Setelah dinyatakan lulus dengan gelar sarjana hukum, Widya mencoba untuk melamar pekerjaan tapi kemudian oleh Saras, asisten pribadi Adara justru dihalangi. Ini karena Widya sudah merupakan pimpinan dari Minara sekarang statusnya dan sebaiknya cukup untuk diam dan menunggu proses untuk lanjut kuliah S2.
Alhasil karena hal itu Widya hanya bisa di rumah saja dan menghabiskan waktu untuk membaca buku. Nama Widya memang tercantum sebagai pimpinan Minara, tapi yang bekerja sebenarnya Saras, asisten pibadi Adara ini umurnya 33 tahun dan orang yang sangat cerdas. Harusnya Saras yang menjadi pimpinan saja, entah kenapa Adara sampai berpikiran Widya yang mendapatkannya.
“Mbak, aku nggak mau pakai dress begini, pakai kemeja biasa aja boleh?” tanya Widya pada Saras.
Hari ini untuk kedua kalinya Widya hendak menuju Minara untuk menghadiri rapat. Widya hanya diminta untuk hadir karena biar bagaimana pun sampai nantinya David akan menggantikan posisinya, Widya yang harus melakukannya.
“Nggak bisa, pakai kemeja kurang menunjukkan wibawa kamu. Ibu pernah bilang kalau kamu lebih cocok pakai dress,” jawab Saras dengan mimik wajah serius.
Widya tidak berani untuk protes karena Saras itu orangnya tegas dan sangat menghormati pendapat dari Adara atau yang sering dia dan Saras panggil sebagai “ibu”.
Sebuah dress warna hitam dengan panjang selutut sudah dikenakan di tubuh mungil Widya. Dress itu berlengan jenis bell yang sangat elegan. Selain itu sangat menunjukkan lekuk tubuh hingga Widya merasa kurang percaya diri karena jarang berpakaian seperti ini.
Di bagian pinggang sangat menunjukkan kalau Widya memiliki lingkar pinggang yang kecil. Bukan karena langsing, tapi Widya berpikir dia kurus karena sejak Adara sakit dan dia juga sedang skripsi, berat tubuhnya turun drastis.
“Mika, tolong dandanin Widya dengan lipstik yang agak bold,” ujar Saras pada penata rias yang sudah sering disewa oleh Saras untuk Adara dulunya.
Lagi-lagi Widya tidak bisa protes meski dia tidak rela menggunakan lipstik warna begitu karena biasanya dia hanya suka memakai warna nude agar tidak terlalu menonjol.
Sembari dirias, Widya diminta untuk menghapalkan lagi manual dan pembiacaraan apa yang akan dia hadapi nantinya. Rapat yang dihadiri ini dijadwalkan untuk membahas tentang rencana inovasi apa saja yang akan diambil oleh perusahaan untuk bisa terus menarik penggemar artis menetap.
Sebenarnya ini cuma rapat biasa tapi kehadiran dari Widya dengan menunjukkan wibawanya akan sangat penting bagi Saras agar tidak dianggap remeh. Semua jajaran di Minara sudah tahu latar belakang Widya yang dulunya cuma pembantu rumah tangga Adara sebelum kemudian mendapatkan wasiat untuk menduduki puncak pimpinan agensi hiburan ini. Jadi karena masalah itu Widya terus direndahkan tanpa melihat bagaimana Widya menunjukkan dirinya bisa lulus di salah satu perguruan tinggi terkenal di Indonesia.
* * *
Sampai di Minara, Widya harus berjalan paling depan dan Saras yang ada di belakangnya. Tentu saja Widya sangat gugup karena tidak biasa seperti ini, ini bukan bidangnya. Tapi kalau bicara di depan umum atau persidangaan, Widya bisa karena dia mahasiswa hukum.
Mereka hendak menuju lantai 3 untuk mengikuti rapat yang 10 menit lagi akan dimulai. Tangan Widya makin berkeringat karena dia akan menghadapi orang-orang yang selalu melihatnya dengan tatapan meremehkan lagi. Sebelumnya dia sudah menghadapi ini 2 minggu sejak kematian Adara, tapi tetap membuatnya merasa lelah walau cuma untuk hadir saja di rapat seperti ini.
Pintu lift baru saja akan ditutup tapi seseorang menahannya dengan menjulurkan tangannya agar terbaca oleh sensor pintu. Widya yang berdiri paling dekat dengan pintu pun terkejut karena tindakan itu dan segera menekan tombol untuk membuka pintu list.
“Oh, elo.”
Itu baru saja diucapkan oleh David, pria yang akan Widya nikahi 4 minggu lagi.
Widya merasa tidak rela menyebut David adalah calon suaminya meski pun dia setuju untuk menikah dengan pria itu.
“Gue kira lo nggak akan dateng,” kata David yang baru saja masuk ke dalam lift. Dia sudah tidak lagi menggunakan sapaan sopan karena masih kesal dengan sikap Widya waktu dia datang ke wisuda perempuan ini.
Mario, asisten pribadi David juga ikut masuk sehingga di dalam lift ini sekarang ada 4 orang. David berdiri di sebelah Widya, sedangkan Mario di sebelah Saras.
“Terpaksa,” timpal Widya tidak peduli dia berkata apa.
David mendengus karena Widya sangat jujur dengan apa yang dia pikirkan.
“Kalau gitu nggak usah dateng aja, kan ada Saras,” ujar David.
Widya melirik ke arah David dengan wajah kesal karena pria ini terus mengajaknya bicara padahal dia tadi cuma sekecap bicara saja.
“Nanti harta milik saya diambil olehmu kalau tidak datang,” kata Widya yang membuat David tersedak lalu tertawa.
Lagi-lagi David dibuat tidak menyangka apa yang akan dikatakan oleh perempuan ini. Sepertinya dia harus mulai waspada karena Widya menunjukkan tanda-tanda kalau bisa ditundukkan dengan uang apalagi kekuasaan. Pantas saja bisa masuk jurusan hukum dan lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.
David menjulurkan kepalanya mendekatkan bibirnya di sebelah telinga kiri Widya lalu berbisik di sana.
“Apakah keliatan sangat jelas?” tanya David menggoda.
Tadinya Widya hendak menoleh tapi karena posisi David terlalu dekat dengan kepalanya maka nantinya malah terjadi yang tidak-tidak.
“Di wajahmu tertulis dengan jelas, apa ketika mengaca tidak bisa terlihat olehmu sendiri?” balas Widya menjawab pertanyaan David.
Dan tangan David reflek mengusap puncak kepala Widya karena jawaban yang diutarakan perempuan ini sangat menghiburnya. Rasanya menyenangkan juga untuk berbicara dengan Widya yang tidak mau mengalah dengan tekanan yang dia berikan. Atau mungkin karena sudah terbiasa berdebat di dalam jurusan perkuliahannya sehingga pribadi Widya pun terbentuk seperti ini.
Widya langsung menggeser posisi beridirinya sehingga tangan David terlepas dari puncak kepalanya.
“Kamu merusak tatanan rambut saya,” katanya.
Tawa David menggema di dalam lift karena kalimat Widya barusan. Dia tertawa puas untuk pertama kalinya setelah lama tidak merasakan rasanya terhibur seperti ini. Dan sumber tawanya justru berasal dari musuh yang akan dia nikahi untuk bisa menjadi sekutu.
Sepasang mata Widya melirik kesal pada respon David yang malah tertawa keras sekali apalagi ini di dalam lift. Dan masih saja tertawa bahkan sampai mereka keluar dari benda kotak ini untuk mennuju ruang rapat.
“Eh!” Widya berjengit kala merasakan tangannya digenggam, ternyata itu kembali merupakan ulah David.
David mengangkat tangan kiri Widya yang dia genggam di depan wajah Widya sendiri.
“Karena elo kebetulan datang di rapat hari ini. Jadi kita harus bersandiwara dengan pura-pura dekat. Oke, sayang?” kata David membuat rencana dadakan.
Widya tentu saja tidak setuju, dia ingin melepaskan tangannya tapi David terlalu erat menggenggam tangannya. Pria itu bahkan kini memberikan tatapan tajam dan serius pada Widya, gurat tawa di wajahnya telah hilang seutuhnya.
“Ada seseorang bernama Kusuma yang sejak lama menjadi musuh untuk kakek dan si nenek tua. Kusuma ini ingin merebut Minara dan kalau kita tidak bekerja sama, lo akan lihat sendiri trik licik yang akan dia lakukan,” tutur David di depan wajah Widya.
Inginnya Widya tidak percaya dengan apa yang David katakan karena David sendiri juga akan merebut Minara. Tapi ketika Widya menoleh ke arah Saras yang merupakan orang kepercayaan Adara, Saras justru memberinya anggukkan yang berarti memang orang bernama Kusuma ini perlu Widya waspadai.
“Kenapa tidak ada yang bilang pada saya soal ini?” tanya Widya, dia mengeluh karena baru tahu saat sudah berada di kantor.
David menjauhkan wajahnya dari wajah Widya lalu berdiri tegap. Tangannya masih menggenggam tangan Widya.
“Karena harusnya dia tidak datang hari ini. Kalau dia nggak datang, gue juga nggak akan repot-repot ke sini padahal ada jadwal lain,” jawab David lalu menghela napas.
“Pokoknya, lo nanti akan lihat sendiri gimana liciknya dia di dalam rapat,” sambungnya.
Dengan masih bergandengan tangan, David mengajak Widya masuk ke dalam ruang rapat. Semua mata karyawan Minara dari yang posisinya direktur hingga ke staf biasa langsung tertuju pada mereka berdua apalagi karena tangan keduanya yang saling terhubung. Selain itu tindakan David yang mempersilakan Widya untuk duduk setelah memundurkan kursinya pun semakin memperlihatkan interaksi yang tidak mereka duga sama sekali.
Sebenarnya mereka sangat ragu dengan hubungan David dengan Widya yang dikabarkan akan menikah. Mereka tahu reputasi playboy David sebagai salah satu direktur mereka itu sudah menjadi rahasia umum, tapi tiba-tiba akan menikah jelas menimbulkan tanda tanya dan kejanggalan.
Apa ini hanya demi Minara yang ada di tangan Widya?
Apakah ini cuma pernikahan bisnis semata?
Tapi perlakuan David pada Widya tadi terlihat natural atau mungkin karena David sudah sering melakukannya pada banyak wanita, sehingga terlihat sangat “natural”.
Widya duduk di ujung meja lonjong yang panjang di ruang rapat ini. Di sisi kanannya ada David karena memang posisi duduknya sebagai general manajer berada di sana, sedangkan di sisi kirinya ada Saras. Kini dia menjadi pusat perhatian sehingga berkali-kali membasahi bibirnya dan itu tertangkap oleh David yang memang teliti pada banyak hal di sekitarnya.
Tangan David meraih botol minum di hadapan Widya lalu membukakan itu sembari menunggu rapat akan dimulai.
“Minummu,” ucap David sembari meletakkan botol minum yang sudah dia bukakan tutupnya di hadapan Widya.
“Terima kasih,” balas Widya dengan tersenyum tipis.
Sandiwara ini terlalu mendadak dan Widya juga tidak terbiasa dengan situasi seperti ini, jadi entah apakah tadi ekspresinya terlalu kaku atau tidak. Tapi dia berterima kasih dengan tulus pada David karena dia memang sangat butuh minum, hanya saja kepalanya terasa blank sekarang hingga tidak tahu harus berbuat apa.
Lagi-lagi ekspresi Widya ini tertangkap oleh David dan pria itu kini meraih tangannya yang berada di bawah meja, menggenggamnya juga. Widya jadi menolehkan kepalanya kepada David dengan ekspresinya yang menunjukkan keterkejutan disentuh lagi oleh pria ini.
“Tarik napas,” ujar David dengan suara pelan.
Widya mengikuti perkataan David dan memang setelahnya dia menjadi lebih santai. Tapi dia juga merasa merinding karena sekarang David bukan cuma menggenggam tangannya, melainkan juga mengusap tangannya juga.
* * *