1. Perjalanan Mudik
Tapi ibu saya telepon, minta saya untuk cepat ke Ngadiluwih. Karena di sana kekurangan tenaga peladen. Maklum lah, saya ini orang desa. Yang namanya guyup rukun sesama saudara saat ada hajatan masih sangat kental.
Akhirnya saya nekat.
Kemudian bertemu dengan kesialan yang lain.
Pebangunan jalan rute Malang-Kediri melalui Blitar ini belum selesai diperbaiki. Hanya satu lajur yang sudah selesai diperbaiki. Akibatnya, kendaraan yang melaju dari dua arah harus antre, bergantian lewat.
Enak mereka yang naik mobil. Tidak perlu berbasah-basah ria. Sementara saya dan pengguna motor yang lain sudah njebeber kedinginan. Ya, kami pakai jaket dan jas hujan. Tapi semahal-mahalnya jas hujan, pasti tetap tembus jika hujannya selebat ini. Sampai celana dalam saya sudah ikut basah sekarang.
Hari mulai gelap, kesialan saya bertambah.
Ban motor kesayangan saya ini tiba-tiba bocor. Mana bocornya tidak lihat situasi dan kondisi. Kanan kiri adalah hutan belantara. Saya menuntun motor cukup jauh.
Saya tidak ada pikiran buruk apa pun meski suasana saat ini sangat horor. Bukannya sombong, tapi saya ini orangnya cukup berani. Hati saya tatag karena saya punya iman yang kokoh.
Termasuk saat saya menuntun motor melewati tikungan. Saya kaget melihat ada sebuah makam di antara lebatnya pepohonan. Sepertinya makam baru, karena undukannya masih cukup tinggi. Juga bunga-bunga segar yang menutupi sebagian besar undukan.
Tapi saya berubah pikiran setelah membaca tanggal kematian pada nisan.
Orang yang dikubur dalam makam ini adalah perempuan bernama Nina Azahri. Lahir 21 September 1982. Meninggal 10 Desember tahun 2009.
Pikiran saya menerawang. Hari ini 10 Desember, kan?
Berarti hari ini tepat 9 tahun semenjak Nina Azahri meninggal dunia.
Saya bertanya-tanya. Kenapa wanita itu dikubur sendirian di sini?
Makamnya pun nampak aneh. Seperti dikeramatkan. Terbukti dengan pagar yang mengitarinya, sebuah kendi, dan buah-buahan serta kelapa yang diletakkan di baki besar--sesaji--di samping makam.
"Mau ke mana, Le?"
Sebuah suara mengejutkan saya. Suara laki-laki yang sepertinya sudah sangat sepuh. Saya mencari-cari sumber suara. Rupanya kakek itu berada tidak jauh dari makam. Maklum lah, ini sudah gelap. Makanya saya tak menyadari keberadaannya sedari tadi.
"Mau ke Kediri, Mbah. Tapi ban saya bocor. Dari tadi nuntun cari tambal ban belum ketemu," jawab saya apa adanya.
"Oh ... kamu nuntun terus aja. Sekitar 200 meter lagi ada tambal ban di kiri jalan."
"Wah ... alhamdulillah .... Matursuwun, nggih, Mbah!" ucap saya tulus.
Saya mengernyit ketika tahu si Mbah tidak ada lagi di sekitar makam. Ke mana perginya? Cepat sekali.
Jangan-jangan si Mbah punya kekuatan super. Bisa teleportasi.
Hehe ... saya berpikir demikian untuk mengalihkan ketakutan. Seberani-beraninya manusia, pasti akan tetap merasa was-was jika berada di posisi saya. Tak mungkin tidak.
Saya berusaha berpikir positif. Dan lanjut melangkah.
***
Akhirnya ada setitik keberuntungan setelah kesialan beruntun.
Sesuai informasi dari si Mbah, 200 meter dari makam memang ada tambal ban. Bukan hanya tambal ban, juga ada warung kopi.
Asyik!
Hujan masih bertahan meski tak sederas tadi. Sembari menunggu ban ditambal, saya melepas jas hujan dan sepatu basah ini, pesan kopi hitam panas, dan juga mie instan goreng.
Ada beberapa pelanggan selain saya. Saya duduk di sebelah pemuda berjenggot. Rambutnya ikal sebahu.
Dia sama sekali tak menyapa meskipun saya baru saja duduk di sebelahnya.
"Mas ...." Akhirnya saya yang menyapa.
Pemuda itu menatap saya dengan dingin tanpa ekspresi. Lalu lanjut makan mie instannya dengan lahap.
Saya tersenyum kecut. Mungkin pemuda ini sedang banyak masalah.
"Mahasiswa Malang?"
Saya mengangkat sebelah alis. Heran karena si kriwul berjenggot tiba-tiba bicara. Padahal tadi dia diam saja saat saya tanya.
"Iya, Mas," jawab Saya setelah menyeruput kopi.
"Tadi lihat makamnya Nina, nggak?"
Sekali lagi saya keheranan. Pikiran saya langsung menuju pada makam Nina Azahri di sana tadi. Tapi saya lebih heran karena si Mas kembali membuka omongan.
Namun rasa heran saya terkalahkan oleh rasa penasaran. "Iya. Emang itu makam siapa, sih, Mas? Kok kasihan amat sendirian di sana?"
"Situ mau nemenin?"
Bulu kuduk saya merinding seketika. Gila orang ini. Spontanitasnya luar biasa.
Lalu dia tersenyum. Entahlah. Senyum meremehkan saya mungkin.
"Panjang kisahnya si Nina. Tapi saya yakin kamu nggak mau denger."
Karena pernyataan si Mas, saya justru makin penasaran. "Saya mau denger kok. Saya suka sama cerita-cerita horor urband legend gitu."
"Tapi si Nina serem. Nggak usah deh. Nanti kamu nyesel."
Saya terkikik. "Nyesel kenapa, Mas? Nggak, lah. Justru seru. Di Kediri juga ada, Mas, hantu perempuan namanya Farida. Rumahnya di desa Badal. Tapi suka keliling Kediri. Bahkan keliling Indonesia." Saya terbahak mengakhiri bicara.
"Beda setelah saya ketemu Nina." Raut si Mas berubah murung.
"Emang kenapa, sih, Mas? Nggak apa-apa, cerita aja. Biar saya nggak penasaran. Kalau perlu saya bakal nulis artikel tentang cerita Nina biar dia eksis secara nasional kayak Farida!" Saya bercanda agar si Mas tidak spaneng.
"Nina dulu kembang desa. Cantik, baik, cerdas. Dia nikah di usia muda. Banyak laki-laki patah hati. Salah satunya sampai dendam, ngirim guna-guna ke Nina biar dia susah dapet keturunan. Terjadilah. Tujuh tahun berlalu, Nina belum dapet momongan. Tapi karena Nina rajin berdoa, kuasa Tuhan lebih besar. Nina hamil. Namun kehamilannya nggak bisa bertahan karena sebuah kejadian. Nina benar-benar hancur karena kehilangan bayi yang belum sempat ia lahirkan. Sampai gila. Sampai meninggal."
"Terus, Mas?"
"Nina jadi hantu. Gentayangan. Dia dendam sama orang-orang yang terlibat dalam kematian bayinya. Nina meresahkan masyarakat. Akhirnya ada seorang dukun yang bertindak. Rohnya Nina diikat. Sebagai syarat agar rohnya nggak berkeliaran lagi, makam Nina harus dipindahkan. Demi keamanan semua pihak, makamnya benar-benar dipindah. Di sana itu." Si Mas menunjuk ke arah makam tadi.
Bulu kuduk saya mulai merinding lagi. "Habis itu rohnya Nina beneran nggak gentayangan lagi?"
Si Mas menggeleng. "Masih gentayangan. Tapi nggak sebebas dulu."
"Maksudnya?"
"Dia hantuin orang-orang tertentu?"
"Orang-orang tertentu?"
Si Mas mengangguk. "Contohnya saya."
"Kok bisa?"
"Karena saya kayak kamu."
Saya semakin tak mengerti. "Maksudnya gimana, Mas?
"Saya penasaran sama kisah Nina. Terus saya tanya-tanya ke orang. Persis seperti yang kamu lakukan."
Tanpa sadar saya menelan ludah. "Terus, Mas?"
"Terus orang yang saya tanya langsung cerita detail tentang Nina. Seperti yang baru saya lakukan. Walhasil ...."
"Walhasil ...."
"Walhasil Nina yang sebelumnya hantuin dia, jadi hantuin saya."
Sekarang bukan hanya bulu kuduk saya yang berdiri. Seluruh tubuh saya rasanya panas dingin.