Setelah Damian masuk ke dalam tempat tinggalnya, dan orang-orang yang tadi berkumpul di luar kos pun sudah kembali ke kediamannya masing-masing, seorang wanita mengenakan setelan kantor keluar dari mobil.
Wanita itu yang tak lain adalah Elena berjalan ke sisi perumahan tersebut, melihat-lihat pada bangunan di depannya dengan tatapan menilai.
Calista tidak ikut turun, wanita itu hanya membuka jendela mobil untuk melihat Elena yang berdiri di depan gerbang.
Jadi pria itu tinggal di sini? Batin Elena sambil mencibir. Mengingat pria itu yang sangat berani menolaknya, membuat dia merasakan penghinaan itu lagi. Di bandingkan dengan kenyamanan dan kemewahan yang akan pria itu dapatkan jika bersedia bersamanya dan membandingkan kehidupan miskin pria itu sekarang. Hump! Terlalu sombong.
Raut jijik di wajah Elena kentara sekali terlihat begitu bau solven melayang-layang di udara, menusuk indera penciumannya yang tajam.
“Benar-benar buruk.” Komentarnya dingin sambil mengerutkan hidung, sebelum kemudian dia masuk kembali ke dalam mobil karena tak tahan dengan bau menyengat itu.
“Sudah selesai?” Calista bertanya pada Elena yang kini duduk di sampingnya.
“Tidak tahan di sana. Baunya busuk.” Elena menjawab dengan jijik. Padahal lingkungan itu sangat terawat dan bersih. Tapi hanya karena bau solven yang dia endus, rasa jijik melingkupinya.
“Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?”
Elena meraih ponselnya di tas, “Aku punya rencanaku sendiri,” balasnya sambil menyeringai.
Sebagai seorang direktur yang berkecimpung di bidang properti lama, tak sulit baginya untuk melihat nilai dari bangunan yang baru saja dia lihat. Walaupun lokasinya berada di tempat yang strategis, eksterior bangunan itu sangat buruk, tampak jelas sekali terlihat kalau itu merupakan bangunan lama yang baru saja di renovasi.
Elena lalu melakukan panggilan telepon pada anak buahnya, meninggalkan instruksi singkat, ucapnya, “Datang dan lihat perumahan yang aku kirimkan alamatnya padamu, temui pemiliknya, negosiasi kan berapa pun harganya agar kepemilikan rumah itu menjadi atas namaku. Lakukan dengan cepat. Aku memberimu waktu tiga hari untuk menyelesaikannya.”
Calista menyilangkan tangannya di d**a, dia memutar matanya singkat saat mendengar apa yang Elena katakan. Benar-benar khas seorang Elena!
***
Pada malam harinya, Damian dan Adelia sedang bersantai di atas tempat tidur. Keduanya nampak saling bercanda, sesekali gelak tawa meluncur dari bibir Adelia saat Damian menghiburnya dengan kekonyolan yang pria itu perlihatkan.
Sejak kepulangan Damian tadi sore, Adelia tidak bertanya mengenai wawancara yang pria itu lakukan hari ini. Dilihat dari raut wajah Damian yang nampak lesu – meski pria itu berusaha menutupinya – Adelia bisa menebak kalau wawancaranya tidak berjalan lancar. Dan meskipun itu sangat disesalkan karena lagi-lagi usaha keras suaminya berakhir penolakan, sebagai seorang istri, Adelia hanya mampu menghibur Damian dan tidak mengungkit masalah wawancara itu sebelum Damian yang memulai lebih dulu.
Damian berbaring miring sambil memeluk pinggang Adelia, membenamkan wajahnya di perut istrinya yang mengembung. “Apakah tadi bayi kita berulah?”
“Beberapa kali perutku di tendang olehnya.” Jawab wanita itu sambil terkekeh.
Damian mengangkat kepalanya, lalu merunduk tepat di depan perut Adelia, mengecupnya berulang-ulang tonjolan di balik daster itu penuh kasih sayang, “Hey, baby boy ... Jangan membuat Bunda susah, oke. Memangnya putra Ayah ini tidak kasihan pada Bunda, kalau kesakitan di tendang terus, nanti Bunda bisa....”
“Mas....” Sela Adelia menghentikan Damian dari mengatakan hal yang memalukan. “... Tidak semenyakitkan itu. Aku hanya merasa sedikit aneh saja.” Tambahnya tak berdaya.
Damian tertawa canggung saat ia kira Adelia kesakitan, “Oh, benarkah?”
“Menakjubkan rasanya saat si kecil aktif di sini. Kemarilah... Kemari kan tanganmu,” Adelia meminta Damian mengulurkan tangannya.
Pria itu menurut, dengan patuh memberikan tangannya untuk dipegang oleh Adelia. Telapak tangan Damian diletakkan tepat di atas perut, Adelia menggerakkan tangan pria itu sepanjang perut, mencari keaktifan anaknya yang biasa berulah dengan menendangnya. Namun sayang sekali, sepertinya bayi itu sedang tidak mau menunjukkan kelucuannya, bahkan pada Damian sekalipun sekarang.
“Mungkin bayi kita sedang tidur,” Damian bercelatuk.
Wanita itu merasa kecewa karena tidak berhasil berbagi kebahagiaan sederhananya pada Damian. “Ya... Bisa jadi begitu.”
“Aku akan menemanimu nanti periksa kandungan, Del.” Ucap Damian dengan suara pelan. Lagi pula dia memang tidak punya kerjaan.
Usia kandungan Adelia sudah menginjak tujuh bulan yang artinya butuh beberapa bulan lagi, anak mereka akan lahir. Akan butuh biaya yang lumayan besar untuk persalinan Adelia nanti, dan Damian yang pengangguran setengah tahun ini menghabiskan uang tabungannya untuk biaya hidup mereka selama tinggal di Bali.
Itu sebabnya, pria itu sangat membutuhkan pekerjaan sekarang. Namun karena suatu kesalahan yang mereka perbuat, Damian sama sekali tidak mendapatkan pekerjaan setelah mereka berdua pindah dari kota asalnya.
Adelia menepuk punggung suaminya dengan perhatian, “Tidak usah.”
“Huh?”
“Uang kita ... Mungkin ....” Tak akan cukup. Batinnya. Adelia tak mampu melanjutkan bicara karena malu yang dia rasakan.
Selama ini, sia sadar keberadaannya hanya menyusahkan pria yang dia cintai. Kesusahan demi kesusahan yang Damian alami selama ini, tak lain adalah karena andil dari keluarga besarnya yang menjegal setiap langkah Damian kemana pun pria itu pergi. Dan dia merasa ... Bersalah. Tak berguna.
Dia merasa kalau ia sudah menjadi beban bagi Damian selama ini, dia sangat sadar akan hal itu, tapi pria baik ini tidak berpikir demikian.
Damian senantiasa mengatakan padanya bahwa apa yang terjadi pada mereka bukanlah salah siapa-siapa, padahal sudah jelas... Dirinyalah sebab penderitaan mereka ada.
“Kita pergi hanya untuk mengecek sebentar, Del. Masih ada cukup uang untuk itu.” Kata Damian membuyarkan lamunan Adelia. Pria itu seakan menyadari dengan sikap tak biasa istrinya.
Adelia tidak mengiyakan ataupun menolak. Karena dia tahu, jika Damian sudah bersikeras melakukan hal itu, tak ada yang dapat mengubah keputusan yang diambil oleh Damian.
Sebenarnya, uang tabungan miliknya tidak lagi banyak. Di tambah dengan pengeluaran setiap harinya dan tidak ada pemasukan sama sekali, mustahil bagi Damian yang senantiasa berpandangan positif untuk tidak merasa stres juga. Tapi Damian, sebagai seorang pria yang bertanggung jawab untuk menghidupi kedua orang – Adelia dan anaknya – tidak bisa memberitahu segala kesusahannya pada siapa pun. Bahkan jika itu Adelia sekalipun.
“Ayo kita pergi tidur saja.” Ajak Damian akhirnya, pria itu sepenuhnya meninggalkan masalah jauh ke belakang kepalanya untuk saat ini. Terlalu banyak berpikir tentu tak akan baik untuk mental dan jiwanya.
“Maafkan aku...”
Damian mengajak Adelia berbaring sepertinya, dengan penuh kelembutan dia menaruh kepala istrinya di bawah lengan, tidur menyamping, “Tidur.”
Wanita itu mengembuskan napas lelah, setelahnya dengan cepat tertidur setelah Damian mengelus pucuk kepalanya.
Menyadari kalau istrinya sudah terlelap, Damian disisi lain tidak bisa tidur. Pria itu mengamati lekat-lekat dinding di depannya yang sudah agak mengelupas.
Di saat begini, dia malah teringat dengan perkataan wanita cantik itu.
Ahh, aku pasti sudah gila! Kesal pria itu dengan dirinya sendiri.
***
Itu sudah seminggu berlalu saat Damian melakukan wawancaranya di perusahaan Theala Enterprises. Tak ada tanda-tanda sama sekali dari wanita itu yang berkata ingin menghancurkan hidupnya, jadi Damian menganggap santai ancaman tak masuk akal itu dan tidak terlalu banyak memikirkannya.
Pria itu baru-baru ini sibuk berkeliaran untuk mencari pekerjaan, namun hasilnya selalu mengecewakan.
“Sangat sulit sekali hidup di sini.” Desah pria itu tak berdaya. Ia sudah mencoba ke sembarang tempat untuk mencari pekerjaan. Namun seakan takdir menjauhkan setiap kesempatan yang dia miliki, ia selalu gagal di tengah jalan bahkan sebelum ia bisa membuktikan keahliannya.
Tidak hanya ia ditolak oleh beberapa perusahaan yang ia datangi, bahkan jika ia mencoba melamar bekerja sebagai tukang bangunan pun ia juga tidak diterima. Benar-benar sangat membuatnya frustrasi saja.