Jiwa Yang Kalah

1328 Kata
Senyum mencela diri menghiasi wajah Damian dan ia dengan hati yang retak menghampiri Elena. Saat wanita itu mendorongnya ke dinding dan mulai menciumnya, Damian tidak mendorong Elena pergi. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat, tidak ingin melihat wajah dekat wanita asing itu yang melumat bibirnya. Karena saat dia sadar dengan apa yang sudah dia perbuat sekarang – menerima ciuman dari wanita lain – tanpa sedikit pun perlawanan, membuat rasa bersalah di dalam dadanya semakin membengkak. Dan wajah Adelia tiba-tiba terlintas di benaknya. Ia telah mengkhianati kekasihnya. Adelia-nya. Namun pilihan ini adalah yang terbaik. Untuk Adelia dan juga anaknya. Saat ia mendengar Elena akan mengancamnya dengan mencelakakan Adelia, ia tidak bisa lagi mempertahankan ke keras-kepalaannya dengan membantah wanita egois ini. Saat ia mengetahui bahwa langkahnya di jegal di tengah jalan yang membuatnya tidak bisa melangkah kemanapun dari kota Bali, ia benar-benar mulai membenci ketidakberdayaannya. Ia mulai mengutuk apa pun yang bisa dia kutuk sebagai pelampiasan dari rasa kekesalannya. Jadi ia pun setuju. Dengan banyak pertimbangan yang hampir menghancurkan kepalanya sendiri akibat terlalu keras berpikir. Pada akhirnya apa yang ia lakukan sekarang ialah demi kebaikan keluarga mereka. Semua ini untuk hidup damai yang akan ia dapatkan nanti. Demi Adelia, sekaligus demi anaknya. Damian terus saja menyugesti diri bahwa apa yang ia lakukan merupakan keputusan tepat. Pria itu berusaha menekan rasa bersalah di dalam hatinya dengan mencari alasan yang menurut pria itu masuk akal. Meski kenyataannya terkesan percuma. Setiap alasan yang coba pria itu cari untuk membenarkan tindakan tercelanya, tidak akan bisa menghentikan dia dari mengambil jalan yang salah ini sekarang. Aku tidak punya pilihan! Pikir Damian di sela pagutan sepihak yang Elena lakukan padanya. Bibir lembut wanita itu masih mendominasi di atas mulutnya. Meski yang Damian lakukan adalah dengan tidak menanggapi sentuhan wanita itu, tidak membuat Elena berhenti untuk menciumnya. Terpaksa. Mungkin adalah alasan Damian untuk membenarkan perbuatan tercelanya sekarang yang memilih mengkhianati Adelia, kekasih tercintanya. Hanya itu yang bisa dia pikirkan untuk menerima segala pelecehan harga dirinya oleh wanita berkuasa seperti Elena. Elena perlu menarik leher Damian turun untuk memperdalam ciuman mereka. Wanita itu pun membuka mata yang tadi tertutup karena ingin menikmati ciuman pertama mereka, dan saat ia melihat Damian melakukan hal yang sama sepertinya – menutup mata – dia mengerutkan alisnya karena lagi-lagi pria ini berhasil melukai harga diri yang ia miliki. Ego wanita itu terluka akibat sikap Damian yang pasif terhadapnya. *** Prang! “Astaga!” Adelia tersentak kaget. Ia tidak sadar sudah melamun dan memecahkan mangkuk kaca yang ia pegang. Dengan susah payah Adelia berjongkok, memunguti satu per satu pecahan mangkuk dari lantai. Tiba-tiba perasannya berubah gelisah, ia pun melihat pada kaca jendela dan mendapati sudah malam rupanya. Adelia mencengkeram dadanya di mana jantungnya berdegup kencang. Ia mencemaskan Damian. Dalam hatinya dia berdoa semoga Damian baik-baik saja. Wanita itu lalu memungut pecahan mangkuk dan memasukkannya ke dalam kantung plastik, lalu meletakkannya di samping tempat sampah. Setelah ia juga selesai menyapu lantai, dia pergi ke kamar, mengambil ponsel di atas nakas. Wanita itu mencoba menghubungi ponsel Damian namun sahutan dari operator lah yang ia terima. Dia sampai harus melihat dengan cermat pada ponselnya, yang panggilannya sekarang dialihkan, untuk memastikan kalau dia melakukan panggilan pada nomor yang benar. Akan tetapi seberapa kali pun dia mencoba, panggilannya tidak kunjung di angkat juga. Mendapati Damian yang tidak biasa, membuat Adelia semakin gelisah. Ia pun meraih jaket di pegangan pintu, memakainya, lalu keluar dari dalam kamar kosnya untuk menunggu Damian pulang. Setidaknya, dengan dia melihat kedatangan prianya secara langsung, bisa sedikit meredakan kekhawatiran yang ia rasakan kini. *** Damian duduk di sofa berbentuk L yang berada di dalam kantor Elena. Sebuah cek dengan nominal fantastis di atas kertas itu tergeletak di atas meja dengan menyedihkan, belum pria itu sentuh, tapi sudah ia lihat. Jumlah uang itu lebih dari cukup untuk membayar biaya persalinan Adelia dan lebih dari cukup untuk biaya hidup mereka lima tahun ke depannya. Wanita itu tak main-main menunjukkan kekayaannya pada Damian. Sayangnya bagi pria itu kini, rasa tidak sukanya terhadap Elena kian besar. “Apakah uangnya kurang?” Tanya Elena sambil bergelayut manja di lengan Damian. Kepala wanita itu bersandar di bahu Damian yang kokoh. Tangannya bermain-main di paha pria itu, membelainya, dan kadang-kadang juga mencubitnya. Damian mengangkat sudut mulutnya mendengar ucapan Elena. Kurang katanya? “Tidak. Ini lebih dari cukup untuk membeli harga diri saya.” Balas pria itu dengan suara mengejek. Sepertinya, Damian baru saja tertawa, tawa yang terdengar merendahkan. Elena mendongak untuk melihat pria itu tertawa tapi terlambat karena yang ia lihat hanya tatapan dingin di mata Damian. “Sudah malam, saya harus pulang sekarang.” “Kalau aku berkata tidak boleh?” Elena menantang. Senyum licik di bibirnya itu sangat cocok di wajah Elena yang sangat cantik. Damian mengangkat alisnya, “Saya akan mendengarkan kata-kata Anda, jika kita sudah resmi menjadi pasangan.” “Jadi ayo kita kawin malam ini?” “Anda benar-benar sudah tidak tahan tidur dengan saya, Direktur.” Ucapnya tergelak palsu. Damian mengangkat dagu Elena semakin menengadah, senyum mematikan ia tunjukkan saat ucapan serupa bujukan dikatakannya pada Elena yang lengah, “Sabar. Anda tahu kan, saya memiliki istri di rumah dan saya perlu waktu untuk membujuknya menerima Anda.” Elena mematuk bibir Damian yang tadi terbuka karena bicara, “Jangan membuatku menunggu terlalu lama. Kau bisa yakin, saat aku menginginkan sesuatu aku akan berusaha keras agar mendapatkan apa yang aku mau. Bahkan jika itu harus membuat image-ku buruk sekalipun, aku tidak akan peduli.” Damian mengepalkan tangannya kuat, “Saya tahu. Anda sudah menunjukkan kekuatan Anda pada saya. Dan Anda berhasil Direktur ... seperti yang Anda bilang, membuat saya bertekuk lutut.” Ujarnya dengan senyum pura-pura. Ketika Damian membelai leher Elena yang jenjang dan sangat menggoda itu, pria itu memiliki keinginan kuat untuk mematahkan leher Elena seketika itu juga. Tapi dia tahu dengan mematahkan leher wanita ini tidak akan membantu menyelesaikan masalah. Yang ada dia akan menyeret Adelia ke bawah bersamanya, karena harus menanggung cemoohan dari memiliki pasangan pembunuh sepertinya nanti. Damian mempertahankan rasionalitasnya untuk tidak bertindak gegabah saat ini. Kalau wanita ini menginginkan dirinya sebagai seorang suami, maka dia akan menyetujuinya. Selama ia bisa menangkap lengah wanita arogan ini di tangannya, ia akan dengan kejam menghancurkan Elena sampai sekarat karena mencintainya. Memikirkan ia bisa menundukkan dan membuat Elena meratap sedih saat ia tinggalkan suatu saat nanti membuat perasaan tertekan di hati Damian tersapu bersih. Setidaknya ia sudah memikirkan jalan ke depannya bagaimana ia harus berurusan dengan orang sombong seperti Elena. Elena mengulas senyuman polos saat dia melihat Damian, wanita itu bersikap tidak tahu apa-apa meski dengan jelas bisa menebak pikiran pria itu. Damian tidak cukup mahir untuk bisa mengelabui dia yang pintar. “Sopir pribadiku yang akan datang untuk menjemputmu mulai kini.” Damian yang hendak pergi, berhenti di tempat. “Apakah pernikahan itu tidak bisa di undur?” “Tidak bisa,” jawab Elena tegas, “Makanya kubilang padamu, supaya tak usah pulang malam ini. Dengan begitu kau tak perlu membuang waktu banyak di tengah jalan. Kau bisa tinggal denganku mulai sekarang, bukankah dengan begitu kita bisa bertambah dekat?” “Tidak butuh,” ujar Damian dingin, “Saya harus pergi sekarang untuk memastikan dengan mata kepala saya sendiri kalau kekasih saya itu baik-baik saja.” Elena mendengkus. Tidak terlalu menyukai alasan Damian. Kalau sampai pria itu tidak datang ke acara pernikahan mereka di waktu yang sudah ditetapkannya, dia benar-benar akan menyeret pria itu langsung ke altar. Kalau perlu, dia akan membius pria itu supaya tidak bisa kabur darinya. “Jangan datang terlambat, aku tidak suka menunggu lama. Sebelum pukul delapan pagi, aku mau kau sudah ada di Villa.” Kata Elena untuk yang terakhir kali sebelum dia kembali sibuk dengan pekerjaan terakhirnya. Dia juga perlu menyiapkan diri agar saat pernikahan, dia tidak tampak lelah. Damian tidak mengatakan apa-apa lagi. Pria itu pergi dari gedung perusahaan dengan seorang sopir yang sudah siap mengantarkannya pulang. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, kantor itu terlihat sepi. Tak lama kemudian setelah Damian pergi dari sana, Elena ikut keluar dari perusahaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN