7. Gerombolan Hantu

1002 Kata
"Ram ... istighfar ...." Fikri menuntun saya. Rasanya sangat sulit mengucap istighfar. Sangat sulit. Fikri tak menyerah menuntun. Hingga saya berhasil mengucap, meski terbata-bata dan tidak jelas. "Mas Ramda udah sadar, alhamdulillah, akhirnya ...." "Kita bisa langsung balik habis ini. Mastiin nasibnya Roje." "Hooh. Aku udah nggak betah di sini, pengen pulang. Habis ini ogah deh jelajah-jelajah lagi. Enakan juga nge-Mall." Sementara saya masih berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Badan saya rasanya remuk redam. Saya masih ingat semua kejadian sebelum saya pingsan, mimpi aneh bersama Nina itu, juga obrolan demi obrolan Fikri, Diba, Arsen dan Galih selama saya tidak sadar. "R-Ro ... je ...." Saya ingin menanyakan Roje, tapi hanya itu yang keluar dari mulut saya. Rasanya masih sangat sulit untuk berucap. Masih sangat sulit melakukan segala hal termasuk membuka mata. "Kita nunggu sampai kondisi kamu pulih dulu, baru kita pulang, sambil cari tahu kepastian keadaan Roje." Fikri menjelaskan perlahan agar saya mudah memahami. Perut saya rasanya bergejolak. Rasa mual menyerang tanpa ampun. Tubuh saya secara otomatis bergerak miring, saya muntah namun tak ada yang keluar. Anak-anak tengik itu kocar-kacir keluar mencari wadah muntah untuk saya. Masih siang makanya mereka berani Fikri mengurut tengkuk saya. Saya masih dikuasai rasa mual, dan masih tak keluar apa-apa tiap kali saya muntah. Sebenarnya saya merasa tak nyaman karena Fikri terus menatap perut saya. Tatapannya aneh, membuat saya merasa tersinggung tanpa sebab. Kedua tangan saya bergegas menutup perut. Syukurlah, aksi saya cukup untuk membuat Fikri mengalihkan pandangan. Anak-anak tengik kembali membawa kresek hitam persediaan kami, karena tak menemukan baskom. "Nggak usah, dia udah selesai mual muntahnya. Lagian nggak keluar apa-apa." Fikri lagi-lagi mewakili ungkapan hati saya. "Anu ... bikinin teh manis anget aja. Biar dia ada tenaga." Arsen bersungut-sungut. "Mas Fikri aja yang bikin, deh. Ya kali merintah kita melulu." Fikri menarik napas dalam. "Kalian udah lupa apa yang nyebabin Ramda pingsan? Jin itu masih nguasain dia sekarang. Kalian mau tiba-tiba Jin itu nampakin diri pas aku bikin teh?" "Ampun ... iya, deh, kita yang bikin teh!" Diba sudah hampir menangis. "Nasib ... nasib .... Kita yang cari air, kita juga yang cari kayu buat bikin api." Galih menoyor kepala Diba. "Diem aja lu! Daripada kita ditemplokin demit juga kayak Mas Ramda." "Amit-amit!" teriak Diba dan Arsen bersamaan. Anak-anak tengik itu keluar tenda lagi. Menyisakan saya dan Fikri. "Ram, tolong cerita jujur tentang asal muasal jin itu bisa gangguin kamu." "Ceritanya panjang dan agak nggak masuk akal. Aku takut kamu nggak percaya." "Sejak kapan cerita dunia jin masuk akal, Ram? Ayo cerita aja, siapa tahu dengan tahu akarnya, aku bisa bantuin kamu lepas 100 persen dari jin itu." Saya menatap Fikri lekat. Saya percaya Fikri. Saya juga ingin segera lepas dari Nina dan segala pengaruhnya. Sungguh. Namun ada sisi lain dari saya--sisi tersembunyi yang saya bingungkan. Sisi itu seakan menahan saya untuk tak bercerita. "Kamu bener-bener nggak ingat dengan janji yang kamu buat dengannya dalam mimpi?" Fikri nampak gusar. Saya menggeleng. "Sama sekali nggak ingat." "Sepertinya kita harus ke warung itu." "Warung tempat aku ketemu Hamdan?" Fikri mengangguk. "Kita tanya ke pemilik warung tentang dia. Kali aja dia sering ke sana. Kita harus ketemu sama Hamdan, dan minta keterangan lebih lanjut tentang jin itu." Tanpa sadar saya menelan ludah. Rasa takut tiap kali Nina muncul mendadak menguasai hati dan pikiran saya. "Nanti kalau kamu udah lumayan pulih, kita segera balik, ya. Semoga sebelum gelap kondisi kamu udah membaik." "Fikri, besok aja kita baliknya, ya!" pinta saya. Fikri tak setuju. "Lebih baik kita kabur sekarang daripada semalaman kita digerayangi mereka. Jumlah mereka banyak banget, lho. Beda sama manusia yang bisa mati. Mereka nggak bisa mati kecuali kiamat. Sejak zaman Nabi Adam, berkembang biak terus sampai sekarang, bisa bayangin sendiri berapa jumlah mereka?" Saya dan anak-anak tengik serasa sudah kencing di celana. "Fikri, kamu di belakang aja! Biar kamu bisa lindungin kita kalau terjadi apa-apa!" Saya agak memaksa. Fikri lagi-lagi tak setuju. "Saya harus di depan. Kenapa? Karena di antara kita, hanya saya yang tahu cara terhindar dari tipu muslihat mereka. Kamu nggak mau kita tersesat di dunia mereka hanya karena salah ambil jalan, kan?" "Bukannya kita udah iket pita di pohon-pohon?" "Kamu nggak akan bisa lihat pita itu, Ramda! Selain karena ini sudah gelap, juga karena jumlah mereka terlalu banyak!" Fikri nampak tak nyaman menatap kanan dan kiri. "Galih ... kamu berada di belakang!" "A-aku?" Galih sama sekali tak habis pikir. "Kamu punya pertahanan diri yang kuat--nggak gampang kesurupan. Ramda nggak bisa, dia harus berdiri di belakang aku karena jelas-jelas dia udah diganggu, Diba di belakang Ramda, Arsen di belakang Diba!" "Sekarang mereka belum kelihatan. Tapi nanti setelah Maghrib mereka bakal mulai bermunculan. Aku harap kalian nggak terlalu dikuasai rasa takut. Seseram apa pun penyamaran wujud mereka, jangan sampai lengah. Tetap berdzikir dalam hati, baca Ayat Kursi! Ingat Allah!" "Jangan nengok kanan kiri! Fokus ikutin aku, jangan sampai ada yang salah jalan! Semakin kalian nggak fokus, semakin banyak sosok mengerikan yang kalian lihat!" Fikri tak lelah memperingatkan sepupu- sepupunya. Kami mas ih berteriak saking takut nya. Kami berusaha fokus. Bany ak sosok yang kami tabrak dan menembus. Rasanya sangat aneh ketika melewati mereka. Seperti kala kita selesai berenang, tubuh terasa sangat berat selepas keluar dari air. Sepe rti hendak terpantul, namun tetap menembus. Galih berteriak sangat keras ketika ada sosok mengerikan yang tiba-tiba muncul di hadapannya. "HASBUNA LLAH WA NIKMAL WAKIL !" teriaknya sembari berlari menembus sosok itu. "Ayo semuanya lari lebih cepat ... LAA ILAAHAILLALLAH!" komando Fikri bagai memacu semangat. Kami lelah, namun ta k mau dikalahkan rasa takut. Tak mau terlalu lama berada di tengah sosok-sosok itu. Kami pun mengumpulkan sisa tenaga untuk berlari secepat mungkin. Hampir sampai mobil. Fikri menatap sosok wanita yang menatapnya tajam. Jin yang mengaku sebagai arwah gadis bernama Nina, yang mencintai saya setengah mati. "Nggak akan mudah membuat saya pergi dari Ramda!" Suara Nina sebenarnya tak terlalu keras, namun entah mengapa terdengar begitu jelas di telinga kami. Ia tengah memperingatkan Fikri. Fikri tak peduli, ia mengambil kunci mobil dari tas, segera membuka pintu mobil. "Ayo semuanya masuk!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN