5. Kamu dan Segala Keunggulanmu

2186 Kata
“Kamu tidak perlu gelisah, Citra. Saya sudah menghubungi pihak rumah sakit untuk memberikan perawatan terbaik untuk adik kamu.” Meski pun Rama mencoba menenangkannya, Citra masih tidak percaya. Semudah itu bagi seorang Rama Wisena untuk memberikan perawatan terbaik bagi Luna. Padahal, Citra belum mengiyakan ucapan Rama tentang ‘calon istri’. Lantas, bagaimana Citra harus mengambil sikap kini? Haruskah ia mengiyakan tawaran yang merujuk pada paksaan tersebut? Gi-la! “Mari kita bahas tentang apa yang saya katakan di awal. Silahkan ajukan pertanyaan kamu, Citra.” Sebelum menjelaskan detailnya, Rama memberikan ruang untuk Citra memberinya pertanyaan. Mungkin saja ada yang mengganjal di hati Citra. Ada sebuah penasaran yang Citra pendam. “Mengapa harus saya, Pak? Pastinya di antara puluhan bahkan ratusan pelamar, Bapak bisa menemukan yang lebih baik dan mumpuni daripada saya. Mengapa Bapak menjatuhkan pilihan rangkap tugas ini pada saya?” “Karena kamu Fara Citra Imarta.” “Jawaban anda tidak menjawabi pertanyaan yang saya ajukan, Pak Rama.” Rama tertawa kecil. Sikap Citra masih saja kaku, padahal keduanya tengah membahas tentang ide gi-laRama yang menginginkan Citra merangkap tugas menjadi calon istrinya pula. “Memangnya jawaban yang seperti apa yang kamu ingin dengar Citra?” “Realistis, jelas, dan mudah dimengerti.” Hampir saja Rama ternganga dibuatnya. Citra memang bukanlah wanita sembarangan. Ia tidak segampang yang Rama duga. Citra tegas, menuntut jelas dan sepertinya di sinilah nantinya PR terbesar Rama—menaklukkan sekretaris barunya itu. Dengan kejujuran yang ia miliki. Rama pun menjawab, “Pintar, berprestasi, sopan, pekerja keras dan penampilan kamu tidak membuat kepala saya pening.” Membahas tentang penampilannya. Citra langsung melihat baju yang dikenakannya saat ini. Serta tak lupa ia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Bosnya itu benar-benar membuat Citra tidak bisa bergerak meski kini keduanya berada di sebuah ruangan tertutup yang cukup luas. Bagi Citra, pasokan udara sangat menipis di ruangan serba putih dan abu-abu ini. Meski Rama berhasil membuat Citra gugup. Namun tetap saja, gadis itu tidak ingin menunjukkan kegugupannya secara terang-terangan. “L—lanjut, pertanyaan kedua. Tentang ‘calon istri’, bisa Bapak jelaskan dengan bahasa yang mudah saya mengerti? Untuk menghindari kesalahpahaman di antara kita.” “Saya meloloskan kamu tanpa interview. Tapi kamu justru menjerat saya secara tidak langsung untuk kamu interview sendiri. Sebenarnya untuk jabatan apa, Citra? Calon suami? Saya anggap begitu.” Citra salah bila ia mengharapkan Rama akan menjawabi pertanyaannya tersebut dengan serius. Nyatanya pria itu justru di luar ekspektasi Citra. Jika kebanyakan bos-bos di kantor akan memiliki sikap dingin dan bossy. Di mata Citra, Rama justru seorang bos yang bersikap santai, ramah dan sangat tidak bisa ditebak. Rama merupakan tipe pria yang tidak banyak bicara kepada para wanita. Kecuali, mamanya sendiri, Hana—sekretaris pribadinya, dan sekarang bertambah lagi satu orang yakni, Citra. Untuk alasannya sendiri, Rama tidak tahu bagaimana pastinya. Namun, Rama bisa memastikan, hanya orang-orang yang dianggapnya nyaman-lah, yang dapat melihat sisi lain Rama yang satu ini. Tanpa berlama-lama lagi, Rama segera menjelaskan semuanya agar bisa menjawabi pertanyaan kedua Citra itu. Dengan bahasa yang mudah untuk dimengerti, Rama berharap Citra tidak salah paham dengan niat baiknya. Mengapa bisa disebut niat baik dan bukan pemaksaan? Karena Rama mau membantu Luna bahkan sebelum Citra say yes dengan keinginan yang diutarakannya. Selain itu, setelah ini juga Rama tidak akan memaksa Citra bila mana Citra enggan untuk merangkap tugas tidak masuk akal tersebut. Ternyata, Citra ini memang beda dari kebanyakan wanita yang kerap mengejar-ngejar Rama selama ini. Hal tersebut membuat Rama jadi berpikir. Apakah Citra sama sekali tidak tertarik dengan Rama? Apa pesona Valerian jauh lebih unggul daripada Rama? “…Mama saya kerap menangis karena saya tidak kunjung membawa calon istri saya ke hadapan beliau. Memang terlihat memalukan, akan tetapi tetap saya ceritakan yang sejujur-jujurnya pada kamu..” “..banyak gosip yang beredar tentang saya, karena tidak kunjung menikah atau sekedar mengenalkan calon istri saya pada keluarga. Namun tidak sedikit pula wanita yang saya tolak, ketika mereka berusaha mendekati saya. Itu semua karena firasat saya berkata, mereka tidak benar-benar menyukai atau mencintai saya dengan tulus, melainkan hanya sebatas menginginkan harta saya.” “Mengapa Bapak harus bersusah payah untuk membuka lowongan pekerjaan yang merangkap tugas tidak masuk akal itu? Bukankah di luaran sana banyak sekali wanita yang bersedia untuk Bapak bayar demi berpura-pura?” “Kenapa kamu mengulang pertanyaan? Jawabannya masih tetap sama, karena yang saya ingin Fara Citra Imarta.”    Citra masih diam membisu. Ia benar-benar tidak menyangka jika Rama yang dianggapnya angkuh akan mau membuka diri—bercerita tentang hal yang membuatnya berbuat segi-laini. Membuka lowongan pekerjaan yang ternyata nantinya merangkap sebagai calon istri! Untung saja pilihan Rama jatuh pada Citra. Wanita yang tidak matre. Citra sendiri diam-diam bangga dengan pilihan Rama. Nyatanya pilihan Rama tepat. Bolehkah Citra membanggakan dirinya sendiri kini? Terlepas dari segala rasa tidak percaya diri yang selama ini Citra pendam karena Valerian tampak bagaikan langit dan bumi jika disandingkan dengannya.. “ Citra, anggap saja kamu masuk ke dalam dunia saya dengan berpura-pura menjadi calon istri saya. Namun dalam duniamu sendiri, kamu tetaplah Fara Citra Imarta—sekretaris pribadi saya, yang akan membantu sebagian tugas Hana yang kerap menumpuk. Jika kamu setuju, maka saya akan terus membantu pengobatan Luna sampai dia sembuh, dan tidak ada potongan sepeser pun dari gaji kamu. Dalam artian, gaji kamu aman selama bekerja dengan saya. Akan tetapi, bila kamu tidak berkenan, bantuan pengobatan Luna yang saya berikan tadi, hanya berlaku untuk saat itu saja.” Setelah mendengarkan ucapan Rama yang panjang kali lebar itu. Citra yang sudah tidak punya pilihan lagi akhirnya mengangguk. Meski ragu dan takut Valerian tahu semua ini, Citra tetaplah Citra—ia akan selalu mengupayakan yang terbaik untuk Luna. Sebagai kakak, Citra sebenarnya masih jauh dari kata berhasil membahagiakan keluarganya. Maka dari itu, selagi ia bisa membantu dimasa-masa susah seperti ini, ia akan mengusahakan. Meski pun Citra harus rela masuk ke dalam dunia Rama Wisena yang sama sekali belum ia ketahui. Entahlah, ke depannya pasti akan ada banyak hal yang menguji jalan hidup Citra. Mengingat Rama merupakan bosnya sendiri dan tidak sedikit pula wanita-wanita yang mendambakan sosok Rama. “Maaf bila saya menggunakan cara sekotor ini. Kamu masih hafal bukan mencari pintu keluar kantor saya ini?” Meski anggukan kepala Citra jelas terlihat oleh kedua mata Rama. Namun pria itu tentu mengerti isi hati Citra yang sesungguhnya. “Saya masih ingat jalan keluar kantor Pak Rama, akan tetapi saya bersedia bekerja dengan Bapak. Saya bersedia merangkap tugas tersebut.” Rama begitu senang mendengar jawaban tegas Citra. Meski Rama tahu isi hati wanita itu yang sebenarnya. “Baiklah. Tunggu kontrak resminya, Citra. Hana masih memprosesnya.” “M—maksud Bapak? Bu Hana tahu?” “Tentu saja. Ide gi-la ini darinya, Citra. Meski pun awalnya sempat saya tolak mentah-mentah, tapi pada akhirnya saya terima juga. Mungkin sudah jalan Yang Maha Kuasa.” Citra masih terdiam di posisi duduknya. Ia salah mengira bila semua ini merupakan ide gi-layang tercetus dari diri Rama sendiri. Nyatanya Hana-lah yang menjadi pemilik ide gi-la tersebut. Tanpa Citra duga, Rama tersenyum sembari memberikan tangannya pada Citra untuk berjabat tangan. “Oh ya, selamat bekerja di kantor saya, Citra.” Gadis itu pun membalas jabatan tangan dari sang bos.   ***   Setelah dokumen kontrak yang sudah Hana buat itu selesai. Citra langsung menandatanganinya tanpa ragu sama sekali, di hadapan Rama dan Hana. Keduanya sama-sama mengulas senyum mereka masing-masing. Sementara Citra masih saja memasang wajah tegangnya. Rama yang lega kemudian menyeruput kopi buatan OB kantornya. “Tidak ada interaksi lebih seperti berciuman—“ “Uhuukk!! Uhukk!” Kopi yang baru saja seperempat masuk ke dalam tenggorokan Rama pun keluar begitu saja. Tentu saja kemeja warna putih yang dikenakan Rama menjadi kotor. Hana pun segera mengambil tisu untuk diberikan pada bosnya itu. “Norak sekali, Bapak.” Rama mengabaikan sindiran Hana. Baginya sudah biasa menerima segala ungkapan yang terlampaui jujur dari bibir sang sekretaris pribadi. “Bisa kamu lanjutkan perkataan kamu, Citra?” “Tidak ada interaksi lebih seperti berciuman, berpelukan atau bahkan hal-hal yang merujuk pada kegiatan panas lainnya. Karena saya tidak sedang menjual diri pada Bapak.” “Tentu saja. Mengapa kamu sampai berpikiran sampai sana?” “Pria rentan dengan kata KHILAF, Pak.” “Benar sekali, Citra. Saya sependapat dengan kamu!” Hana mulai berada di kubu Citra. Rama lupa, sesama wanita pasti merasa harus saling mendukung satu sama lain. Sementara dirinya yang merupakan pria dan menjadi minoritas hanya mengangguk-angguk saja. Memang wanita selalu benar bukan? “Antisipasi itu penting, Bu Hana. Saya juga tidak mau dirugikan di sini. Lagipula, saya sudah mempunyai kekasih.” “Lupakan kekasih kamu. Kamu dan saya hanya sebatas sandiwara Citra,” kata Rama dengan sewotnya. Entahlah, mendengar Citra menyebut-nyebut kekasihnya—pikiran Rama langsung tertuju pada Valerian. Rivalnya itu boleh saja unggul di bidang bisnis. Tetapi setelah ini, jangan harap. Terlebih ketika saat ini Rama merasa semakin penasaran dengan Citra. Tidak menutup kemungkinan bila suatu ketika Rama benar-benar menjatuhkan hatinya pada Citra dan berniat merebut Citra dari Valerian. Toh, Rama juga sudah tahu semuanya, termasuk hubungan Citra yang tidak direstui oleh keluarga Valerian. “Kontrak berakhir ketika Pak Rama mengkehendaki Citra, kamu mengerti bukan?” “Mengerti, Bu Hana. Namun, di kontrak tersebut saya juga menuliskan satu keinginan saya. Bahwa saya juga bisa memutuskan kontrak ini secara sepihak, bila perlakuan Pak Rama tidak mengenakkan bagi saya. Sebagai wanita, Bu Hana tentu saja paham dengan maksud perkataan saya ini.” Hana hanya mengangguk. Ia benar-benar memuji pilihan Rama kali ini. Citra wanita baik-baik dan sangat cerdas. Meski posisi Citra berada di bawah naungan Rama, Citra tidak pernah ragu atau bahkan merasa takut untuk menyuarakan pendapatnya demi melindungi harga diri dan martabatnya sebagai seorang wanita. Perbincangan serius di antara ketiga orang itu pun berakhir. Hana mengajak Citra keluar dari ruangan Rama untuk beristirahat makan siang bersama, sekaligus Hana ingin mengenalkan kantin kantor yang bersih dan seperti restoran bahkan kafe. Keduanya tampak tengah mencoba saling mengakrabkan diri satu sama lain. Hana yang diyakini Citra berusia lebih tua darinya, seperti seorang kakak yang bisa memberikan pengarahan pada Citra ke depannya.  Citra cukup bersyukur karena memiliki rekan kerja sebaik Hana. Setidaknya dari kejadian tidak terduga ini, Tuhan masih memberikan kebahagiaan yang bisa Citra rasakan. Kedua wanita itu duduk di depan meja bundar minimalis yang di atasnya telah terhidang dua mangkuk makan siang serta dua botol mineral. “Mari makan, Citra. Kamu harus coba soto ayamnya. Rasanya tidak pernah mengecewakan, saya sendiri merasa tidak pernah bosan makan soto ayam di sini. Koki-koki yang dipekerjakan Pak Rama di kantin kantor ini memang tidak diragukan lagi.” Citra keheranan dengan ucapan Hana barusan. “Pak Rama sampai mempekerjakan koki?” “Iya! Bos kita itu sangat baik dan peduli dengan para karyawannya. Yaa, meski pun banyak dari mereka (karyawan) yang tidak mengenal dekat Pak Rama. Sehingga tidak salah bila Pak Rama juga kerap di cap bossy¸ kejam bahkan tidak ramah.” Bibir Citra hanya membentuk huruf O sembari mengangguk-angguk mengerti. Dddrrrrttt….dddrrrrttttt… Hana yang tengah lahap memakan makan siangnya itu kemudian berhenti sejenak. Ia menyadari ponselnya sangat menganggu makan siangnya bersama dengan teman barunya itu. Namun bukannya kesal, Hana justru tersenyum-senyum sendiri. Ia seolah melupakan rasa laparnya. Membiarkan Citra yang mungkin keheranan melihat tingkahnya yang tiba-tiba tersenyum-senyum sendiri itu. “Biasalah, kekasih saya.” Citra hanya mengulas senyum manisnya. Baru saja bibir Hana terkatup membicarakan sang kekasih. Lagi-lagi ponsel Hana bergetar. Kali ini bukan sebuah pesan lagi, melainkan sebuah panggilan suara. “Halo, Mas?” “…….” “Iya sudah kok, ini lagi makan siang.” “……..” “Iya-iya, Pak Rama aman, Mas. Kan kata Mas Adhitama, kalau Pak Rama nggak kasih Hana jam istirahat, Mas Adhitama bakal langsung samperin Pak Rama.” “.……” “Iya. Ya udah ya, nanti lagi.” “……” “Iya dong, jemput! See you, Mas.” Mata Citra kemudian melirik ponsel pribadi miliknya yang juga berada di atas meja, tepat berhadapan langsung dengan ponsel milik Hana yang baru saja diletakkan kembali oleh pemiliknya itu. Gadis itu merasa iri dengan Hana yang mempunyai seorang kekasih yang bisa menghubunginya setiap saat. Dari segala perkataan Hana membalas ucapan pria di ponselnya itu, Citra bahkan langsung bisa menyimpulkan tentang seberapa pedulinya kekasih Hana. Bahkan sampai hafal dengan jam makan siang Hana di kantor. Jangankan jam makan siang, dengan Pak Rama saja kekasih Hana kenal. “Pacar saya itu rekan Pak Rama, Citra. Saat ini ia meneruskan bisnis keluarganya.” “Pantas saja mereka berdua akrab, Bu Hana.” “Jangan panggil ‘Bu’ kalau di luar jam kerja. Panggil HA-NA. Ok?” Citra mengangguk. Ia pun berinsiatif untuk memanggil Hana dengan embel-embel ‘Mbak’ di depannya. Mau bagaimana pun juga Hana ini lebih tua di atas Citra. Hana pun tidak keberatan dengan inisiatif Citra. Ia nyaman-nyaman saja, asalkan santai. Cukuplah formalnya hanya ketika mereka tengah bekerja. “Citra?” “Citra!” Citra tersentak dari lamunnya yang merasa hubungannya dengan Valerian semakin menjauh. Bahkan disaat-saat sulit Citra, pria itu hilang bak ditelan bumi. Sebenarnya, kemana Valerian saat ini? “Kenapa kamu bengong? Ayo habiskan..” “I—iya, Mbak Hana.”   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN