10. And It Starts Here

1524 Kata
Aku heran karena tumben di hari Jum’at ini Mas Rendra lebih sore sudah berada di rumah ini. Biasanya dia akan sampai di atas jam sembilan malam. Tapi biarlah, dengan begitu Aliesya tidak lagi murung karena papanya yang terlambat datang. Usai mandi, aku duduk di bangku kecil di taman samping kamar. Kamarku mempunyai pintu samping yang langsung berhadapan dengan taman. Selain untuk menikmati hijaunya dedaunan di siang hari, saat malam hari aku bisa bebas mengamati langit, coba menghitung bintang. Sesekali jika beruntung, aku bisa melihat meteor atau bintang jatuh. Langit bertabur bintang yang berkelap-kelip saat malam hari memanglah sangat indah dan mengagumkan, lebih tepatnya lagi sangat menakjubkan. Apalagi jika terlihat cahaya yang jatuh dengan cepatnya yang di kalangan masyarakat disebut dengan meteor atau bintang jatuh. Kata orang-orang, jika mengucapkan permintaan saat ada bintang yang jatuh, maka permintaanmu akan terkabul! Heey, jangan percaya itu. Itu hanyalah mitor semata. Menurut agamaku, bintang jatuh terjadi  ketika para malaikat melempari setan dengan benda langit. Hal ini dijelaskan jika seorang dukun ingin mengetahui sebuah berita gaib, maka sang dukun akan meminta setan untuk mencuri informasi di langit dengan cara mendengarkan obrolan malaikat, setan akan saling bahu-membahu dengan temannya agar mencapai langit. Karena jika Allah SWT memutuskan suatu perkara , maka akan memberikan kabar kepada malaikat, dalam proses pencurian berita inilah mereka dilempari api oleh malaikat yang akan membakar mereka, yang sekarang dinamai bintang jatuh. Allah SWT berfirman "Sesungguhnya kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat untuk melempar syaitan, dan kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala" (QS. Al-Mulk:5) Nah, maka dari itu tidak usah percaya pada mitos bintang jatuh yang bisa mengabulkan permintaanmu. Jika ingin permintaanmu terkabul, ya kamu harus berusaha dan tentu saja berdoa, minta jadikan itu sebagai yang terbaik.  Seperti saat ini, bibirku terkembang senyum menikmati indahnya bintang. Tapi terganggu saat aku mendengar langkah kaki berat yang aku tahu itu adalah milik Mas Rendra. Benar saja, dia berdiri di sebelahku. Hmmm harum sabun menguar dari tubuh atletisnya dan terhidu olehku. Walau sudah tidak muda lagi, tapi Mas Rendra pandai merawat kondisi fisik tubuhnya agar tetap bugar dan proposional. Tidak berotot di mana-mana tapi juga tidak loyo. Jujur, aku sempat terpesona oleh tubuh dan perutnya yang seperti roti sobek itu saat Mas Rendra berenang di kolam renang yang disediakannya di rumah ini untuk Aliesya. Heyyy, aku manusia normal. Aku gadis biasa yang juga suka lelaki dan drama Korea loh. Perut itu membuatku ingin melabuhkan tangan dan memegangnya. Tapi tentu saja itu hanya ada di pikiranku saja. Karena Mas Rendra bilang, tidak mau menyentuhku, jika bukan aku yang minta. Hmmm, dia kira aku perempuan cantik apaan coba? Statusku memang istrinya bahkan wajib melayaninya hingga dia puas. Tapi jika dia tidak minta untuk dilayani, ya buat apa aku menawarkan diri? Macam p*****r saja menjajakan diri demi kenikmatan duniawi dan rupiah yang tidak seberapa. Aku berikan senyum manisku pada Mas Rendra untuk menutupi rasa grogi. Lampu kamar dan lampu taman bisa membuatku melihat betapa keruh wajah Mas Rendra saat ini. Mungkin saja ada masalah di kantor atau dengan Kak Felicia kan? Pantas saja dia ke sini lebih cepat, barangkali juga untuk melepas stress dengan bertemu Aliesya. “Ada apa Mas?” Tanyaku dengan suara semanis mungkin. “Aliesya mengajak makan malam. Kamu juga belum makan kan?” Mas Rendra menjawab pertanyaanku tapi matanya seperti ingin menerkamku hidup-hidup. Dia melihat ke wajahku dengan tatapan…, entahlah. Seperti marah? Kecewa atau malah rindu? Sepertinya sih tidak mungkin rindu deh. Mungkin marah dan kecewa? Hmm, tapi atas dasar apa? Komunikasi kami hanya sebatas pada kabar Aliesya saja kok. Tidak pernah melampaui itu. Atau memang benar dia rindu?? Weeh ini aku baru tahu kalau Mas Rendra bisa punya rasa rindu untukku. Kukira dia menjadikanku hanya sebagai pengasuh Aliesya saja kok. Jadi, abaikan saja semua itu. “Iya. Tapi hari ini aku tidak masak, jadi tadi yang masak bibi. Tidak apa-apa kan?” Mas Rendra tidak menjawab, dia sudah balik badan dan mendahuluiku keluar kamar. Aku mengikuti dengan bingung. Duuh memang aku salah apa sih? Perasaan aku gak bikin salah apapun sama Mas Rendra. “Ibu makan yuk, Liesya lapar.” Aliesya menyodorkan piring kosongnya untuk aku isi nasi, sayur dan lauk pauk. Aku memang membiasakan seperti itu. Melayani Aliesya dan Mas Rendra. Aku juga mengisi piring Mas Rendra dan piringku sendiri. Kami makan dalam diam. Tumben sekali Mas Rendra dan Aliesya tidak banyak berinteraksi malam ini. Mungkin karena Mas Rendra lelah, pikirku. “Ibu, Liesya ngantuk. Mau tidur. Hoaahm…. Papa, Liesya tidur dulu.” Aliesya mencium pipi Mas Rendra kemudian menuju kamarnya. Aku ikuti, memastikan bahwa Aliesya menggosok gigi sebelum tidur. Kalau sholat Isya aku tidak khawatir karena aku membiasakan untuk mengajak Aliesya sholat berjamaah. “Liesya sudah tidur?” Tiba-tiba aku mendengar suara berat Mas Rendra dan hembusan nafasnya. “Astagfirullah… Kaget aku.” Aku memegang dadaku yang naik turun karena Mas Rendra yang mendadak ada di depan pintu kamar Aliesya. “Sudah. Sudah gosok gigi dan sholat Isya juga. Aku ke kamar dulu ya Mas. Permisi.” Pamitku cuek. Aku mengganti baju. Memakai piyama celana pendek. Biasanya aku pakai piyama celana panjang. Tapi malam ini entah kenapa aku ingin memakai piyama celana pendek berbahan sutera. Hmm bahannya nyaman dan lembut sekali. Aku menggosok pelan piyama baru ini. Aku keluar kamar mandi dengan rambut tergerai. Sudah gosok gigi dan cuci muka. Tinggal pakai krim malam dan tidur. “Ada yang ingin aku bicarakan.” Lagi-lagi suara berat Mas Rendra mengagetkanku! “Astagfirullah… Apa-apaan sih Mas? Aku kaget dua kali dalam waktu lima belas menit.” Aku mengelus d**a karena kaget. Kenapa malam ini Mas Rendra aneh gini sih? Lampu kamar sudah aku ganti ke warna warm agar bisa tidur dengan nyenyak. Tapi karena ada Mas Rendra, aku nyalakan lampu nakas. Terlihat wajah tampan Mas Rendra yang memerah. Tunggu, apakah aku berkata tampan? Tapi dia kan memang tampan sih. Sepertinya otakku harus diruqyah! “Ini apa Renata?” Mas Rendra memberikan ponsel pintar mahalnya kepadaku. Mataku menyipit, agar bisa melihat dengan jelas apa yang ada di ponsel itu. Terlihat ada seseorang yang sepertinya dengan sengaja mengambil fotoku secara sengaja. “Kamu gulir ke kanan dan lihat apa yang ada di situ.” Suara Mas Rendra terdengar seram. Tapi aku menurut, aku gulir ke kanan dan memang tampak di situ beberapa poseku dengan beberapa lelaki, ada Satya dan juga teman kuliahku saat di Jepang. Baju yang aku pakai berbeda, artinya foto ini diambil di hari yang berbeda. Tidak dalam satu hari. Niat banget sih? Di foto itu, semuanya nampak aku yang sedang tertawa gembira. Aku sendiri lupa, tertawa karena lelucon apa. Tapi wajahku tampak gembira. Yaa, tentu saja. Siapa yang tidak gembira sih, di hari Jumat sore, akhirnya bisa sejenak lepas dari kepenatan pekerjaan seminggu. “Ini fotoku saat mengantar Aliesya terapi di klinik tumbuh kembang. Yang aku heran, bajuku berbeda-beda. Ini artinya foto ini diambil secara sengaja, karena bukan di satu hari yang sama. Yang lainnya saat aku bertemu teman-teman yang kuliah di Jepang minggu lalu. Kamu menyuruh orang untuk memata-mataiku Mas? Kenapa? Ada apa?” Tanyaku dengan nada heran. “Siapa lelaki-lekai itu? Apa hubunganmu dengannya? Itu mantan kekasihmu? Kamu tahu pasti kalau kamu sudah menikah, Renata. Kamu sudah terikat denganku. Seharusnya kamu tidak binal dengan ketawa-ketiwi centil seperti itu.” Suara dan aura Mas Rendra semakin gelap. Aku sedikit mundur karena dia melangkah maju mendekatiku. Sayangnya kakiku terbentur ranjang hingga membuatku jatuh terduduk di tepian ranjang. “Apa maksudnya dengan binal? Mas Fadly tidak ada hubungannya dengan ini.” Aku menjawab dengan berani. Kenapa Mas Rendra bisa membawa nama Mas Fadly? Dia sendiri tidak ada fotonya di situ. Sekarang ada di mana aku jugat tidak tahu! “Mas? Kamu bahkan menyebutnya dengan Mas?” Bentak Mas Rendra dengan kesal. “Dari dulu aku selalu memanggilnya dengan sebutan Mas! Umurnya lebih tua dariku. Apakah aku salah?” Suaraku semakin berani. Ibu dan bunda mengajariku sopan santun untuk memanggil yang lebih tua dariku dengan sebutan Mas! “Kamu bertanya apakah kamu salah, Renata? Tadi sudah aku bilang kalau kamu sudah menikah! Kenapa kamu masih saja centil ketawa-ketiwi dengan lelaki hah? Kamu istriku!” Tiba-tiba saja Mas Rendra mengungkung tubuhku. “Aku memang istrimu, Mas. Kamu memang suamiku secara agama dan sah di mata Tuhan. Tapi apakah selama beberapa bulan kita menikah, kamu pernah menganggapku sebagai seorang istri? Tidak pernah! Kamu menganggapku sebagai asisten anakmu saja! Perawat Aliesya! Bukan sebagai seorang istri!” Aku menjawab dengan suara bergetar menahan marah. Air mataku sudah mengalir. Keluar sudah uneg-uneg yang aku simpan selama ini. “Kamu ingin aku menganggapmu sebagai seorang istri? Kalau begitu aku menuntut hakku sekarang sebagai seorang suami! Layani aku!” Mendadak Mas Rendra membuka t shirt yang dia pakai dan dibuang sembarang arah. Aku menjerit, berteriak kaget karena sedetik kemudian dia merobek piyama yang aku pakai!  *** Hehehe silakan tinggalkan komentar tentang Rendra yaa, tapi tetap yang santuyyy. Rendra kalap, iyap. Rendra bukanlah lelaki sempurna loh. Dia memang ganteng, perut kotak-kotak, sultan pula, tapi ada sisi gelap padanya yang akan membuat readers kesal setengah hidup xixi... Next part aku akan langsung publish jika ada 75 komentar dari pembaca yang berbeda yaa ^_^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN