Raungan Tika, diiringi suara dentum jatuhnya benda ke lantai, sama sekali tidak ia pedulikan. Pria itu memilih sarapan di kamar, agar suara Tika hanya terdengar samar saja sampai ke atas. Ditambah lagi, ia menyetel TV dengan kuat agar suara mengamuknya Tika tidak terdengar. Dika menikmati sarapan seadanya karena memang stok bahan makanan di rumahnya tersisa nuget saja. Untunglah beras dan bumbu dapur lainnya masih ada, sehingga ia bisa memasak alakadarnya untuk mengisi perut yang lapar.
Kring! Kring!
Dika meraih ponsel yang ada di atas ranjang. Nama Budi tertera di layar ponsel.
"Halo, assalamu'alaikum."
"Wa'alaykumussalam, maaf Pak Dika, semalam saya sudah tidur. Ada apa ya, Pak?"
Budi belum bisa memanggil Dika dengan sebutan 'Pak' karena memang awalnya sudah dengan sebutan itu. Jika memanggil namanya saja, dirasa tidak sopan.
"Oh, iya Mas Budi, begini, saya mau cerita sedikit. Setelah saya menikah dengan Tika, saya tidak tahu apa yang terjadi dengan istri saya itu. Badannya bau sekali. Antara bau mayat busuk dan juga bau bangkai tikus, serta amis pipis manusia."
"A-apa, Tika bau badan?"
"Iya, saya didemo warga untuk segera mengusir Tika. Tika gak boleh tinggal di lingkungan saya. Oleh karena itu, saya sudah mengucapkan talak pada Tika, Mas. Saya harap Mas Budi paham. Tika belum saya apa-apakan.. Masih perawan, saya jamin itu. Bagaimana saya mau menyentuh Tika, jika baunya saja seperti bangkai? Jadi saya minta Mas Budi menjemput Tika di rumah saya."
"Tunggu, kenapa adik saya tidak dibawa berobat? Kenapa langsung ditalak?"
"Tidak ada taksi, ojek online yang mampu bertahan dengan bau badan Tika. Jika Mas Budi gak percaya, coba Mas Budi sekarang datang ke Jakarta. Saya tunggu, saya dan Tika sudah bukan suami istri lagi. Tolong dijemput adiknya ya, Mas. Saya gak mau rumah saya dibakar warga gara-gara ada bau busuk dari rumah saya."
Rasa suka yang pernah ada itu benar-benar sirna. Ia sendiri pun tidak mengerti kenapa bisa ia menikahi Tika. Padahal jelas-jelas Tika hanya mantan pembantunya yang SD juga tidak tamat. Belum lagi karena Tika, ia jadi sering bertengkar dengan Nuri, saat wanita itu masih menjadi istrinya. Apa yang membuatnya buta, sehingga nekat menikah dengan Tika?
***
Jika Dika sedang sibuk dengan mengurus masalahnya bersama Tika, maka Nuri sangat dipusingkan oleh Daniel. Pagi-pagi, bahkan belum juga pukul tujuh, pria itu sudah berkunjung ke rumah kontrakan Nuri. Wanita itu tidak mau membukakan pintu, karena ia malas meladeni Daniel.
"Nuri, buka atau aku dobrak!" Suara gertakan Daniel membuat Nuri mendesah sebal. Ia yang tengah membentuk adonan baso menjadi bulat-bulat, terpaksa menghentikan kegiatannya. Nuri mencuci tangan sebelum membukakan pintu untuk Daniel.
Cklek
"Ada apa?" tanya Nuri malas. Wanita itu berkacak pinggang di depan suaminya.
"Aku ingin bicara dan aku ingin kamu pulang ke rumahku. Mama dan tante sudah tidak ada di sana dan kamu bisa tenang tinggal di rumah suamimu ini," suara Daniel begitu lembut membujuk Nuri. Ia masih belum mau menyerah terhadap istrinya, karena ia benar-benar mencintai Nuri.
"Mereka keluarga kamu, Mas. Kapanpun mereka mau datang dan berapa lama mereka mau menginap, siapa yang bisa melarang? Lagi pula, tidak mungkin dalam satu rumah tangga ada dua nyonya. Bukankah kamu mau menikahi Angel? Lalu aku di sana sebagai apa?" bola mata itu menantang tatapan suaminya yang sendu.
"Aku akan bicara pada kedua orang tua Angel untuk memaafkanku karena aku tidak bisa menikahi putri mereka." Nuri diam sejenak. Dari sorot mata itu, ia sangat tahu suaminya jujur dan tulus. Hanya saja sisi hatinya yang lain mengingatkannya untuk tetap waspada.
"Jika memang kamu sudah bicara dengan kedua orang tua wanita itu dan mereka setuju, keperawanan anak mereka terenggut sia-sia, barulah aku mau pulang. Jika tidak, aku akan tetap minta kita bercerai."
Blam!
"Aku akan buktikan ucapanku, Nuri! Kamu akan kembali pulang ke rumahku."
"Lelaki jangan suka obral janji. Buktikan dengan tindakan! Istri gak mau rujuk, masih dipaksa juga!" Daniel menoleh kaget mendengar suara wanita menegurnya dengan ketus.