BAGIAN 6

803 Kata
•||• "Tapi Langga nggak akan pernah lupa." Revan meminum secangkir kopi luwak yang ia buat beberapa menit lalu. Udara dingin dari air conditioner dan angin malam yang masuk melalui pintu kaca didekat kolam renang serasa menusuknya hingga ke tulang. Percakapannya tadi sore bersama dengan Erlangga lumayan mengusik pikirannya. Meski sejujurnya, Revan percaya diri bahwa ucapan Erlangga hanya sekadar ucapan iri anak-anak. Revan menggelengkan kepala. Tangannya merogoh celana pendek selututnya dan mengeluarkan satu batang rokok dari sana. Revan menempelkan ujung rokok tersebut, lalu mulai menyulut filternya dengan pemantik Zippo. Untuk sejenak Revan bisa merasakan kelegaan setelah satu rokok sukses ia hisap. Asap di sekitarnya sudah mengepul bagian wajah Revan sehingga membuat pria berumur 32 tahun itu semakin terlihat menawan dengan rambut yang acak-acakan. Ingatan Revan tertuju pada sebuah peristiwa awal bagaimana Papanya meminta Revan untuk menikahi seorang gadis---Safina yang bahkan belum Revan kenal waktu itu. "Revan...." Revan menoleh, menatap Papanya yang duduk di depannya sambil membawa secangkir teh. Senyum Revan terbit. Ia menaruh MacBooknya di atas meja di sampingnya. "Kenapa, Pa?" Wira--Syawira Arsyad-- Papanya duduk di depannya sambil sesekali menarik napas. Tangannya yang sudah dimakan usia mengusap pinggiran cangkir tehnya. "Ada yang mau Papa omongin sama kamu. Mungkin juga---omongan Papa agak sedikit sensitif, dan kamu nggak akan suka," ucap Wira. Revan mengerutkan keningnya sambil tetap memperhatikan Wira. "Mau ngomong apa, Pa?" Wira menyesap tehnya perlahan. Sejujurnya pria itu gugup. Gugup sekali. Apalagi Wira tahu bahwa anaknya sudah memiliki tambatan hati. Tapi Wira tidak bisa menahan keinginannya. Apalagi setelah mengetahui pengorbanan gadis itu untuk dirinya. "Papa punya kenalan seorang gadis. Gadis itu baik. Cantik. Dan berpendidikan. Lulusan salah satu universitas negeri terbaik di Bandung. Nama gadis itu Safina." "And then?" Wira menatap lamat-lamat wajah Revan sebelum mengutarakan keinginannya. "Papa ingin kamu menikahi dia. Menurut Papa--dia lebih baik daripada Hasna." Revan membuang rokok yang masih tersisa setengah. Ia injak puntung itu meski bara api masih menyala di filternya. Tangannya meremas rambutnya sendiri. Demi Tuhan, jika bukan karena Papa, Revan sudah lama melepaskan Safina dan juga Erlangga. •||• "Mikirin apa, sayang?" Revan menoleh begitu suara pujaan hatinya terdengar. Ia tersenyum manis menyambut tangan Hasna yang ada di bahunya. Membawanya ke bibir tebalnya dan menciumnya. Menghidu aroma strawberry dari tubuh istrinya. "Nggak ada mikir apa-apa, kok. Kamu kenapa belum tidur?" tanya Revan. Revan menggeser tubuhnya sedikit ke kanan agar Hasna bisa duduk di sampingnya. Hasna memeluk pinggang Revan sedangkan Revan mengusap rambut istrinya dengan penuh kasih sayang. Tangan Hasna menjalar ke d**a Revan dan mengusapnya dengan gerakan perlahan. "Aku nggak bisa tidur. Nggak ada yang bisa dipeluk soalnya." Kepala Hasna mendongak, sedetik kemudian tawa Revan muncul. "Gabisa tidur kenapa, hm?" "Karena nggak ada kamu!" jawab Hasna. Revan menjawil hidung Hasna karena gemas. "Bisa aja istriku yang cantik ini!" Hasna tertawa. Tangannya semakin mengerat di pinggang Revan. Membuat Revan menahan napasnya sendiri. "Van...." Revan menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik istrinya. "Iya cantik?" "Aku mau bilang sesuatu," kata Hasna. "Bilang apaa?" Kepala Revan turun untuk mengecup seluruh wajah Hasna. Mulai dari kening, hidung, pipi dan berakhir di bibirnya yang ranum. "Mmm, Van!" Hasna memukul lengan Revan pelan. Membuat Revan mengaduh dengan tawa berderai. "Ish, Van! Aku serius!" "Oke, oke, sayang. Kamu mau ngomong apa, hm?" Hasna tersenyum. Tangannya menarik tangan Revan yang sedang mengusap rambutnya ke arah perut datarnya. "I'm pregnant!" •||• Safina turun dari tangga lalu menuju dapur setelahnya. Wanita berumur 30 tahun itu pergi ke dispenser untuk mengisi persediaan air minum untuk Erlangga. Ketika akan menaiki tangga, Safina melihat Revan sedang duduk di atas kursi kayu di dekat kolam renang. Safina menggeleng. Malam ini cuaca terasa lebih dingin dari hari biasanya. Tapi Revan keluar dari rumah dengan pakaian yang sangat tidak cocok berupa kaus oblong berwarna merah dan juga celana pendek selutut berwarna biru navy. "Nggak mikir bakalan kedinginan apa," kata Safina. Wanita itu berinisiatif untuk membuatkan Revan secangkir teh hijau hangat dan juga kentang goreng untuk menghangatkan diri. Safina buru-buru naik ke atas untuk menaruh gelas berisi air putih di kamarnya dan Erlangga. Setelah memastikan bahwa Erlangga tidur dengan nyenyak, Safina turun ke bawah dan mulai menggoreng kentang. Tangannya dengan cekatan membuka lemari kitchen set dan mengambil sekotak teh hijau dari sana. Safina mulai mengambil mug dengan gambar Tedy bear---mug milik Hasna-- dan mulai menaruh kantung teh di dalam sana. Setelah memastikan bahwa ia sudah selesai memasukan kantung teh, ia segera menuang air dari dalam termos dan mengaduknya. Safina tersenyum menghirup aroma menenangkan dari teh hijau yang dibuatnya. Setelah menaruh teh hijau di atas nampan, Safina membalik kentang goreng dan mengangkatnya. Setelah semuanya selesai, wanita itu buru-buru mengangkat nampannya dan tersenyum puas. "Semoga suka," harap Safina. Wanita itu mulai membalikkan tubuh dan berjalan menjauhi dapur. Kakinya melangkah ke arah kolam renang di belakang rumah dan seketika kakinya seperti di lem kala ia tak sengaja mendengar suara Hasna dan teriakan bahagia Revan dari sana. "I'm pregnant!" •••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN