Sepuluh menit sudah berlalu dari saat Damian masuk ke dalam ruangan wawancara. Namun tak ada tanda-tanda sama sekali untuk Damian di suruh memperkenalkan diri. Pria itu bahkan hampir berpikiran sudah salah memasuki ruangan. Tapi mana mungkin?
Jelas-jelas wanita asing itu sudah memberitahunya kalau ini adalah tempat yang benar. Jadi tak mungkin dirinya salah memasuki ruangan.
“Tunggu sebentar.” Pada akhirnya Megan mengeluarkan suara pertama kali untuk menginterupsi keheningan aneh di ruangan tersebut. Karena sudah tak tahan dengan atmosfer yang dibawa oleh bosnya sendiri terhadap pria asing itu.
Damian sedikit terkejut karena suara yang tiba-tiba terdengar, tapi tak lama karena setelahnya ia bisa menguasai dirinya sendiri, “Ah, ya. Luangkan waktu Anda.” Ujarnya meringis kaku. Sebagai seseorang yang di wawancara, dia tidak punya hak untuk berkata tidak jika di suruh menunggu.
Megan harus menusuk pinggang Elena untuk menyadarkan wanita itu dari mengamati Damian. Sedari tadi, selain menatap lekat seakan ingin menelanjangi pria itu, Elena tidak melakukan apa pun. Tidak bersuara lagi, hanya menatap saja.
“Bisakah saya mulai wawancaranya sekarang, Direktur?”
Elena mengerutkan bibirnya cemberut, tak suka jika dia di ganggu saat sedang fokus-fokusnya, “Biar aku saja.” Katanya seraya mendengus. Di dalam hatinya, Elena mengutuk sikap Megan yang tidak menyenangkan.
Lama-lama si Megan ini mulai berani saja padaku. Apa karena aku terlalu baik hati belakangan ini? Pasti iya. Batinnya marah.
“Damian Galen, benar?” tanya Elena memasang wajah serius.
Damian menegakkan punggungnya tegak, bahu terangkat lurus, dan senyuman tak lupa ia perlihatkan, “Halo ... Perkenalkan nama saya Damian Galen, usia 29 tahun. Lulus S1 jurusan manajemen di Universitas Brawijaya di Malang.”
Elena mengetuk pena di atas meja, tangannya yang lain memegang file milik Damian, “Cerita kan tentang dirimu yang lain, Damian”
Apa lagi yang perlu di katakan? Pikir Damian. Resume pekerjaannya sudah sangat lengkap menjelaskan tentang dirinya.
“Saya menguasai dua bahasa asing__”
“Tidak, bukan itu.” Elena menyela, alisnya mengernyit saat Damian salah memahami perintahnya. “Aku sudah tahu hal itu, kecuali aku belum mengetes langsung, apakah benar atau tidak isi file yang aku baca milikmu ini.”
“File yang saya kirimkan terbukti benar, Buk. Ada bukti berupa sertifikat yang sudah saya lampirkan juga di dokumen tersebut.”
“Kau ... memanggilku apa?” Elena tampak shock mendengar panggilan Damian baru saja.
“Buk...?” ulang Damian ragu-ragu. Menilik dari ekspresi direktur cantiknya itu yang aneh sekarang, sepertinya dia melakukan kesalahan tak sadar.
Apakah ada yang salah dengan menyebut wanita itu dengan panggilan Ibuk? Kenapa memangnya kalau aku memanggilnya begitu? Meskipun wanita itu ia perkirakan lebih muda darinya, tak mungkin dia memanggilnya dengan sembarangan kan? Damian membatin, yakin kalau dia sudah melakukan hal yang benar.
Elena mendengus jijik. Meski begitu, dia tidak mengejar lebih jauh Damian yang menurutnya memiliki mata buruk. Cantik begini dipanggil Ibuk! Pasti matanya katarak!
“Lupakan saja!” Ucap Elena dingin, kemudian dia pun melanjutkan bertanya, “Aku sudah membaca portofolio dirimu, Damian. Kau menuliskan lajang di kertas ini. Apakah benar?”
Damian berusaha terlihat tenang, tidak menampakkan ekspresi bersalah meski kenyataannya dia sedang berbohong, “Iya... Saya masih lajang, Direktur.” Katanya mengubah panggilan pada Elena.
Direktur? Bagus juga. Elena tersenyum, kembali berwajah cerah, “Bagaimana dengan pacar?” tanyanya langsung sambil menopang dagu, “Kau sudah punya pacar?” ulangnya dengan mata berbinar.
“Maaf ...?” Damian mengerutkan alisnya tak mengerti.
Wanita itu pun menunjuk dengan dagunya, “Kau memiliki kaki panjang yang bagus, pasti otot paha itu sangat kencang. Berapa banyak otot perut yang kau punya di sana, empat, enam atau delapan. Ah, tak masalah, nanti kalau pun kau tidak punya otot perut, kita bisa melatihnya. Bagus, bagus.” Ujar Elena semakin melantur, terdengar sinting.
Bukan hanya Damian saja yang tercengang setelah mendengar ucapan Elena, bahkan Megan yang kini duduk di sampingnya pun sudah berubah pucat wajahnya. Wanita berkacamata itu memandang Elena dengan pandangan horor seakan tidak mengenali sosok perempuan yang menjadi bosnya selama ini.
Elena kemudian menyeringai, senyumnya tampak jahat, saat dia melontarkan perkataan yang sangat mengejutkan bagi kedua orang di dalam ruangan, “Jadi, Damian ... Apakah kau bersedia menjadi suamiku?”
Damian melebarkan matanya karena terkejut. Tidak menyangka dengan apa yang baru saja dia dengar. Apa-apaan?!
Pria itu sampai melonjak berdiri dari duduknya setelah mendengar ucapan Elena barusan. Damian bahkan tidak repot-repot untuk mengambil kursinya yang kini terjengkang menyedihkan. Dia merasa bahwa perempuan cantik itu tampak menyeramkan sekarang dimatanya.
“Maaf, apa yang baru saja Anda katakan?” tanya Damian dengan kening berkerut. Dia pikir, dia pasti salah mendengar perkataan Elena barusan.
Jadi suami katanya? Wah, pasti memang kupingnya yang salah tangkap.
Elena lalu melirik pada Meghan, “Keluarlah. Tinggalkan kami berdua.” Perintahnya.
Meghan tampak pucat wajahnya setelah melihat adegan yang sangat mengejutkan baginya. Bicaranya bahkan terdengar gagap saat dia memanggil Elena, “Direktur ... Anda, apa maksudnya?”
“Kau tidak dengar ucapanku barusan? Apa perlu aku mengulangnya?!” kata Elena setengah membentak.
“Tinggalkan kami berdua, Meghan!” ucapnya lagi begitu dilihatnya sang sekretaris yang belum juga keluar.
Tanpa banyak kata, Meghan langsung berdiri, tidak lagi bertanya kemauan direkturnya. Dengan cepat dia pun membereskan kertas catatan miliknya di atas meja, kemudian pergi dari ruangan itu tanpa sepatah kata pun.
Elena bangun dari duduknya, memutari meja, kaki jenjangnya yang mulus tampak seksi, rok span warna hitam sangat kontras dengan kulit pahanya yang putih, dan lekukan pinggangnya ... Damian menelan ludah. Sungguh, godaan seorang wanita!
Dihadapkan dengan paha mulus milik Elena menyebabkan Damian yang tadi emosi berubah menjadi bodoh.
Elena berdiri di depan Damian yang mematung, jari-jarinya yang lentik bermain-main di perut pria itu, sambil tersenyum, ia bertanya dengan nada mengejek, “Puas dengan apa yang kau lihat, Damian?” ucapnya dengan suara rendah.
Buru-buru Damian memalingkan muka, telinga dan lehernya berubah merah karena kedapatan melirik sang bos cantik.
“Kau tidak punya riwayat penyakit tuli. Pasti tadi mendengar dengan jelas apa yang aku katakan. Apa perlu aku mengulang lagi?” Tanya Elena dengan nada main-main.
Damian menangkap tangan wanita itu yang sudah membelai naik turun pinggangnya. Cantik sih, tapi sinting! Umpat Damian dalam hati.
Sebagai laki-laki, Damian benar-benar diuji saat ini. Pria itu tidak bisa memalingkan wajahnya dari kecantikan Elena yang memesona, meski mengetahui bahwa yang dia lihat adalah wanita jelmaan rubah.
Elena, bukan hanya wajahnya saja yang cantik mematikan tapi namanya juga tak kalah cantik diucapkan.
Damian berusaha bersikap tenang, meski jantungnya kini berpacu keras. Aroma wanita itu yang harum memasuki indera penciumannya dikarenakan kedekatan mereka sekarang. Damian menahan napasnya, mencegah dirinya menghirup lebih banyak wangi Elena yang memabukkan.
“Anda bisa menganggap saya tuli, tak masalah. Tolong jelaskan apa maksud ucapan Anda tadi.” Ucap Damian sangat serius.
Elena tertawa, merasa lucu dengan pertanyaan yang Damian lontarkan. Disisi lain, Damian tampak tertegun.