"Ibu gak perlu ikut campur urusan rumah tangga saya!" Daniel menatap Bu Widya dengan marah. Suaranya menggelegar membuat Bu Widya sempat ciut, tetapi ia mencoba berani menantang tatapan Daniel yang seperti ingin menerkam mangsa.
"Saya pengganti ibu Nuri selama Bu Fatma tidak di Jakarta. Tentu saja ini menjadi urusan saya. Pasti Bu Fatma setuju anaknya minta cerai, jika modelam suaminya seperti kamu!" Balas Bu Widya tidak mau kalah. Daniel tertawa remeh.
"Ibu gak berkaca bagaimana anak lelaki Ibu yang menyia-nyiakan Nuri? Kenapa bru berisik sekarang?"
"Karena kemarin itu anak saya ketempongan jin. Jadinya nakal. Sekarang jin-nya udah pergi. Udah sana, perempuan kalau udah gak mau jangan dipaksa!" Bu Widya mengusir Daniel. Pria itu tidak punya pilihan, selain pergi dari rumah Nuri. Percuma juga berdebat dengan ibu-ibu tua, ia pasti kalah. Ditambah lagi, Nuri sama sekali tidak keluar saat ia berdebat dengan orang tuanya Dika.
"Nunggu apa lagi? Cepat sana pergi!" Bu Widya mendelik pada Daniel. Pria itu pun berjalan menjauh ke arah depan gang. Setelah memastikan Daniel pergi, Nuri pun membukakan pintu untuk Bu Widya.
"Halo, Ma." Nuri menyapa dengan ramah.
"Halo, Sayang. Gimana kabar kamu?" Nuri mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.
"Sehat, Ma, ayo, masuk!" Nuri menutup pintu kembali setelah Bu Widya duduk di kursi tamunya.
"Mama mau minum apa? Biar saya buatkan," tanya Nuri dengan sopan. Bu Widya tersenyum begitu hangat.
"Mama udah minum di rumah. Ini mau ke rumah Dika, Mama sengaja mampir lihat kamu sebentar. Bagaimana masalah kamu dengan Daniel?" Nuri tidak langsung menjawab. Ia tengah memikirkan kalimat yang tepat untuk menjelaskan pada Bu Widya.
Di satu sisi, ia tidak mau membuat Bu Widya berharap bahwa ia akan kembali bersama Dika jika ia bercerai dengan suaminya. Di sisi lain, ia butuh Bu Widya untuk tempat curhat; menjelaskan semua masalah yang saat ini menimpa dirinya.
"Nuri gak tahu, Ma. Mas Daniel bilang, ia tidak akan menceraikan saya. Dia juga gak akan menikahi wanita bernama Angel itu," cerita Nuri dengan perasaan yang tidak nyaman.
"Lalu kamu percaya? Inilah susahnya kalau hanya menikah siri," tanya Bu Widya nampak sedikit kecewa. Ia merasa Nuri akan kembali lagi pada Daniel.
"Mungkin saya akan memberinya satu kesempatan lagi, Ma, tapi dengan catatan, saya gak mau tinggal di rumahnya. Saya gak mau tinggal di rumah yang sering didatangin oleh mertua saya. Saya mau rumah lain." Bu Widya pun mengangguk paham. Ia tidak bisa memaksa Nuri untuk tetap berpisah dari Daniel. Selain berdosa, ia juga tidak berhak dan tidak bisa cara merayu Nuri untuk tetap pada keputusan awalnya.
"Mama berharap kamu bisa balikan lagi dengan Dika. Dika sudah insyaf dan sudah mengucapkan talak pada Tika. Siang ini juga, Tika akan dijemput kakaknya untuk dibawa ke kampung." Nuri terkejut dengan pernyataan Bu Widya.
"Memangnya Tika mau dicerai, Ma?" tanya Nuri.
"Nggak, mana mau dia! Tapi dia juga gak punya kuasa untuk menahan Dika untuk tidak mengucapkan talak. Ya ampun, Nuri, Tika itu bau banget. Mama sampai gak bisa melukiskannya karena terlalu bau. Gimana mau dipertahankan jadi istri? Tika saja sampai di demo warga. Makanya, Dika udah duda, kamu juga hampir janda. Mama berharap kalian.... "
Nuri tertawa mendengar kalimat akhir Bu Widya. Wanita itu menggenggam kedua tangan ibu dari Dika itu.
"Nuri minta doanya dari Mama, agar Nuri diberikan yang terbaik, Ma. Saat ini, Nuri ingin memberikan kesempatan pada Daniel. Semoga saja dia konsisten dengan ucapannya." Bu Widya mendesah kecewa, tetapi ia tidak punya kuasa atas keputusan Nuri.
Dua puluh menit berbincang dengan Nuri, Bu Widya pun pamit untuk pergi ke rumah Dika. Ia yang awalnya ingin pergi bersama Fitri, memutuskan untuk mampir ke rumah Nuri terlebih dahulu, sedangkan Fitri sudah lebih duluan pergi ke rumah Dika untuk membantu beres-beres rumah.
"Assalamu'alaikum," sapa Bu Widya begitu ia turun dari mobil. Pintu rumah Dika terbuka dan samar-samar ia mendengar dua orang tengah berbincang.
"Dika, Fitri!" Seru Bu Widya sambil berjalan masuk ke dalam rumah.
"Wa'alaykumussalam. Akhirnya Mama datang juga. Saya kirain Mama gak jadi ke sini," jawab Dika diiringi senyuman. Fitri tersenyum sembari mengepel lantai rumah Dika.
"Mana Tika?" tanya Bu Widya.
"Di kamar belakang," jawab Dika sambil duduk di sofa ruang tengah.
"Jam berapa kakaknya mau datang menjemput? Ini sudah zuhur." Bu Widya terpaksa menaikkan kembali masker yang mengantung di lehernya.
"Mungkin sebentar lagi, Ma. Kita tunggu saja." Dika melihat jam dinding yang sudah berada di angka dua belas tepat. Sepuluh menit lagi akan tiba masuk waktu zuhur.
Nguing! Nguing
Suara sirine ambulan terdengar begitu nyaring.
"Innalillahi, siapa yang meninggal?" Bu Widya bangun cepat dari duduknya untuk melihat mobil ambulans yang masuk ke dalam komplek perumahan putranya.
"Itu ambulan yang akan menjemput Tika, Ma." Dika menutup mulutnya menahan tawa. Mobil itu berhenti di depan rumah putranya.
"Apa? Tika dijemput dengan ambulan? Memangnya Tika u-udah innalillahi?" Bu Widya mendelik terkejut.
**
"Astaghfirullah, bau apa ini?" pria bernama Budi langsung menekan hidungnya sesaat baru turun dari mobil ambulan.
"Bau Tika, Mas Budi. Ayo, mari masuk!" Dika menjabat tangan pria yang sudah tidak menjadi iparnya lagi.
"Minum dulu, Mas, mau teh atau kopi?" tanya Dika ramah. Meskipun ia telah menceraikan Tika, tetapi ia tetap baik pada Budi karena memang masalahnya hanya pada Tika saja.
"Saya gak sanggup baunya, Pak Dika. Saya langsung bawa Tika pergi aja deh, tapi bau begini, baiknya dibungkus apa ya?" Budi menggaruk kepalanya.
"Mungkin pakai mukena." Dika mengusulkan.
"Wah, kayaknya adik saya gak punya mukena, Pak."
"Kenapa?" Dika mengerutkan kening terheran.
"Adik saya mana mau solat, Pak. Udah dari kecil. Lebaran aja gak solat, apalagi solat lima waktu." Dika manggut-manggut paham, sedangkan Bu Widya sudah bergidik ngeri. Punya menantu yang tidak solat, mau apa jadinya rumah tangga anaknya nanti. Untunglah tiba-tiba wanita itu bau, jika tidak, maka selamanya bisa dipastikan ia memiliki menantu yang jauh dari Tuhan.
"Bungkus seprei aja. Dua lapis biar agak samar baunya." Bu Widya menyarankan.
"Sepreinya disemprot pewangi laundry yang banyak biar gak keluar aroma busuknya," kata Bu Widya lagi disambut anggukan dua pria di depannya. Sopir ambulan masih berada di depan kemudi sambil menutup hidung.
"Di bagian belakang itu udah saya taburi kembang, Bu. Tadi saat lewat pemakaman, saya beli lima bungkus dan juga air mawar. Udah saya taburi. Meskipun belom ada mayatnya. Eh, maksud saya, belom ada adik saya." Bu Widya dan Dika tertawa.
"Ya sudah, sebelah sini, Mas!" Dika pun mempersilakan Budi untuk masuk ke dalam rumahnya. Padahal pria itu sudah memakai masker, tetapi ia menambahkan dengan tangannya juga. Selain aroma busuk yang membuat mual, kepala pun menjadi ikutan pusing. Jika berlama-lama di sana, maka dapat dipastikan akan muntah darah.
"Tika, ini saya. Ayo, kita pulang!" Seru Budi dari depan pintu kamar adiknya.
"Mas Budi, Mas, saya gak mau pulang, Mas. Saya mau di sini, Mas. Ini rumah suami saya, Mas!" Tika berteriak histeris dengan iringan tangisan.
"Ayo, kita pulang, biar kamu diobati. Badan kamu bau sekali, aku aja gak tahan, pengen muntah, pengen buang air, nyium aroma kamu. Bisa-bisa rumah Pak Dika dibakar warga kalau bau busuk kamu masih ada di sini. Ayo, kita pulang!" Budi berusaha membujuk Tika. Tidak ada jawaban lagi dari dalam, hanya suara isakan saja.
"Tika, saya buka pintunya ya," kata Budi lagi dengan pelan. Bu Widya datang sambil membawa dua buah seprei milik Dika yang sudah lama. Wanita itu memberikannya pada Budi untuk membungkus adiknya.
"Saya masuk sekarang ya," kata Bu berbisik pada Dika. Tentu saja Dika mengangguk. Bu Widya sudah bersiap dengan sapu, begitu juga Fitri yang sudah bersiap dengan gagal pel. Keduanya mempersiapkan diri, jaga-jaga jika Tika mengamuk saat akan dibawa pergi.
Anak kunci itu diputar dua kali oleh Budi. Lalu ia menekan kenop pintu perlahan.
Brak!
"Eh, sini, sini!" Dengan gerakan cepat, Budi menahan lengan Tika yang hendak kabur. Pintu kembali dikunci oleh Dika.
"Buka, kalian keluarga gila! Saya akan melaporkan ini ke polisi. Kalian menyekap saya di sini!" Teriak Tika tidak terima.
"Sudah, jangan banyak bicara. Cepat, bungkus badan kamu dengan ini!"
"Loh, mau apa, Mas? Mau apa dengan seprei ini?" Tika berontak tidak mau dibungkus oleh kakaknya.
"Tika kamu harus dibungkus, kamu bau sekali, baunya jijik! Uek!" Budi pun sudah tidak tahan, tetapi Tika terus melawan hingga akhirnya Budi memukul belakang kepala Tika dengan kuat, hingga wanita itu jatuh pingsan. Setelah pingsan, Budi menggulung tubuh adiknya ke dalam dua seprei.
Kamu ini menyusahkan saja. Maaf ya, Tika, kalau gak dibikin kayak risol gini, bau kamu pasti sangat menyengat. Batin Budi.
"Pak, sudah bisa saya keluar nih, Tika sudah siap dibawa," seru Budi dari dalam kamar. Dika pun membukakan pintu, lalu terkejut melihat Tika yang tidur dalam gendongan Budi.
"Bapak tenang aja, adik saya cuma pingsan, kalau gak dibikin pingsan, susah nanti saya bawanya. Sampai di ambulan juga nanti mau saya kasih obat tidur, biar dia gak ngamuk sampai kampung. Ya sudah, saya berangkat ya, Pak, Bu, mohon maaf atas kesalahan adik saya."
"Sama-sama Mas Budi. Hati-hati di jalan." Dika dan Bu Widya mengantar kepergian Tika. Keduanya bernapas lega setelah mobil ambulan itu menghilang dari depan rumah. Bu Widya duduk di kursi teras sambil bergumam hamdalah berkali-kali.
"Dika, satu masalah selesai. Kini, sisa satu masalah lagi," ujar Bu Widya pada Dika yang kini juga duduk di dekatnya.
"Masalah apa, Ma?" tanya Dika.
"Nuri, Nuri mau rujuk dengan suaminya."