“Lepaskan tangan saya,” pinta Widya karena David masih menggenggam tangannya meski sudah keluar ruang rapat.
“Akan gue lepasin kalau udah di dalem lift,” bisik David.
Karena masih ada karyawan juga yang baru keluar dari ruang rapat, alhasil sandiwara ini masih harus berlanjut, setidaknya ketika mereka sudah berada di lift yang isinya hanya mereka berdua, Mario dan Saras. Sebab alasan itu, Widya hanya bisa menghela napas dan menuruti apa mau dari David.
Tapi karena di dalam lift juga kemudian ada petinggi lainnya, mereka berdua tidak bisa kemudian langsung saling menjauh. David justru kini merangkul pinggang Widya yang ramping karena ada 6 orang lain yang masuk.
“Pak David sama Bu Widya mesra banget nih,” komentar salah satu dari mereka.
“Harus dong, Pak. Tapi sebenarnya karena Widya gugup berada di kantor ini, jadi saya harus ekstra jagain dia,” timpal David.
Dia sempat menoleh pada Widya dan mengeratkan juga lingkaran tangannya di pinggang Widya.
Ingin sekali Widya berteriak dan memukuli pria ini karena sembarangan sekali menyentuhnya. Bisa dibilang David sudah banyak melakukan skinship padanya hari ini. DASAR PLAYBOY CAP KECOA!
Untuk menghindari kecurigaan, Widya kemudian dibawa berbelok ke ruang kantor David berada supaya seolah-olah mereka hendak menghabiskan waktu bersama. Tentu saja ini rencana David yang dibuat tanpa melibatkan diskusi dengan Widya dulu. Dengan dalih karena situasi genting yang sebenarnya tidak genting-genting amat.
BRAK
Setelah terdengar suara pintu tertutup, Widya langsung menyingkirkan tangan David dari pinggangnya dan berdiri menghadap pria itu. Hanya ada mereka berdua di sini karena Saras kembali ke ruangan direktur utama untuk urusan lain sedangkan Mario, asisten David berada di meja kerjanya di depan ruangan ini.
“Kamu sengaja merangkul pinggang saya begitu? Bukankah bisa dengan pegangan tangan saja?!” tanya Widya kesal.
David mengangkat kedua tangannya merasa dia memang salah, tapi wajahnya menunjukkan kalau dia sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah itu. Dia justru mendekati Widya hingga jarak mereka terpangkas banyak.
“Kalau nggak gitu, mereka nggak akan lihat kita mesra, sayang—“
“Berhenti panggil saya sayang!” potong Widya yang wajahnya jadi memerah karena menahan kesal sejak tadi.
“Oke-oke!” David membentuk tanda oke dengan jari jempol dan telunjuknya.
Karena merasa urusannya dengan playboy ini sudah selesai, Widya hendak keluar dari ruangan David tapi pria itu justru menahannya dengan berdiri di depan pintu sehingga Widya tidak bisa menyentuh gagang pintunya.
“Kenapa? Saya mau keluar!” tanya Widya yang masih saja marah.
“Berhentilah marah-marah ... kalau kamu kelihatan keluar dari ruangan ini pakai wajah begitu, orang akan curiga,” jawab David dengan tenang.
“Terserah saya,” kata Widya acuh.
Widya kembali ingin keluar, tapi David masih bergeming di tempatnya berdiri dan tidak mau bergeser sedikit pun. Alhasil Widya harus kembali menahan marah pada pria yang akhir-akhir ini muncul di pikirannya karena semua rencana di masa depannya ini.
Dirinya bahkan sebentar lagi akan menikah dengan playboy ini, menjadi istrinya.
GOSH!
Kali ini David melunturkan ekspresi tengilnya dari wajahnya, dia menunjukkan wajah serius pada perempuan yang akan dia nikahi demi tujuan utama yang sudah di depan mata.
“Setiap dinding di kantor ini ibarat punya telinga dan juga mata. Kabar elo keluar dari ruangan gue dengan muka ditekuk jelas bakal bikin gosip dan spekulasi yang bikin hubungan kita dipertanyakan ... dan apa lo mau kalau nantinya Kusuma jadiin ini gosip luar biasa dan melemparkannya ke media yang bikin masyarakat nggak percaya kita nikah bukan karena bisnis?” tutur David panjang.
Dia hanya ingin Widya mengerti bahwa di dunia bisnis yang sedang Widya hadapi itu sangat keras. Meski Widya adalah mahasiswa hukum yang punya dunia yang tak kalah kejam dari dunia bisnis, namun Widya belum pernah mengenyam pengalaman sebanyak yang David alami. Widya hanya melihatnya dalam perkuliahan, jelas itu berbeda dari dunia nyata.
“Seseorang dengan kekuasaan itu mungkin untuk melakukan apapun. Dan jika kita lemah .... bisa saja kita menjadi target yang mudah untuk disasar oleh mereka,” sambung David.
Mimik wajah Widya perlahan menjadi tenang, sudah tidak ada lagi kemarahan di sana. Mungkin karena sudah paham akan maksud David. Syukurlah jika begitu, David berharap Widya setidaknya mengerti jika alasan David mengambil alih Minara darinya itu karena ada banyak tangan jahat lain yang lebih jahat darinya.
Widya menunduk lalu menghela napasnya, selang beberapa detik dia mendongak dan sudah memasang wajah yang tenang.
“Sekarang saya sudah bisa keluar, kan?” tanya Widya.
David mendengus karena perubahan Widya ini cukup lucu jika dipikirkan.
“Oke, sud—“
Belum selesai berkata, David dan Widya mendengar jika pintu ruangan diketuk. Saat itu terdengar suara dari Mario yang meminta izin untuk masuk sehingga David pun beralih dari pintu dan mengizinkannya.
Rupanya bukan Mario saja yang hendak masuk, tapi ada Kusuma juga yang berdiri di belakang Mario dan memasang wajah ramah yang tidak pernah disukai oleh David.
“Ah ... ternyata ada yang sedang berduaan. Pantas saja Mario bilang harus menunggu dulu sebentar,” kata Kusuma begitu melihat ada sosok Widya di sebelah David berdiri.
“Ya, seseorang datang mengganggu waktu kami yang berharga ini,” timpal David.
Kusuma tertawa mendengarnya. Itu sebuah sarkasme tapi dia juga tahu bila David dan Widya sedang tidak melakukan sesuatu yang menunjukkan jika mereka berdua itu tengah bermesraan. Dia masih ingat warna bibir Widya masih sama seperti apa yang ada di rapat tadi.
“Karena ada tamu, aku pamit untuk ketemu mbak Saras,” kata Widya yang harus menghilangkan panggilan kakunya pada David di situasi ini.
Dan David sempat tertegun karena kalimat Widya yang diucapkan dengan sangat luwes barusan. Dia pun mengangguk sehingga Widya berjalan menuju pintu. Tapi saat hendak meraih kenop pintu, David menarik pinggang Widya dan dengan gerakan cepat, dia meraih bibir Widya untuk dia lumat sekali.
Iya, mereka berciuman.
“Hati-hati, kalau bingung dengan letak ruangan kantor, biar Mario yang antar,” ujar David dan memberikan kode pada asistennya untuk menemani Widya.
Semua itu terlihat sangat natural tapi efeknya mampu membuat Widya hampir kehilangan keseimbangannya. Dia masih tidak percaya jika baru saja David menciumnya di bagian bibir. Bukan Cuma kecupan! Tapi lumatan!
Demi mempertahankan sandiwara mereka, Widya hanya bisa mengangguk dengan senyum kaku di wajahnya. dia berlalu dari ruangan David dengan Mario yang memandunya. Sampai di dalam lift, Widya menatap pantulan wajahnya yang terlihat di dinding benda bergerak ini.
Dalam pantulan itu, Widya bisa melihat jika lipstiknya sedikit pudar dan keluar dari garis bibirnya. Dia pun mengusap bagian yang keluar dari sana dan menghela napas.
“Dasar b******k!” umpatnya tanpa peduli kalau ada Mario di sebelahnya.
Baru saja ciuman pertamanya diambil oleh pria yang bahkan sama sekali tidak layak untuk mendapatkannya!
Saat Widya sedang sibuk membenarkan lipstik di bibirnya, pintu lift terbuka tapi Mario belum mengajak dirinya keluar yang berarti belum saatnya tiba di ruang kantor direktur utama. Dan malah kemudian ada seseorang yang masuk lalu memanggil nama Widya.
“Widya! Eh—maksud saya Bu Widya,” panggil seorang pria yang di lehernya terkalung lanyard berwarna biru tua dengan foto pria itu sendiri di ID cardnya.
“Bang Alex?” sahut Widya karena dia menganali pria ini.
Mario tadinya hendak melarang Alex masuk karena protokol karyawan tidak bisa satu lift dengan petinggi perusahaan. Tapi karena kemudian Widya mengizinkannya, maka mereka pun bertiga di dalam lift.
“Habis rapat, ya?” tanya Alex pada Widya.
“Iyaa ... kamu jangan panggil aku Ibu juga ... itu canggung banget,” kata Widya.
“Ya gimana ya ... ini masih di kantor dan nggak bisa gitu, Wid—eh, Bu Widya,” ujar Alex.
Widya menghela napas, dia sangat tidak suka dengan panggilan ini. Lagi pula Alex atau Alexander ini teman barunya yang dia dapat ketika pertama kali masuk ke kantor ini. Alex adalah seorang traine untuk aktor dan ibaratnya masih menjadi junior dan belum memiliki jam terbang tinggi sebagai artis.
Masih menjadi pemeran yang kecil jika masuk dalam series atau film yang mungkin tidak akan teringat oleh penonton. Tapi Widya pernah melihat video penampilan Alex yang aktingnya bagus dan berharap temannya ini bisa menjadi lebih berkembang nantinya.
Mereka bertemu tanpa sengaja saat Widya tersesat sampai ke ruang bawah tanah tempat latihan para traine waktu pertama kali ke kantor ini. Alex lah yang kemudian membantu Widya yang kemudian malah mereka mengobrol banyak karena Widya nyaman berada di tempat sepi dan tenang itu.
Saat itu Widya tengah merasa sedih dengan semuanya tapi sudah harus dipaksa bangkit untuk meneruskan apa yang selama ini Adara urusi. Dia masih kehilangan ibu angkatnya itu namun tidak bisa terlalu lama untuk menangisinya. Saras juga terus memaksanya untuk datang ke kantor meski Widya tidak mau. Alex lah yang kemudian membuat hari Widya kala itu menjadi lebih sedikit bercahaya dan tidak kelam seperti beberapa waktu itu.
Sudah lama tidak bertemu dan baru kali ini mereka bisa saling menyapa lagi.
“Terima kasih untuk bantuan kamu waktu itu, Bang Alex,” ucap Widya tulus.
“Sama-sama ... kalau mau coba menenangkan diri dan cerita apapun, aku siap menjadi pendengar,” balas Alex diiringi senyuman manis di wajah tampannya.
Widya jadi tersipu karena Alex ini memang benar-benar tampan, perpaduan Belanda dan Indonesianya sangat apik sehingga menjadikannya memiliki wajah yang tidak bisa disia-siakan. Jadi memang harus dinikmati banyak orang melalui layar tv atau layar lebar.
Interaksi Widya dengan Alex ini diamati dengan lamat-lamat oleh Mario yang akan mengingat semua detailnya dengan jelas. Sebab hal ini akan dia laporkan pada David, bosnya.
* * *