besok Citra diantar Bapak saja, aman. Ibu biar tenang, Nduk.”
Citra mengangguk. “Ya sudah kalau memang tidak merepotkan, terima kasih Bapak-Ibu.”
Malam itu pun menjadi malam di mana ketiga orang anggota keluarga kecil Citra bergantian untuk menjaga Luna yang masih dalam kondisi koma. Pukul satu dini hari, saat kedua orang tuanya terlelap dan hanya menyisakan Citra yang masih terjaga, gadis itu mendekat pada sebuah kaca yang menampilkan sang adik yang terbaring lemah di atas brankar. Ia menangis dalam diam melihat kondisi adiknya yang dipenuhi dengan alat-alat bantu pernapasan. Tak hanya alat bantu pernapasan, sang adik juga dipasangkan sebuah selang makan dan infus untuk pemenuhan nutrisi hingga obat-obatan selama belum sadar dari komanya. “Luna..”
“Mbak sayang sama Luna. Ibu dan bapak pun juga. Mbak harap, Luna segera siuman ya, Sayang? Mbak nggak mau lihat kondisi kamu seperti ini, Mbak nggak tega.” Tak sanggup menahan tangisnya, Citra membekap bibirnya sendiri. Ia benar-benar merasakan betapa hancur sebagian dari dirinya saat melihat saudara kandungnya tengah berada di dalam ruang rawat tersebut. Sendirian, penuh dengan alat bantu kehidupan, bagaimana rasanya detak jantung Luna?
Citra hanya berharap, semoga Luna kuat. Dan, sang adik dapat melewati masa komanya itu. Citra percaya, semua akan terjadi atas seizin Tuhan Yang Maha Kuasa.
***
Di sebuah ruang kerja yang ada di rumah besar keluarga Wisena. Rama masih bergelut dengan beberapa berkas-berkasnya hingga pagi dini hari. Matanya yang sudah sangat mengantuk membuat Rama menjeda sejenak kegiatannya lembur menyelesaikan berkas-berkas yang perlu ia cek dan tanda tangani itu. Tangannya beralih memegang ponsel pribadi miliknya yang menampilkan foto keluarga yang menunjukkan raut wajah kesedihan yang begitu mendalam.
“Citra..”
“Fara Citra Imarta.”
Ya, foto keluarga yang diambil secara diam-diam oleh mata-mata Rama itu tengah menunjukkan potret sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan seorang putrinya yang tengah bersedih. Dengan latar belakang di sebuah rumah sakit, jelas itu merupakan keluarga Citra—calon sekretaris barunya. Ah..lebih tepatnya calon istri Rama. Entah mengapa sejak pertama kali Hana mengiriminya beberapa foto gadis-gadis yang melamar untuk menjadi sekretaris pribadinya di perusahaan, pilihan Rama langsung jatuh pada sosok Citra.
Entahlah, Rama hanya mengikuti kata hatinya. Pria itu merasa langsung yakin saja pada gadis itu bahkan hanya dengan melihat fotonya yang terlihat masih cukup lugu itu. Tidak terdapat riasan menor atau berlebihan di dalam fotonya, membuat Citra berbeda dengan foto-foto pelamar yang lainnya. Semoga saja Rama tidak salah pilih..
Namun, ada hal yang mengganjal bila berhubungan dengan gadis itu. Rama jadi teringat percakapannya dengan Hana tadi siang hingga ia memaksa Hana untuk menghubungi Citra sesegera mungkin. Karena yang Rama mau hanya Citra. Fara Citra Imarta.
Hana menyerahkan amplop besar cokelat yang sengaja dititipkan padanya dari salah seorang mata-mata Rama. Sejak masuk ke dalam ruangan bosnya itu, raut wajah Hana sudah tidak bersahabat memang. Hal tersebut lantas membuat Rama segera menyusul Hana yang sudah lebih dulu mendudukkan dirinya di sofa yang tersedia di dalam ruang kerja Rama tersebut.
”Kenapa Hana? Kamu sedang ada masalah dengan Adhitama?” Dengan ragu Rama bertanya demikian. Padahal ia sendiri sudah tahu jawaban yang nantinya akan keluar dari bibir Hana. Tidak mungkin wanita yang sudah bertahun-tahun bekerja dengan Rama itu membawa masalah asmaranya dengan Adhitama ke kantor. Tidak mungkin.
“Bapak yakin dengan pilihan Bapak?”
“Yakin. Sangat.”
“Maaf sebelumnya jika saya lancang, Pak Rama. Jangan Bapak kira saya ini tidak tahu latar belakang Citra..”
“Iya. Dia kekasih rival bisnis saya. Citra kekasih Valerian.”
“Lalu!?”
Suara Hana meninggi. Ia sadar dengan suaranya yang tanpa sadar seakan membentak bosnya itu. Wanita itu pun meminta maaf pada sang bos. Meski pun sudah sangat akrab dengan Rama, Hana tetap tidak mengurangi sopan santun dan rasa hormatnya pada Rama sebagai atasannya di kantor yang sudah memberikan kepercayaan sepenuhnya padanya.
“Maafkan saya, Hana. Tapi ada yang perlu saya luruskan di sini.”
“Apa, Pak Rama? Tolong langsung pada intinya saja. Sudah siang, terik matahari sangat panas, tidak baik membicarakan suatu hal yang berbelit-belit.”
“Oke, baiklah.”
Inilah salah satu sikap Hana yang paling disukai oleh Rama. Hana selalu berbicara apa adanya, memberikan saran pun juga selalu realistis sesuai dengan apa yang dirasakannya sendiri. Tidak ada yang ditutup-tutupi agar terlihat baik di depan Rama. Tidak, Hana selalu apa adanya. Tegas, tiap katanya mampu meluruskan Rama, dan tak jarang juga mematahkan ambisi Rama yang salah.
Seusai menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Rama mulai menjelaskan, “Saya akui, sejak awal saya memang sudah tahu bahwa Citra merupakan kekasih Valerian—rival terberat dalam dunia bisnis saya. Ya, kamu sendiri sudah tahu bukan? Tapi, tolong hilangkan pikiran kotor di kepalamu itu tentang saya yang nantinya akan memanfaatkan Citra untuk melancarkan serangan pada Valerian. Sungguh, itu tidak keren sama sekali Hana..”
“..saya memilih Citra, semata-mata hanya menuruti kata hati saya. Kata Mama saya, pilihan hati itu lebih kuat pengaruhnya di masa yang akan datang. Karena hati bukan lisan, ia tidak bisa berdusta.”
Prokk…prok..prokkk..
Tepukan tangan Hana membuat dahi Rama mengkerut. Ini juga salah satu alasan mengapa Rama masih mempertahankan Hana di sisinya. Karena kekonyolannya yang tak jarang berhasil menghiburnya!
“Wooahh, hebat sekali Pak Rama! Kata-kata mutiara Bapak mengalahkan quotes-quotes yang sering saya scroll di akun sosial media saya. Saya bangga menjadi pendengar isi hati Pak Rama. Apa perlu saya buatkan sebuah blog yang berisi tentang kutipan kata hati Rama Wisena?”
“Tidak perlu, Hana. Kamu jangan konyol. Saya serius. Sekarang, telepon Citra dan beritahukan tentang interview yang akan dilaksanakan besok.”
“Baiklah, soal telepon-menelepon itu mudah Pak Rama. Membicarakan tentang suatu hal yang serius, saya lebih serius, karena seumur-umur saya bekerja sebagai tangan kanan Bapak. Baru kali ini saya mendengar Bapak berkata membawa-bawa ‘kata hati’. Menakjubkan sekali, Bapak Rama! Rupanya setelah Tante Cantik merajuk meminta menantu, Pak Rama ada perkembangan tentang bab hati ya..”
Menakjubkan.
Entah pujian ataukah hinaan yang dikemas dengan tutur kata baik dan senyum merekah yang terpancar dari bibir Hana. Yang jelas, Rama merasa semua perkataan Hana itu benar adanya. Bukan karena Hana kaum perempuan yang selalu memegang tingkat tertinggi mengenai kebenaran, bukan. Hanya saja, Rama juga baru menyadari tentang adanya kata hati yang mulai berfungsi sejak Rama melihat foto Citra untuk pertama kalinya.
“Sampai bertemu, Citra..”
***