"Kamu ini bisa-bisanya pingsan di rumah orang. Mau apa sih?" tanya Daniel dengan wajah sebal. Di sampinga ada Nuri yang diam sambil melipat tangan di d**a. Dika yang baru saja sadar, langsung bangun duduk. Lebih tepatnya pura-pura tak sadar, lalu sadarkan diri.
"Saya cuma mau ketemu Nuri. Ada yang mau saya bicarakan. Karena rumahnya sepi saat saya panggil, saya berniat panggil dari jendela kamar, eh... "
"Ya... ya... sudah, sekarang sudah sadar kan? Sekarang kamu bisa pulang!" Usir Daniel to the point. Tentu saja ia tidak senang dengan kehadiran mantan dari Nuri di rumah istrinya ini.
"Kalian berdua pulang saja. Saya lagi gak enak badan dan lagi ngantuk banget." Nuri meminta keduanya pergi dari rumahnya dengan cara halus.
"Kamu sakit?" dua pria itu mengeluarkan kalimat tanya secara serentak dan sama. Daniel dan Dika sama-sama menatap Nuri dengan tatapan khawatir.
"Ya, saya bisa sakit jiwa kalau kalian berdua ada di rumah saya lebih lama lagi. Cepat pergi! Saya gak mau diganggu." Nuri membuka pintu rumahnya dengan amat lebar. Wajah Daniel nampak menahan marah, karena ia kecewa ikut diusir juga oleh istrinya. Padahal ia sengaja datang ke rumah Nuri untuk berbaikan dan mengajak Nuri pulang ke rumahnya.
"Mas, kamu pulang ya. Mama dan tante kamu pasti sangat khawatir karena anak dan keponakan kesayangan mereka udah mau magrib gini belum sampai rumah."
"Kamu juga, Mantan, pulang ya!" Dika mengangguk dengan yakin.
"Tapi saya akan pulang, kalau suami kamu ini yang sebentar lagi akan jadi mantan suami, ikutan pulang juga." Nuri mendesah sebal. Lengan baju kaus tiga per empat itu ia naikkan dengan cepat. Dilanjutkan dengan gerakan berkacak pinggang.
"Kalian berdua tetap mau di sini, oke! Saya yang akan pergi!".
"Jangan, Mantan, gak papa biar saya pulang ya!" Dika menahan tangan Nuri. Ia berkunjung di saat yang tidak tepat, sehingga jelas sekali Nuri tidak nyaman.
"Saya pamit ya. Cepat sembuh." Dika berjalan cepat keluar dari rumah Nuri. Lalu wanita itu menatap Daniel, lalu ia menggerakkan kepalanya ke arah luar. Meminta Daniel juga ikut pergi. Pria itu menyerahkan dan akhirnya ia pun ikut meninggalkan rumah Nuri.
"Saya tidak akan menceraikan kamu, Nuri. Jangan harap kamu akan bisa cerai dari saya!" Ucapan Daniel begitu tegas, tetapi Nuri sama sekali tidak takut . Menurutnya Daniel hanya keras dan sok tegas padanya, tetapi pada mama dan tantenya, ia amatlah lembek.
Dika sudah lebih dulu meninggalkan warung baso Nuri. Tujuannya saat ini adalah Alfamini suwer. Ya, Dika berencana membeli aneka makanan ringan, buah, dan juga ia berencana membelikan vitamin untuk Nuri. Untunglah letak tempat yang ia maksud tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Nuri.
Dengan menggunakan keranjang roda, Dika membeli aneka kebutuhan yang ia kira-kira bermanfaat untuk Nuri. Total belanjanya pun mencapai empat ratus ribu karena Dika membelikan vitamin paten seharga dua ratus ribu untuk Nuri.
Setelah berbelanja, Dika kembali ke rumah Nuri. Ia bisa bernapas lega setelah tidak melihat keberadaan Daniel di sana.
Tok! Tok!
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alayakumussalam," suara Nuri menyahut dari dalam rumah.
"Ini saya, cuma mau antar ini saja. Ada di depan saya taruh ya." Dika bergegas naik kembali ke motor. Nuri membuka pintu dan terkejut dengan dua kantong belanja penuh di teras rumahnya.
"Biar cepat sembuh!" Seru Dika diiringi senyuman. Nuri nampak menghela napas, tetapi kemudian ia mengangguk sambil tersenyum tipis. Dika pun merasa lega. Ia bisa pulang ke rumah dengan perasaan tenang.
Saat azan magrib berkumandang, Dika sampai di rumahnya. Ya, malam ini ia harus pulang ke rumah karena ada flashdisk penting urusan pekerjaannya yang tertinggal di lemari kamarnya. Lampu dapur menyala, begitu juga lampu teras. Pria itu memang sengaja menyalakan lampu dua ruangan itu agar tidak ada orang jahat yang iseng masuk ke rumah dan menguasai barang-barangnya.
Dika memutar anak kunci rumahnya dua kali, lalu ia masuk untuk menyalakan lampu ruang tamu. Pintu rumah kembali ia kunci, lalu ia pun naik ke kamarnya yang ada di lantai dua.
Cklek!
"Tara... kejutan!" seorang wanita bau tersenyum manis sambil mengenakan lingerie saat menyambut suaminya.
"Tika, mau apa kamu di rumah saya?"
***
"Mas, saya sudah tidak bau," ujar Tika semangat sambil berputar-putar di depan suaminya.
"Hidung kamu lagi polip, makanya gak bisa nyium bau. Kamu masih bau busuk. Keluar dari kamar saya!" Dika menarik kasar tangan istrinya untuk segera turun.
"Mas, pelan-pelan!" Tika berusaha menahan tubuhnya, tetapi tenaga suaminya terlalu kuat, sehingga ia terpaksa pasrah saat ditarik masuk ke kamar pembantu yang dulunya ia tempati.
"Mas, kamu gila! Masa istri kamu ditaruh di kamar pembantu! Yang benar saja!" Tika berteriak tidak terima dengan perlakuan suaminya, tetapi Dika masa bodoh. Selagi bau busuk dari tubuh istrinya belum hilang, maka ia tidak mau berdekatan dengan wanita itu.
"Biasanya juga kamu di kamar ini. Aku bilang, obati bau badan kamu, Tika! Kenapa malah kamu pergi ke rumahku. Masuk tanpa ijin. Sama aja kamu itu maling! Ngerti gak?!"
Blam!
Cklek
"Mas, buka! Saya jangan dikunciin!" Teriak Tika panik karena Dika menguncinya dari luar. Wanita itu terus menggedor pintu dengan kuat, hingga memekkan telinga. Tetangga kanan kirinya pasti mendengar teriakan Tika dan ia tidak mau malah mengundang warga jadi datang ke rumahnya.
Dika berjalan kembali ke kamar Tika.
"Diam atau kamu aku talak!" Teriak Dika tidak kalah cetar, sehingga detik itu juga, Tika terdiam. Pria itu naik ke kamarnya, lalu menelepon Budi. Ya, satu-satunya orang yang mungkin berpihak padanya dan bisa menolongnya hanya Mas Hadir;kakak dari Tika.
Dua kali menekan kontak Budi, tetapi tidak diangkat. Dika pun memutuskan untuk berganti pakaian. Mengganti seprei, menyapu, juga mengepel kamar. Aroma Tika masih tertinggal, meskipun tidak terlalu menyengat. Lelah yang amat sangat dengan pekerjaan rumah tangga yang baru saja ia lakukan, membuat Dika tertidur tanpa mandi terlebih dahulu.
Ia terbangun saat ponselnya berdering nyaring. Dika tidak langsung mengangkatnya, ia menggeliat terlebih dahulu untuk merenggangkan ototnya yang kaku. Sering itu berhenti, tetapi kemudian berbunyi kembali. Ia meraba meja kecil yang ada di samping ranjang, tempat ia menaruh benda pipih itu.
"Halo, assalamu'alaikum."
"Wa'alaykumussalam. Dika, kamu pulang ke rumah kamu?"
"Oh, Mama. Iya, Ma, ada file yang harus Dika ambil. Rumah juga perlu Dika bersihin, Ma. Bau apek, kelamaan gak ditinggali."
"Oh, gitu, ya udah, nanti Mama ke sana deh ditemani Fitri buat bersih-bersih."
"Jangan, Ma, nanti Mama pingsan. Di sini ada Tika."
"Apa? Tika di rumah kamu? Bagaimana bisa?"
"Dia punya kunci cadangan pintu samping, Ma. Ini nanti mau saya ganti semua kepala kunci."
"Terus, kamu masih umur panjang ini, gak mati berduaan dia doang di rumah?"
"Tika saya masukkan ke kamar belakang, Ma. Ini saya mau nelepon Mas Budi, biar dia jemput Tika. Saya nyerah, Ma, saya mau cerai saja dari Tika."
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya Dika. Ya udah, Mama dukung kamu. Mama tetap ke rumah kamu sama Fitri."
"Ya udah, terserah Mama aja. Saya mau subuh dulu." Dika pun memutus panggilan. Lalu ia masuk ke kamar mandi untuk mandi sekalian berwudhu. Selesai solat, Dika turun ke dapur untuk membuat teh, memasak nasi, serta menggoreng nuget sambil menunggu nasi matang.
"Mas, saya lapar. Biar saya saja yang masak!" Seru Tika dari dalam kamarnya, tetapi Dika tak terkecoh ataupun iba. Ia menyiapkan teh juga untuk Tika. Nugget pun ia goreng lebih untuk sarapan istrinya. Meskipun ia kesal dan benci dengan Tika, tetapi ia tidak boleh membiarkan wanita itu kelaparan di rumahnya. Apalagi nanti ia mau dijemput oleh kakaknya.
Nasi pun matang. Dika menaruh tiga potong nuget, nasi dua centong, saus sambal dan juga kecap di atas nasinya.
"Ini, kamu makan dulu!" Dika meletakkan nampan di depan pintu yang baru saja ia buka.
"Mas, saya mau.... "
"Kamu saya talak, Tika. Kita bercerai saja. Alasannya karena kamu bau busuk. Tidak akan ada lelaki yang tahan dengan bau busuk seperti yang kamu alami. Selain busuk, juga bau amis. Aku seperti satu rumah dengan mayat yang membusuk di tengah-tengah pasar."
"Nggak, saya nggak mau!" Tika berjalan mendekati suaminya, tetapi Dika bergerak lebih cepat. Pintu kamar itu sudah ia tutup dan kunci kembali.
"Mas, saya gak mau dicerai. Kamu keterlaluan! Pokoknya saya gak mau dicerai!"