Penguntit

1173 Kata
Sambil menyilang kan tangan di d**a, Damian menarik pandangnya lalu menatap pada lalu lalang kendaraan di depannya. Dia ingat tadi apa yang sudah dia lakukan pada direktur itu, menjadi orang yang sok berani terhadap ancaman wanita gila itu. Tapi mana mungkin wanita itu akan melakukan ancamannya dengan sungguh-sungguh. Pasti tidak. Lagi pula mereka baru saja bertemu. Dan wanita itu pun tidak tahu dirinya. Daripada menganggapnya sebuah ancaman, Damian akan berpikir kalau wanita cantik itu sedang tidak ada kerjaan dan bosan saja. Itu sebabnya ia begitu sial jadi bahan lelucon wanita sinting itu. Hah, pasti begitu. Drrt! Drrt! Drrt! Getar dari ponselnya yang di letakkan di atas meja membuat Damian mengalihkan pandangannya. Saat ia lihat kalau istrinya lah yang menelepon, raut mendung di wajah tampannya jadi hilang seketika. “Halo, Adelia.” Suara lembut di sisi lain mampu menenangkan hati Damian yang tadinya di penuhi emosi kemarahan. ‘Bagaimana wawancaranya? Apakah sudah selesai? Sudah sore hari dan kau belum pulang?’ Rentetan pertanyaan yang terdengar cemas itu menghadirkan senyum simpul di bibir Damian. Seorang wanita yang datang ke minimart tak sengaja melirik ke arah Damian yang tersenyum, wanita itu pun jadi tersipu malu melihat pria tampan sedang duduk sendirian di sana. Damian melihat pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Memang, waktu sudah menunjukkan betapa lamanya dia pergi. “Sebentar lagi aku akan pulang. Tunggu aku di rumah Del. Kau ingin sesuatu untuk di makan? Mumpung aku sedang berada di luar.” ‘Tidak usah. Aku sudah selesai memasak, aku akan menunggumu pulang supaya kita bisa makan bersama.’ Damian mengangguk, meski kenyataannya Adelia tidak bisa melihat. “Baiklah ... Tunggu aku, aku akan pulang sekarang.” ‘Hum... Hati-hati di jalan, Damian.’ Ucap Adelia untuk terakhir kali, sebelum kemudian menutup panggilan. Damian menanggapinya dengan gumaman persetujuan sebelum kemudian sambungan telepon di matikan. Pria itu pun beranjak dari sana, membuka aplikasi gojek lalu memesannya. Tidak butuh lama sebelum kemudian tukang ojek itu datang ke tempatnya. Damian mengambil kaleng bekasnya di atas meja, membuangnya ke tong sampah terdekat dan kemudian menghampiri sang driver ojek. “Jalan Antasura Ahmad Yhani, kost Astasura ya, Bang.” Kata Damian memberitahu alamat tempat tinggalnya pada driver ojek itu. Saat kemudian sepeda motor yang Damian pesan sudah pergi dari minimart tersebut, sebuah mobil Toyota Alphard warna putih yang tadi berada di pinggir jalan juga ikut bergerak, mengikuti motor itu dari belakang. Damian tidak menyadari sama sekali, bahwa perjalanan pulangnya sedang dibuntuti oleh seseorang. Pria itu terlihat santai, seakan-akan ancaman yang sudah dia dengar dari seseorang, tidak berpengaruh sama sekali dalam kehidupannya. *** “Siapa laki-laki itu?” Di dalam mobil, Elena dan sahabatnya sedang duduk di jok belakang. Kedua wanita cantik itu memiliki tatapan mata yang sama ke suatu obyek bergerak di depan mereka. Damian bersama driver ojek. Mobil itu bergerak pelan membuntuti Damian pulang ke rumah. “Bagaimana dia menurutmu, Calista?” Elena bertanya pada sahabatnya tentang Damian. Calista menaikkan alisnya, “Jangan bilang kalau itu adalah laki-laki yang mau kau nikahi?” Menyadari keterdiaman Elena dan senyum di bibir wanita itu, Calista ternganga terkejut. Tak percaya jika sahabatnya yang hedonis ini mau berdampingan dengan laki-laki miskin seperti pria itu. Meskipun pria itu memang sangat tampan, lalu apa gunanya itu? Calista meraih lengan Elena, menarik atensi wanita itu untuk melihat padanya, “Elena, kau tidak bercanda kan?” “Aku serius.” Jawab Elena sekenanya, “Dia tampan kan?” “Kita tidak kekurangan pria tampan, Elena. Pria tampan seperti itu sangat banyak di lingkungan pertemanan kita. Serius, aku bertanya padamu, apa yang kau pikirkan?” Calista benar-benar tidak dapat menebak isi kepala sahabatnya yang suka sekali seenaknya. Elena menyugar poninya ke belakang, memperlihatkan dahinya yang mulus dan tanpa noda, “Aku tidak punya pilihan, Calista. Menurutmu, kalau aku menarik salah satu dari pria yang kau maksud itu untuk menjadi suami pura-pura, kau bakal setuju?” Calista tergagap, dia juga tidak mau jika temannya ini mempunyai hubungan dengan laki-laki yang tidak memiliki hati nurani. Sebagian dari lingkaran pertemanan mereka memang tidak tulus menjalin pertemanan. Bahkan meskipun setiap minggu mereka akan berkumpul bersama, bersenang-senang bersama, itu murni dikarenakan bisnis. Dan Elena, yang kesepian dan menyedihkan ini tidak butuh pria yang isi otaknya hanya ada bisnis dan harta saja. “Kau benar. Aku tidak akan setuju, kalau kau menarik salah satu dari mereka untuk menjadi pasanganmu. Tapi, kau bisa kan mencari seorang pria yang lebih baik daripada dia. Laki-laki itu bahkan melamar kerja di tempatmu. Kalau dia diterima di perusahaan, bukankah kau akan berkencan dengan karyawanmu sendiri?” Calista terlalu banyak bicara hingga mulutnya terasa kering. Dia pun mengambil botol minuman di dekatnya, menenggaknya kemudian. Elena menarik sudut bibirnya ke atas, “Kalau aku katakan padamu, aku tertarik pada laki-laki itu untuk pertama kalinya, apakah kau akan percaya?” “Tentu saja tidak.” Sembur Calista dengan tampang ‘Wanita sepertimu yang tidak tertarik laki-laki memangnya bisa jatuh cinta?’ Karena raut wajah Calista yang demikian, Elena berubah marah dan tanpa segan menampar bahu sahabatnya. “Jangan karena aku belum pernah menggandeng laki-laki, itu artinya aku tidak bisa jatuh cinta, bodoh!” Calista mengaduh keras dan membelai bahunya yang sakit, “Tapi kenyataannya kan memang begitu?” Elena mengabaikan sang sahabat yang menurutnya menjengkelkan. Dia tahu jika Calista hanya mengejeknya karena masa lalunya bersama mantan kekasihnya. Dari sekian kenalan yang dia miliki, mungkin hanya Calista saja yang tahu tentang kebenaran kandasnya hubungannya dengan pria itu. “Lakukan apa pun yang mau kau perbuat, Elena. Tapi hanya satu yang aku minta darimu, manusiawi lah. Kau yang lebih mengetahui betapa sakitnya jika itu sudah menyangkut perasaan bukan. Aku tidak mau melihatmu seperti saat itu, Elena. Aku berharap, itu adalah terakhir kalinya aku melihatmu begitu.” Elena melirik Calista dengan ujung matanya. Saat dia melihat kesungguhan di mata pihak lain, dia pun memalingkan muka. “Humm...” balasnya dengan dengung persetujuan. *** Setengah jam kemudian Damian sampai di tempat kosnya. Setiap sore hari tempat kos yang Damian tinggali selalu ramai orang yang tak lain adalah penghuni kos tersebut yang baru saja pulang dari bekerja. Beberapa dari orang-orang itu merupakan penghuni baru di tempat kos ini, dan dia tidak mengenal mereka dengan baik. “Terima kasih.” Ucap Damian sambil menyerahkan helm pada driver ojek. Dia pun berjalan masuk ke tempat tinggalnya yang terletak di ujung lorong di lantai dua. Dengan santai, Damian menaiki tangga satu persatu. Setelah Damian sampai di kamar kosnya, dia pun mengetuk pintu lebih dulu untuk memberitahu sang istri yang berada di dalam, kalau dia sudah pulang. Tak lama kemudian pintu itu pun di buka dan Adelia menyambut Damian dengan senyuman manis. “Damian,” Damian mengecup kening Adelia sebelum kemudian membawa sang wanita masuk ke dalam ruangan. Aroma harum masakan menguar dari sana membuat Damian merasa kelaparan. Adelia mengambil tas di tangan Damian, “Pergilah mandi dulu, aku akan menunggumu di meja makan.” Suruh wanita itu dengan lembut. Damian mengangguk, “Tidak usah buatkan aku kopi, aku sudah minum tadi.” Setelah mengatakan itu, sosok Damian menghilang dari balik pintu kamar mandi yang ditutup. Adelia mengamati punggung Damian yang telanjang dengan tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN