•||•
"Fina udah nggak kuat, Bu."
Fina mengusap air mata yang meleleh ke pipinya sambil tetap memegang ponsel. Helaan napas seorang wanita di seberang sana membuat Fina memejamkan mata. Tahu kalimat seperti apa yang akan menyambutnya kali ini.
"Kamu nggak salah bicara kan, sayang? Ibu nggak mau kamu jadi Ibu. Kamu tahu kan kehidupan kita dulu seperti apa?"
"Aku tahu, Bu. Tapi aku sendiri nggak kuat. Rasanya sakit. Sakit sekali."
"Kamu harus bertahan, Nak. Demi Langga. Demi anak kamu. Kamu harus ingat, kalau kamu memutuskan ini, bukan hanya kamu yang terluka, tapi Langga juga."
Safina terdiam. Otaknya mencerna apa yang dikatakan Ibu padanya. Ia ingin menyerah. Sangat ingin menyampaikan. Tapi masalalu kelam yang dulu terjadi padanya--membuat Safina enggan melepaskan Revan.
"Fina?"
"Mm.. iya Bu?"
Safina menarik ingus guna menetralkan suaranya yang serak. Suara Ibunya terdengar lagi. "Ingat ya, Nak, jangan melepaskan Revan. Jangan melepas Revan kalau kamu nggak mau menjadikan Langga seperti dirimu. Ibu sayang Fina. Kalau terjadi sesuatu, datang ke rumah Ibu, ya."
"Iya Bu, InsyaAllah, Fina akan kuat dengan pernikahan ini. Makasih ya Bu."
"Sama-sama, sayang."
Ketika telepon ditutup, Safina menelungkupkan wajah di atas lengan. Kembali menangis di sana.
•||•
Revan memutar-mutar handphone di tangannya. Matanya menatap lurus pintu ruangan berwarna coklat---pintu ruangannya. Ia memejamkan mata. Masih memikirkan tindakan yang semalam ia lakukan kepada Fina. Apakah ia sudah keterlaluan? Atau kah memang pantas ia berlaku seperti itu pada Fina?
Ah, rasa-rasanya Revan ini jahat sekali. Apalagi sampai tidak mau mengakui Erlangga sebagai anaknya. Tapi-- apa yang dikatakan Revan pada Safina malam tadi adalah sebuah kenyataan yang benar adanya. Revan memang malu memiliki anak yang bodoh. Revan tidak sudi.
Ceklek
Pintu ruangannya dibuka dari luar, dan muncul lah sosok Hasna dengan rok pendek selutut dengan kemeja berwarna putih dan blazer hitam. Revan memberi Hasna senyum manis. Senyum yang jarang dieperlihatkannya pada Safina. Bahkan nyaris tidak pernah? Ah, Revan tidak mau ambil pusing.
"Kenapa sayang?" tanya Revan.
Hasna tersenyum manja. Ia mendekati Revan dan duduk di atas pangkuan pria itu. Tangannya memainkan dasi yang dipakai Revan. Sedang yang sebelah lagi, ia gunakan untuk mengusap belakang kepala Revan. "Jemput Bima, yuk! Sekalian ajak jalan-jalan!" kata Hasna.
"Sekarang?"
"Huum. Masa nanti!
Revan tertawa. Tangannya dengan jail merambat ke belakang tubuh Hasna sambil bermain nakal di b****g wanita itu. Membuat Hasna terkikik dan berakhir di atas meja kerja Revan.
•||•
Erlangga menunduk melihat ujung sepatunya tanpa mau menatap Sabima. Pun Sabima juga melakukan hal yang sama. Berdiam diri. Tidak tahu harus memulai percakapan seperti apa dengan Masnya. Sabima terlalu takut. Dan itu membuat Erlangga semakin ragu untuk memulainya lebih dulu. Takut jika ia mulai lebih dulu dan adiknya ini akan menangis.
Langga memejamkan mata. Merasa bimbang akankah dirinya menegur Sabima lebih dulu ataukah tidak? Tapi...
"Bima," panggil Langga akhirnya. Kepalanya menoleh menatap sang adik yang menatapnya terkejut. "Aku minta maaf sama kamu karena kemarin aku bentak kamu." Kata Erlangga.
Sabima diam. Otaknya tiba-tiba saja blank. Ungkapan permintaan maafan dari kakaknya membuat Bima tidak tahu harus mengatakan apa. Erlangga mengulurkan tangan, mencoba untuk mengajak Sabima berdamai. Awalnya anak itu--bima tidak menggubris tangan Erlangga, namun ketika bayangan Ibu Fina yang sudah terlampau baik pada dirinya, Bima langsung buru-buru menjabat tangan kakaknya dan memeluknya erat.
"Aku juga minta maaf sama kamu, Mas. Maaf karena aku bilang sama papa kamu jadi dimarahin."
Erlangga tersenyum, "Nggak papa, boy."
Sabima membalas senyum Erlangga. Lalu kembali menarik Masnya dan memeluknya dengan erat.
Demi Tuhan, Bima sayang sekali dengan Mas Langga.
•||•
"Mbak Fin mau kemana?" tanya Pita pada majikannya.
Safina menoleh dan tersenyum tipis menatap Pita. "Saya mau jemput Langga sama Bima dulu. Kasian udah siang kalau nggak dijemput."
"Bos Revan emang nggak jemput, Mbak?"
Safina menghentikan pergerakannya yang sedang memasukan dua buah lollipop berukuran sedang ke dalam tasnya. "Mas Revan?"
"Iya Mbak. Bos Revan nggak jemput emang?"
Safina tertawa kecil, "Nggak, Pit. Dia nggak bisa jemput anak-anak. Paling saya atau nggak anak-anak naik ojek online."
"Widih, berani amat sih anak-anaknya mbak!"
"Iyalah, harus! Biar mereka mandiri."
Fina menutup tasnya setelah berhasil memasukan dua buah roti rasa keju dan srikaya, serta dua buah lollipop yang nantinya akan ia beri kepada kedua anaknya.
"Saya duluan ya, Pit. Saya titip toko!" ujar Fina.
"Siap Mbak!"
•||•
Safina turun dari motor matic yang di kendarainya dengan hati-hati. Ia terlihat kebingungan kala tidak melihat sosok anak-anaknya di bangku taman seperti biasa. Safina melepas helm yang dia pakai lalu mulai menghampiri pak satpam di pos penjaga.
"Permisi, Pak, bapak lihat dua anak laki-laki nggak?"
Si bapak yang sedang menyeruput kopinya lantas berhenti demi menatap Safina. "Oh yang adik kakak itu ya, Bu?"
"Iya pak betul! Apa bapak lihat?" tanya Fina.
"Lihat Bu. Kebetulan tadi yang menjemput sepasang suami istri. Ibu ARTnya?"
Safina terdiam. Sepasang suami istri. Itu berarti Mas Revan dan Mbak Hasna.
"Mbak kalau itu pulang lagi aja, soalnya tadi denger-denger mereka mau pergi."
"Oh gitu ya, pak...."
"Iya, Bu."
"Yaudah deh, pak. Makasih banyak, ya."
Setelah mendapat anggukan dari si Bapak satpam, Safina segera naik ke motornya dan berbalik menuju toko kuenya.
•||•
"Langga?"
Erlangga menoleh, menatap Revan yang sedang menatap ke arahnya. Saat ini mereka berdua sedang pergi makan di salah satu restauran Jepang. Restauran yang menjadi pilihan Bima untuk tempat mereka makan siang ini. Setelah memasan makanan, dan mereka memakannya, Sabima dan Hasna pamit pergi untuk membeli sesuatu sebelum pulang. Sehingga tinggal Erlangga dan Revan saja di meja ini.
"Iya, Pa?"
"Papa minta maaf sama kamu."
"Minta maaf untuk apa?"
Revan menggenggam sumpitnya dan mengetuk-ngetuknya di atas meja pelan-pelan. "Soal semalam. Masalah Papa udah bentak kamu, dan marahin kamu."
"..."
"Papa tahu Langga kecewa sama Papa. Papa bener-bener minta maaf." pinta Revan lirih.
Erlangga yang melihat sang Papa menunduk jadi tak tega. Karena bagaimanapun, Papa adalah orang yang membuat dirinya ada di dunia ini. Erlangga memberikan seulas senyum tipis pada Revan sebelum tangan mungilnya mengusap punggung tangan Revan.
"Langga maafin Papa untuk yang semalam. Tapi-"
"Tapi?"
"Tapi Langga nggak akan pernah lupa."
••••