Dalam perjalanan pulang ke rumah, Damian tidak langsung masuk ke tempat kosnya. Pria itu duduk di kursi besi di luar halaman, angin dingin di malam hari menerbangkan helai rambutnya, menusuk kulitnya.
Di tangannya, terdapat sebatang rokok yang masih menyala. Pria itu nampak bersandar dengan tatapan menengadah ke atas langit, hitam pekat dan gelap di atas sana membuat Damian perlu menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas bintang kecil yang redup.
“Damian, apa yang kau lakukan duduk di sini sendirian?” Seorang pria berusia sekitar lima puluhan berjalan mendekat ke arah Damian yang sedang duduk.
Pria itu pun melirik ke sampingnya, “Pak Agus.” Panggilnya.
Pak Agus yang tak lain adalah pemilik kontrakan itu pun mengambil duduk di sebelah Damian. “Aku baru tahu kalau kau seorang perokok.” Ucapnya merujuk pada beberapa puntung rokok di tanah.
“Hanya saat ingin saja saya merokok. Biasanya tidak terlalu.”
“Ada masalah?” Tanya pria yang lebih dewasa dari Damian itu dengan perhatian.
Damian tersenyum simpul, apakah terlihat jelas di mukanya kalau dia sedang dalam kesusahan sekarang?
“Masalah pekerjaan.”
Pak Agus menatap kasihan pada Damian setelah mendengar kesusahan yang tak asing ini lagi. Ia sudah tahu mengenai kehidupan sulit pria muda di sampingnya itu. Ia sudah pernah membantu Damian untuk mendapatkan pekerjaan dulu namun entah kenapa secara tiba-tiba Damian diberhentikan secara tidak hormat saat itu.
Padahal saat ia mengenalkan Damian pada seorang kenalannya, temannya itu sangat baik orangnya. Bahkan saat ia bertanya mengapa Damian di berhentikan dari pekerjaannya, yang ia dapatkan sebagai jawaban adalah karena Damian sudah menyinggung orang penting dan bos temannya itu tidak mau mengambil risiko untuk memperkerjakan Damian.
Jika hanya sekali mungkin ia tidak akan securiga itu pada laki-laki baik seperti Damian. Namun sayangnya, kejadian serupa terjadi lagi dan alasan tak masuk akal untuk memecat Damian pun terus dia dengar. Sejak saat itu, ia pun tidak lagi menawarkan Damian pekerjaan apa pun karena hasilnya akan sama saja. Berbuah pemecatan secara sepihak.
Ia sampai bertanya-tanya kesalahan macam apa yang sudah pria muda ini lakukan hingga menarik kesusahan pada hidupnya jadi se menyedihkan ini?
Tapi waktu itu dia masih belum akrab dengan Damian, itu sebabnya ia hanya menelan pertanyaannya sendiri tanpa mendapatkan jawaban.
Namun sekarang mungkin akan berbeda. Pikir pak Agus. Jadi pria itu pun mencoba memancing Damian supaya bersedia menceritakan masalah yang dihadapinya.
“Aku tidak tahu orang macam apa yang sudah kau singgung, Nak. Tapi sepertinya itu bukan orang biasa-biasa saja.” Ucap Pak Agus sesantai mungkin.
Dan Damian yang dapat melihat niat pria paruh baya itu pun tidak terlihat enggan. Justru Damian menceritakannya pada pak Agus meski sebagian detail dari ceritanya ia sembunyikan. “Karena cinta.” Ujar Damian terkekeh geli. Rokok di tangannya pun ia buang ke tanah.
Sebelum kembali bicara, ia pun menawarkan pak Agus rokok yang masih sisa, namun pria paruh baya itu menolak halus.
“Anak muda jaman sekarang ada ada saja tingkahnya kalau sudah terlibat sebuah hubungan.” Kata pak Agus dengan kening berkerut. “Apakah ini menyangkut Adelia?”
“Kurang lebihnya seperti itu. Seperti yang Anda tahu, kami merantau ke Bali tanpa mengubah identitas kependudukan kami menjadi menikah, dan itu merupakan kesalahan besar yang saya lalaikan begitu tiba di sini.” Ungkap Damian sambil mendesah frustrasi.
“Jika bukan karena bantuan Anda, mungkin kami tidak akan bisa tinggal lama di sini. Dan saya sangat berterima kasih pada Anda akan hal itu.” Tambah pria itu bersungguh-sungguh.
Karena jika bukan atas bantuan pak Agus yang bicara pada para pecalang setiap kali ke tempat kos melakukan ekspansi, maka kemungkinan besar dia dan Adelia di usir dari Bali bukanlah hal yang mustahil.
Mungkin, beberapa bulan ini, ia akan sangat bersyukur bisa lolos dari pecalang itu karena bisa tinggal lama di kota ini. Namun sekarang, ia sangat mengharapkan keberadaannya yang ilegal ditemukan oleh para pecalang itu lalu dia dan Adelia di antar keluar dari pulau ini.
Setidaknya dengan begitu, ia mungkin akan bisa lepas dari Elena selama-lamanya. Atau sejak awal, mereka tak pernah bertemu dan Elena tidak akan mengembangkan perasaan tak masuk akal terhadap dirinya.
Jika demikian, betapa baiknya itu kedengarannya?
“Hanya bantuan kecil. Tak usah di ungkit-ungkit, Damian.” Ucap pak Agus bersikap biasa. “Jadi...?” Tanyanya masih penasaran.
“Hubungan kami tidak mendapatkan restu.”
“Keluarga Adelia?” Tebaknya tak yakin.
Damian mengangguk, “Iya. Mereka tidak setuju jika saya menikah dengan Adelia. Alasannya cukup sederhana, masalah harta.” Beritahu Damian sambil mengangkat bahunya miris.
“Dibandingkan dengan keluarga Adelia, perekonomian saya bisa di bilang tidak sekaya keluarga istri.”
“Sayang sekali.”
“Saya memaklumi kekhawatiran keluarga Adelia yang tidak merestui niat baik saya untuk menikahinya.”
“Namun kekayaan seseorang tidak akan menjamin suatu hubungan akan bahagia.” Komentar pak Agus mencoba membesarkan hati Damian.
Damian tersenyum kecut mendengarnya, dulu ia pun berpikir seperti itu. Ia dengan sangat yakin bisa membuat Adelia bahagia tapi kenyataannya yang ia berikan pada kehidupan mereka tak lain ialah bencana.
“Tapi dengan memiliki kekayaan, seseorang tak akan dipusingkan dengan masalah sepele menjadi seorang pengangguran.” Timpal Damian dengan suara mengejek. Dan dia juga tidak akan mungkin bersedia menjadi suami bayaran dari seorang wanita yang tidak dia sukai.
Pak Agus jadi salah tingkah dan tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana untuk menghibur laki-laki tampan di sisinya tersebut.
“Saya akan masuk lebih dulu, Pak Agus.” Pamit Damian berdiri dari duduknya. “Untuk uang sewa saya akan melunasinya besok, biar Adelia yang pergi mengantar uangnya ...”
“Damian ...,” Sela pak Agus tiba-tiba, “... Masalah uang sewa tidak perlu kau khawatirkan. Kau bisa membayar uang sewa setelah kau mendapatkan pekerjaan.”
“Tidak apa-apa. Saya mendengar putri Anda butuh perawatan setelah kecelakaan. Pastinya Anda membutuhkan biaya untuk membayar... “
“Aku sudah mendapatkan uangnya.”
“Huh?” Damian menatap kebingungan pada pak Agus.
Pak Agus ikut berdiri. Ia menepuk pundak pria itu akrab, “Kedatanganku hari ini sekaligus untuk memberitahu penghuni kos. Tempat kos ini bukan lagi milikku.”
“Apa maksud Anda?” tanya Damian dengan raut wajah kebingungan.
“Beberapa hari yang lalu, aku memang sangat membutuhkan uang. Itu sebabnya aku mendesak beberapa penghuni kos yang menunggak lama uang sewa supaya mereka melunasinya. Tapi seperti yang sudah bisa di prediksi. Orang-orang ini pun enggan sekali membayar penuh. Aku tidak punya pilihan lain selain menjual tempat kos ini, Damian. Dan untungnya...,”
Damian memiliki firasat buruk dengan ini.
“... Seorang pria kemarin datang padaku untuk membeli gedung ini dengan harga yang sangat besar. Aku langsung menyetujuinya karena mereka memang dari perusahaan properti terkemuka di Seminyak. Jadi aku tidak takut ditipu, dan hanya butuh singkat aku sudah mendapatkan uang yang aku butuh kan. Dan bahkan dengan uang itu juga aku bisa membangun lagi gedung penginapan lainnya yang lebih bagus.”
“Siapa?” Damian tidak terlalu mendengarkan ucapan Pak Agus yang panjang lebar. Yang ia ingin tahu adalah siapa orang itu.
Saat ini di dalam kepalanya, ia memikirkan suatu kesimpulan yang buruk atas kejadian tak terduga yang sangat kebetulan baginya terjadi sekarang.
“Ya?”
Damian menatap lekat pria paruh baya di depannya yang masih nampak bersemangat. Belum menyadari bahwa ucapannya tadi mengejutkannya. “Orang yang membeli gedung ini. Orang itu siapa?”