“Kamu ingin tetap ikuti jadwal David? Apa tidak masalah?” tanya Saras pada Widya yang saat ini sedang bruch di sebuah cafe.
“Nggak papa mbak, cuma ditunda dua hari aja, nggak akan ngaruh apapun kok,” jawab Widya tapi masih membuat Saras khawatir.
“Bu Adara akan marah kalau sampai tahu kamu menunda kemoterapi kaya gini,” gumam Saras yang menjadi tidak tenang sampai Cuma mengacak-acak makanannya.
Widya menghela napas, dia lalu memegang tangan Saras yang duduk di depannya.
“Aku masih stadium 2, mbak ... nggak akan separah itu kalau telat kemoterapi,” kata Widya menenangkan Saras.
Saras adalah orang yang sangat bertanggung pada pekerjaannya. Sebelum nenek Adara meninggal, beliau telah berpesan pada Saras bahwa harus menjaga Widya setidaknya sampai penyakit Widya membaik. Karena itu lah Saras sangat khawatir padanya, sifat perfeksionisnya menolak untuk mendengar kata “menunda” dalam mengerjakan sesuatu.
Dan mengenai Widya, dia menderita kanker otak dan sudah berada di tahap stadium 2 di mana kanker telah tumbuh tapi belum menyebar. Karena terdeteksi sejak dini, Widya beruntung masih berada di stadium 2 hingga sekarang sebab diobati dan ditangani dengan cepat. Kemoterapi adalah salah satu jalannya.
Tapi karena itu Widya mengalami banyak hal karena efeknya.
Mual, muntah, diare, dan juga rambut rontok. Karena itu Widya hampir selalu menggunakan topi.
Kerontokan di rambutnya itu terlihat seperti pitak dan tidak beraturan. Dan Widya sampai punya make up artist sendiri karena ini sebab harus orang yang bisa dipercaya dan tidak menyebarkan berita sakitnya pada siapa pun. Apalagi sekarang posisi Widya sangat disorot sebagai ahli waris agensi besar di Indonesia.
“Justru karena kanker kamu masih di stadium 2, kemungkinan kamu sembuh itu 80 persen! Kalau kamu sampai menunda bisa aja bikin sel-sel kankernya tumbuh di luar kendali nantinya,” ujar Saras.
Namun Widya hanya menanggapinya dengan senyuman. Dia tahu tidak akan seperti itu, dia pernah menunda sekali pengobatan ini karena menyakitkan sekali setiap selesai melakukan terapi. Tapi kemudian tidak terjadi apa-apa, hanya saja memang dia merasa pusing dan lelah. Pusing yang teramat hebat rasanya bukan yang dirasakan oleh orang kebanyakan.
“Aku akan segera pulang setelah selesai melakukan pemotretan pre-wedding dan melakukan kemonya,” kata Widya agar Saras tidak lagi gelisah.
Besok seharusnya Widya melakukan kemoterapi untuk penyakitnya ini. Tapi David tiba-tiba menghubunginya dua hari yang lalu kalau jadwal pemotretan dimajukan menjadi besok atau lusa sekalian karena adahal yang mendesak harus David lakukan minggu depan. Sedangkan Widya tidak mungkin muncul dalam keadaan pucat dan terus merasakan mual saat pemotretan jika memaksakan diri untuk kemoterapi sesuai jadwal.
Karena Widya setidaknya akan merasakan efek samping pengobatan ini sampai 3 hari. dia bahkan tidak bisa bangun dari tempat tidur setelah 6 jam kemo karena terasa sangat lemas dan lelah.
“Ya sudah ... mbak ngerti rencanamu. David juga nggak boleh sampai tahu kamu sakit. Karena takutnya dia akan memanfaatkan ini untuk rencananya sendiri,” ujar Saras yang akhirnya memakan sarapan siangnya.
Tapi Widya tidak setuju dengan pendapat Saras barusan. David mungkin kelihatan licik dan juga jahat dengan wajah dinginnya dan kelakuannya yang suka kurang ajar saat menyebut soal Adara. Tapi ... Widya merasa David hanya tidak suka dia tidak bisa mendapatkan apa yang dia mau meski dia bekerja keras menginginkan Minara, agensi yang masih berada di tangan Widya ini.
Selebihnya David itu seorang yang penuh ketelitian dan melihat sekitarnya dengan seksama.
Tidak, Widya tidak jatuh cinta pada David. Dia tidak punya perasaan seperti itu karena David sama sekali bukan tipe idealnya. Serta karena ada seseorang yang Widya sukai tapi dia sendiri masih ragu jika itu benar rasa suka atau bukan. Sedangkan dia sebentar lagi akan menikah dan menghabiskan waktu untuk menjadi istri kontrak pria bernama David Noah Gutama ini.
Widya sengaja menawarkan seumur hidup karena dia tidak ingin pernikahannya berujung pada perceraian. Dia sudah gagal dalam hidupnya, punya penyakit, apa harus menikah pun berujung pada jurang perpisahan? Itu lah yang Widya pikirkan.
Tapi mengingat dirinya punya penyakit yang bisa saja bertambah parah, Widya akhirnya setuju kalau 5 tahun saja mereka menikah. Setidaknya jika nantinya kanker otaknya ini tidak bisa disembuhkan, maka sepertinya 5 tahun sangat pas untuk bisa menghabiskan waktu sebelum pergi dari dunia ini.
Lagi pula Widya sudah tidak memiliki harapan apapun.
Dia hanya sedang berusaha untuk menjaga Minara agar jatuh kepada tangan yang tepat.
* * *
Esoknya, Widya sudah memakai gaun warna burgundy sesuai yang diminta oleh David. Dia juga sudah berada di daerah Puncak Bogor karena lokasi yang dipilih di salah satu vila milik keluarga David yang tidak akan diikuti oleh paparazi yang mungkin membocorkan banyak hal karena mereka mulai penasaran pada sosok Widya.
“Akhirnya selesai,” ucap Lana, nama MUA pribadi untuk Widya.
“Makasih, mbak,” ucap Widya.
Lana menunjukkan tanda oke dengan tangannya lalu segera berbaring di tempat tidur karena lelah berdiri sejak tadi untuk merias Widya. Saking akrabnya dengan Widya akhirnya sudah tidak segan untuk melakukan hal seperti ini.
“Rambutnya udah ketutup semua, kan?” tanya Lana untuk meminta pendapat Widya akan hasil yang dia lakukan.
“Udah kok, seperti biasa mbak melakukannya dengan baik,” jawab Widya.
Dia mematut dirinya di depan cermin panjang di hadapannya. Dress warna burgundy ini sangat cocok dengan warna kulitnya, tapi dia kurang suka dengan potongan lehernya yang sampai menunjukkan belahan dadanya. Sudah dia naikkan tapi tidak bisa dia akali dan Lana bilang akan jelek.
Lana bahkan mengatakan jika d**a besar Widya harusnya diekspos untuk membuat David terpukau sekali saja. Widya langsung memukul kepala temannya itu agar sadar kalau otaknya mulai m***m.
TOK TOK TOK
Pintu kamar Widya diketuk lalu dia mendengar jika David memanggilnya untuk keluar.
“Cepat—“
Baru saja David akan mengetuk kembali pintu kamar Widya di depannya, pintu itu sudah terbuka lebih dulu. Tapi apa yang paling membuatnya terkejut adalah pemandangan di hadapannya. Mungkin karena selama ini Widya selalu menutup bagian dadanya, David jadi tidak tahu kalau perempuan ini punya aset yang sempurna.
Tipe kesukaan David.
Lana yang berada di sebelah Widya pun merasa puas melihat reaksi David yang sesuai tebakannya. Dia menoleh ke arah Widya yang kelihatan polos saja karena masih tidak tahu arah mata David sudah bukan pada wajahnya, melainkan sepasang gunung kembarnya.
“Khm!” Alhasil Lana berdehem untuk menyadarkan David.
David langsung memejamkan mata sejenak agar pikirannya bisa difokuskan kembali.
“Cepat lah, nanti makin panas cuacanya atau bisa aja tiba-tiba ujan,” kata David.
Widya mengangguk saja karena malas bicara.
Kini mereka berdua sudah berada di taman luas milik villa ini. Mereka akan melakukan pemotretan dengan latar alam yang sesuai dengan warna pakaian mereka yang sama-sama burgundy. David memadukan kemeja dengan warna senada dengan Widya ini lalu celana hitam kain.
Pria ini terlihat tampan seperti biasanya, itu pendapat Widya sendiri.
Ada fotografer dan kru mereka yang sudah selesai menyeting semua hal untuk digunakan dalam pemotretan. Lana tetap mengikuti Widya karena takutnya nanti akan dibutuhkan bila rambut palsu yang dia pasang bisa saja lepas.
“Tolong makin dekat lagi, Pak, Bu,” kata forografer mengarahkan David dan Widya.
Posisi mereka berdua yang tadinya berhadapan dengan jarak 1 meter, kini terpangkas lagi. David yang memangkasnya lebih banyak dan dengan berani merangkul pinggang Widya agar pemotretan bisa segera selesai.
“Bukankah saya bilang jangan dekat-dekat?” tanya Widya tajam.
“Terserah, gue cuma kepengen ini selesai,” jawab David yang bahkan makin menyempitkan jawak wajah mereka agar percakapan ini tidak terdengar oleh orang lain.
Widya langsung mendengus kesal. Tapi benar jika ini bisa dengan cepat menyelesaikan pemotretan ini. Pemotretan yang harus dilakukan karena mereka bisa dibilang sudah menjadi public figure bagi masyarakat di mana harus ada foto mereka yang dipublikasikan untuk umum sebagai pengumuman dan juga nantinya untuk pelengkap di resepsi pernikahan.
“Gue akan cium lo,” ucap David memberitahu Widya yang cuma diberi waktu untuk terkejut sebelum kemudian benar-benar melakukannya.
CUP
Mata Widya melebar karena terkejut, tapi David mencubit tangannya sehingga Widya memejamkan matanya karena mengaduh. Pria ini benar-benar gila karena melakukan cara licik agar permotretan mereka kelihatan mesra padahal ini semua pemaksaan.
“KAU GILA?!” maki Widya setelah David menjauhkan wajahnya.
“Anggap saja begitu,” kata David dengan santai.
Dia juga dengan santainya mengusap bibirnya yang menjadi lebih lembab karena lipstik yang Widya gunakan berpindah padanya. Dia tadi tidak sekadar mencium, tapi melumat juga bibir yang rasanya sangat lembab dan halus. Bibir yang mungkin tidak pernah disentuh oleh siapa pun. Dia sempat terlena tadi dan lupa diri karena merasakan bibir yang rasanya masih murni ini.
Oh sebentar, waktu itu dia sendiri yang pernah menyentuhnya.
“Apakah aku ciuman pertamamu?” tanya David dengan wajah tengilnya.
Widya yang masih murka pun hendak memukul wajahnya, tapi David mengelak dengan cepat dan kini tangan Widya sudah terkunci di belakang tubuh perempuan ini sendiri. David seolah sedang memeluk Widya sekarang.
Fotografer pun mengambil momen yang tepat, momen mesra, padahal kenyatannya sepasang insan ini sedang menatap tajam satu sama lain.
“Kamu sudah melakukan hal yang kurang ajar dan seenaknya dua kali,” kata Widya dengan matanya yang masih menatap tajam.
“Maaf soal itu, tapi semua ini agar sandiwara kita lebih kelihatan real saja. Cara yang cepat dan instan,” timpal David di samping telinga Widya.
“Oke, sudah selesai. Bisa istirahat dulu dan berganti gaunnya,” seru fotografer memberikan arahan.
Widya langsung melepaskan dirinya dari David karena sudah muak. Sepertinya penilaiannya yang mengatakan kalau David itu tidak jahat adalah SALAH BESAR!
Nyatanya pria itu memang licik!
“Owww... yang baru aja dicium calon suami sampai lipstiknya berantakan gini,” celetuk Lana yang baru saja menghampiri Widya.
“Calon suami kepalamu!” umpat Widya yang emosinya tidak tertahan saat ini.
Tapi kemudian dia merasa pusing yang hebat dan untung saja Lana memegani tubuhnya.
“Eh, kamu nggak papa?” tanya Lana karena Widya sempat limbung tadi.
“Cuma pusing kaya biasanya,” jawab Widya sembari memegangi kepalanya.
Saking terbiasanya merasakan sakit di kepalanya, Widya sampai mengatakan kalau ini tidak sakit lagi. Tapi Lana yang tahu tentang penyakit Widya pun tidak bisa membiarkannya. Karena Widya bisa saja pingsan di sini dan membuat David tahu akan penyakitnya.
“Widya! Widya!”
Lana berteriak panik karena Widya terduduk di atas rumput sembari memegangi kepalanya. Meremas rambutnya dengan kesadaran yang hampir hilang.
* * *