•||•
Sejak malam itu Fina sadar bahwa yang terjadi selanjutnya dalam hubungan pernikahan mereka tidaklah sama. Sikap Revan yang memang tidak pernah memperdulikan dirinya, dirasa semakin hari semakin terlihat nyata. Sikap yang sebetulnya sudah Fina sadari bahkan sejak satu jam pernikahan Revan dan Hasna digelar.
Fina tidak menyayangkan keputusannya untuk mengiyakan keinginan Revan. Sebab, Safina sadar selemah apa dirinya untuk tetap berdiri tegak di dunia ini.
"Bu Fina!"
Safina menoleh begitu mendengar namanya dipanggil oleh salah satu perawat di rumah sakit tempat biasa ia melakukan kontrol. Safina berdiri sambil memegang erat tali tas Prada yang ia gunakan.
"Silahkan masuk, Bu. Ibu sudah ditunggu oleh dokter Iqbal di dalam," salah satu perawat yang Safina kenali bernama Citra tersenyum sambil membawanya masuk ke dalam ruangan dokter Iqbal.
Dokter Iqbal sendiri adalah dokter spesialis kanker terbaik di rumah sakit ini. Bahkan Safina sudah menjadi pasien tetap dokter Iqbal sejak delapan bulan yang lalu. Nyaris satu tahun.
"Halo Bu Fina! Udah lama ya kita nggak ketemu, apa kabar?" dokter Iqbal mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Fina. Fina tersenyum menerima uluran tangan dokter Iqbal.
"Baik, dokter. Sangat baik. Dokter sendiri apa kabar?"
Dokter Iqbal tertawa kecil sambil memperlihatkan dirinya sendiri di depan Safina. "Saya baik, hanya saja, kantung saya sedikit kering!"
Safina dan dokter Iqbal tertawa. Yah, setidaknya, tawa dokter Iqbal sedikit merubah suasana hati Fina menjadi agak sedikit tenang dari biasanya.
"Ada keluhan selama dua minggu ini, Fin?"
"Nggak ada, dok. Cuma kadang suka sakit aja."
Dokter Iqbal mengangguk pelan. Matanya menatap Safina dengan seksama. "Kamu sudah berdiskusi mengenai penyakit ini pada pak Revan?"
Safina menggeleng. "Belum, Dok. Suami saya akhir-akhir ini lagi sibuk banget. Jadi saya belum bisa ngasih tahu beliau."
"Fin....." Dokter Iqbal memanggil namanya lirih. Ia agak memajukan sedikit tubuhnya sehingga bisa menatap Safina lebih dalam. "Penyakit kamu itu nggak bisa disepelekan."
Safina tersenyum. Kendati bukan tubuhnya saja yang merasa sakit. "Saya nggak papa, Dokter. Saya yakin saya bisa. Mungkin nanti malam saya akan bicara sama suami saya."
Dokter Iqbal menghela napas. Sebagai dokter yang menangani penyakit Fina selama 8 bulan ini, membuat dokter Iqbal paham bagaimana sifat Safina.
"Saya harap apa yang kamu bicarakan saat ini sama saya akan kamu bicarakan pada pak Revan. Karena penyakit ini bukan penyakit sembarangan, Fin. Kamu harus segera kemo."
•||•
Setelah pembagian raport
@rumah Revan
"Baju-baju sudah kamu masukin, Fin?" Revan bertanya pada Safina yang sedang mencari kotak berisi teh hijau favorit nya di rak atas.
"Sudah, Mas. Kenapa memang?"
"Nggak papa. Aku pikir kamu belum masukin baju. Soalnya besok pagi kita berangkat," jelas Revan.
Revan meneguk air putih dalam gelas yang ada di tangannya. Pria itu mendudukan dirinya di atas kursi makan. Sedang matanya menatapi istrinya yang sedang mengaduk-aduk teh di dalam gelas.
"Kamu yakin ajak aku dan Langga? Kalau nggak, kami bisa pergi ke tepat Mama, Mas." Safina berjalan menghampiri Revan dan beringsut duduk tepat di depan suaminya.
"Yakin. Memangnya kenapa? Kamu ngeraguin ketulusanku?" tanya Revan.
"Bukan kayak gitu itu, Mas. Aku cuma takut Langga dapet luka dari kamu lagi. Aku nggak mau. Udah cukup waktu itu aja," Fina menatap Revan serius.
Revan menghela napas berat, lalu kembali meminum air di gelasnya. "Nggak akan, Fin. Aku nggak akan nyakitin dia lagi. Lagipula, Hasna pengen banget kalian berdua ikut, kok. Kenapa harus cemas? Kamu tahu kan yang bisa nenangin diriku cuma Hasna?"
Safina tersenyum masam. Revan berbicara seolah-olah Safina bukanlah istrinya. Ya meskipun Revan tidak mencintainya, tidak semestinya pria itu berbicara yang tidak-tidak.
"Aku tahu, Mas."
Aku bahkan lebih tahu.
"Yasudah. Apalagi yang perlu dicemaskan?"
Safina menggeleng. "Nggak ada kok. Mas Revan udah mau tidur?" tanya Fina.
Revan mengangguk. Ia berdiri lalu menyimpan gelas yang dipakainya ke atas sink lalu menatap Fina yang masih diam di kursi makan. "Malam ini aku tidur sama kamu. Aku tunggu kamu di kamar, ya."
•||•
Rencana liburan yang sudah dibuat mereka----Revan dan Hasna----sejak tiga minggu lalu akhirnya terlaksana hari ini. Pagi-pagi sekali mereka sudah bangun dan bersiap untuk pergi ke Bandung. Revan sendiri sudah membangunkan anak-anaknya sejak pukul setengah enam. Yang langsung dilanjutkan dengan olahraga mengelilingi kompleks perumahan mereka.
"Van, tolong bawain tas ini, dong. Aku nggak kuat. Dedek bayinya rewel banget." keluh Hasna.
Revan dengan sigap mengambil tas dari tangan Hasna dan menjinjingnya. Bibirnya mencium kening Hasna dengan penuh kasih sayang. "Dedeknya bikin kamu capek, hhhm?" tanya Revan gemas.
Hasna mengangguk lucu. Tangannya mengusap-usap rambut Revan yang sedang berada di perutnya. "Iya, Papa. Aku buat Mama capek. Maafin aku ya, Papa!"
Revan tertawa. Hasna membalas ucapannya dengan suara bayi yang dibuat-buat. "Uuuhh anak Papa ini!" Revan mencium perut Hasna yang masih kecil. "Jangan bikin Mama keawalahan ya, Nak. Papa sayang kamu."
"Dedek sayang Papa juga!" Hasna mendekap kepala Revan dengan erat. Mengabaikan tatapan menyedihkan seseorang dilantai dua.
•||•
Bandung adalah salah satu destinasi favorit bagi Revan dan juga Hasna. Terlebih lagi, Revan. Pria itu mengartikan Bandung sebagai kota cinta. Karena di sanalah Revan bisa menemukan cintanya-----menemukan Hasna.
"Kita langsung ke vila atau gimana?" tanya Revan. Matanya menatap Hasna yang duduk disampingnya dan juga menatap Safina yang duduk dibelakang bersama kedua anaknya.
"Langsung ke vila aja deh, sayang. Aku mual banget dari tadi." Hasna menjawab lebih dulu.
Revan melirik ke arah Safina melalui kaca spion tengah. "Fin?"
"Hum?" Safina mengerjapkan mata. Lalu tersenyum masam setelahnya. "Aku ngikut kalian aja."
"Oke. Kita langsung ke vila kalau gitu."
•||•
Seminggu berlalu dan Revan benar-benar menepati ucapannya pada Safina untuk tidak membeda-bedakan Erlangga dengan Sabima. Pria 32 tahun itu benar-benar pandai berakting di depan anak pertamanya. Bahkan, liburan yang lebih bisa disebut sebagai penambah luka bagi Safina. Karena ya, Revan masih bersikap tidak imbang padanya. Itu pula yang membuat Safina masih tidak punya keberanian untuk memberi tahu Revan perihal penyakitnya.
Mereka----Revan beserta kedua anaknya dan Hasna--- sudah mengelilingi kota Bandung. Mulai dari mengunjungi Farm House s**u Lembang yang berada di jalan Dago Giri km 2,2. Lalu mereka juga mengunjungi Gunung Tangkuban Perahu yang terletak di daerah Cikahuripan. Selama berada di Gunung Tangkuban Perahu, Mereka sudah mengunjungi tiga kawah yang memang sangat terkenal di sana. Yaitu, kawah Domas, kawah Upas, dan kawah Ratu. Pun Revan juga mengajak kedua istri dan kedua anaknya untuk menikmati sate jando. Sate jando sendiri adalah sate yang terbuat dari lemak sapi atau kerap disapa gajih oleh orang-orang kebanyakan. Sate yang dilumuri oleh bumbu kuning sebelum dibakar itu memang menjadi incaran para warga ataupun wisatawan di sana. Tidak terkecuali Revan dan keluarganya.
"Papa, Aku mau minum, dong!" pinta Sabima.
Revan dengan sigap menaruh piring berisi satenya ke atas kursi. Tangannya dengan cekatan mengambil botol mineral dan memberinya ke Sabima. "Nih," kata Revan.
Sabima dengan segera meminum air yang disodorkan Revan padanya. Kepalanya menoleh menatap Ibu Safina yang hanya diam saja sedari tadi.
"Ibu Fina kenapa?"
"Hum?"
"Ibu kenapa? Kok dari tadi diem aja?" tanya Bima.
Safina tersenyum. Lalu mengusap puncak kepala Sabima dengan sayang. "Ibu nggak papa kok. Ibu cuma capek aja. Ini masih lama ya?" tanya Fina.
"Apanya yang masih lama, Bu?"
"Jalan-jalannya...." lirih Safina.
"Ooh," Sabima membeo. Lalu menatap Papa, Mama, dan Mas Erlangga yang masih memakan satenya dengan khidmat. "Aku nggak tahu, Bu. Ibu mau istirahat? Biar aku bilang Papa."
"Eh, nggak, kok. Enggak. Ibu gapapa, ibu cuma tanya aja."
"Beneran?"
"Iya sayang."
"Oke deh." Sabima menggigit satenya lalu menatap Safina lagi. "Kalau Ibu kenapa-napa, bilang ya Bu."
Dan Safina semakin ingin menangis sekarang juga.
•••••