Pemilik Warung

1006 Kata
"Gila ... bener yang dibilang Nina!" ucap saya di sela napas ngos-ngosan. "Emang Nina bilang apa?" Fikri penasaran. "Kamu tahu pohon beringin kembar di perempatan Jimbun?" "Yang udah tumbang semua itu?" Raut Fikri nampak berubah, mungkin sudah bisa menebak arah pembicaraan saya. "Kata Nina penghuni beringin kembar itu pada pindah ke Alas Darmo semua. Makanya tadi jumlah mereka sebegitu banyak," lanjut saya. "Sebelum ditambah pindahan dari beringin kembar itu pun, dunia ini emang udah dipenuhi mereka, Ram. Seperti apa yang aku bilang tadi, mereka nggak bisa mati kecuali kiamat. Terus berkembangbiak dari zaman Mbah Adam sampai sekarang. Nggak cuman di Alas Darmo aja yang banyak. Di mana-mana ada!" Saya lirik Fikri di bangku kemudi. "Iya-iya. Nggak usah sewot!" "Nggak sewot, cuman ngasih tahu. Lagian kamu inget omongan Nina tentang penghuni beringin kembar, tapi kok nggak inget tentang janji yang kamu ikrarkan?" Saya hanya diam sembari menatap Fikri tajam. Itu di luar kehendak saya lah. Mana bisa saya memilih peristiwa apa yang akan saya ingat, ataupun peristiwa yang akan saya lupakan dari sebuah mimpi? "Kayaknya kamu harus beneran inget-inget apa janji kamu ke Nina, Mas. Gawat kalau sampai itu setan nagih sewaktu-waktu!" saran Galih. Napasnya masih ngos-ngosan seminggu sekali. "Gimana cara ngingetnya?" tanya saya. "Ya ngapain kek gitu. Kan kamu yang mimpi, bukan aku!" Galih malah acuh tak acuh. "Orang ngasih saran itu, sambil ngasih solusi. Jangan cuman nyero cos kayak beo!" omel saya. "Udah .. . udah ... . Jangan ribut! Jadi ini gimana? Di mana letak warungnya?" Saya melirik Fikri lagi. "Masih turun. Sekitar 200 meter jaraknya dari kuburan Nina ." "Ntar kasih tahu kalau udah deke t." "Oke." "Tuh!" Saya menunjuk kuburan kesepian yang dipagari melingkar. Anak - anak tengik takut, tapi penasaran ingin melihat. Mereka berebut posisi nyaman di samping jendela untuk dapat melihat kuburan Nina dengan jelas. Sementara Fikri nampak tak antuasias. Hanya menatap sekilas. "UWAAAAAAA!" teriak anak - anak tengik ketika melihat kakek yang membawa sapu lidi, berdiri di samping kuburan Nina , padahal tadi tak kelihatan batang hidungnya. Saya hanya tertawa kecil. "Enak sekarang kita berlima. Nah, waktu itu aku lewat sini sendiri. Mana sempet ngobrol sama itu kakek! " ledek saya. "Ngobrol ? Oh, jadi itu manusia ? Aku kira setan!" Diba seperti mau menangis. "Ya elah ... tadi udah lihat jutaan setan yang serem-serem. Sekarang ya kali lihat kakek itu doang takut?" Saya lanjut meledek. "Ya kan kaget, Mas!" timpal Arsen . "Jadi kakek itu setan apa manusia?" "Mana aku tahu? Lhawong hobinya tiba-tiba muncul, tiba-tiba ilang!" Saya menjelaskan bak seorang senior yang sedang memberi ospek pada junior polos. "Buset ... kenapa, sih?" Saya menutup telinga dengan kedua tangan. "I-itu ... si kakek ilang !" Diba menunjuk - nunjuk sambil tergagap. Saya ikut menengok. "Nah , kan . Nggak salah dong aku bingung itu kakek manusia atau, bukan?" ucap saya setelah melihat si kakek benar-benar tak ada. "Ya ampun . .. serem banget ! Ngimpi apa aku jelajah kali ini bakal berubah jadi ghos t show all the nigh t! Pokoknya pulang dari sini aku mau rukyah! Titik!" Arsen menggosok lengannya yang merinding semua . "Aku juga !" timpal Diba dan Galih bersamaan. Fikri yang sedari tadi diam tiba-tiba ikut bicara. "Si Ramda itu yang seharusnya dirukyah !" Saya melotot padanya sekarang. Kenapa si Fikri sebenarnya? Kenapa sedari tadi sepertinya sangat sentimen pada saya? "Kenapa, sih? Iya, aku tahu aku perlu dirukyah. Tapi nggak usah nyolot gitu ngomongnya." "Masih terus dikit, pelan - pelan aja, kanan jalan nanti. Ada banner bertulisan 'Warkop Ndeso'." Jawaban saya masih ketus. Fikri menuruti instruksi saya . Kami berhenti tepat di depan warung, memarkirkan mobil di kiri jalan. Pemilik warung benar - benar memiliki etos kerja yang tinggi. Buktinya di malam menjelang pagi seperti ini masih buka. "Selamat malam, Pak!" Saya yang membuka pembicaraan. "Selamat malam, silakan duduk. Mau pesan apa, Dek?" tanya Bapak itu dengan senyuman ramah. "Kopi item , Pak, lima. Sama mie instan juga lima. Uhm ..., Pak, kami sekalian numpang isi daya HP, bisa ?" "Oh iya, silakan, Dek. Itu colokannya ." Bapak itu menunjuk colokan berjajar di sekitar tempat duduk lesehan. Kami menuju ke sana, menyamankan diri, anak - anak tengik malah langsung berbaring berceceran. "Pak ... kami sambil nanya - nanya, ya!" pinta saya lagi. "Silakan, mau nanya apa, Dek ?" tanggap bapak itu selagi konsentrasi melayani pesanan kami. "Tempo hari saya mampir sini, sendirian, saya ngobrol sama laki - laki berambut kriting. Namanya Hamdan. Apa Bapak tahu dia tinggal di mana? Soalnya waktu itu Bapak juga ngobrol akrab sama dia. Saya menyimpulkan dia sudah sering ke sini." Saya menjelaskan panjang lebar supaya tak ada kesalahpahaman. "Oh ... si Hamdan ." Bapak itu mengangguk-angguk. Memberi harapan cerah untuk kami. "Pantesan saya kayak pernah lihat Adek . Ternyata udah pernah ke sini," lanjut bapak itu. "Hamdan memang sering ke sini tiap sehabis berkunjung ke makam Nina. Kasihan itu anak. Udah lama dihantuin sama Nina. Tapi semenjak hari itu dia nggak pernah ke sini lagi, Dek . Mungkin dia udah nyeritain kisah Nina ke orang yang tepat. Nina menyukai orang itu, meninggalkan Mas Hamdan, berpaling seketika pada yang bersangkutan." Seketika saya menelan ludah. "Itu yang saya pertanyakan, Pak." Saya menarik napas sejenak. "Sebenernya saya orang yang menjadi korban Nina selanjutnya, Pak. Di sini saya sedang kebingungan harus bagaimana. Makanya saya inisiatif cari Hamdan. Apa Bapak tahu informasi tentang Nina, Pak? Saya sudah menceritakan kisah Nina pada sepupu-sepupu saya. Tapi dia tetep nempelin saya, Pak." Bapak itu nampak sangat prihatin. "Maaf, Dek. Saya nggak tahu banyak tentang Nina. Saya hanya sebatas tahu, orang yang mendengar cerita tentang Nina akan dihantui. Tapi bukan sembarang orang. Hanya laki-laki yang disukai Nina saja." Saya ingin menangis rasanya. "Saya bingung banget, Pak. Apa Bapak tahu di mana si Hamdan tinggal? Saya beneran udah capek sama kelakuan Nina. Saya mau nyuruh si Hamdan tanggungjawab karena udah menjadi perantara Nina gangguan hidup saya!" "Saya juga nggak tahu lokasi pastinya, Dek. Tapi Hamdan pernah bilang dia tinggal di Wonorejo, satu desa sama rumahnya Nina waktu masih hidup. Sekitar puskesmas sama pasar gitu kalau nggak salah."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN