Leyna melihat jam yang melingkar di tangannya. Sudah lebih dari tiga puluh menit berlalu sejak Edward harusnya datang menjemputnya. Seharusnya, lelaki itu datang pukul dua. Namun, hingga hampir jam tiga, dia masih belum menunjukkan batang hidungnya serta tak dapat dihubungi.
"Ke mana sih dia? Nggak biasanya telat selama ini," bingung Leyna. Bahkan, bisa dibilang Edward tak pernah telat jika janjian dengan Leyna. Jika ia sedang tak bisa, ia akan mengabari Leyna seperti waktu itu.
Leyna terperanjat saat merasakan getar benda pipih di tangannya. Tertera nama sang calon suami di sana, beserta sebuah emoticon berbentuk hati yang manis. Leyna pun sangat antusias mengangkatnya.
"Ed, kamu sampai mana, sih? Jadi kan kita ambil cincinnya? Atau kamu ada acara dadakan?" Sebenarnya ia masih punya banyak pertanyaan yang ingin ia tujukan pada Edward. Namun, ia juga tak sabar mendengar jawaban dari pria itu.
"Halo, dengan keluarga Bapak Edward?"
Leyna semakin bingung. Kenapa yang berbicara suara perempuan asing? Ia mengecek kembali layar ponselnya, memastikan jika benar kontak Edward yang menghubunginya.
"Saya calon istrinya. Mbak siapa, ya? Apa HP calon suami saya jatuh?" tanya Leyna. Ia beranggapan bahwa ponsel Edward jatuh, kemudian orang yang menemukannya mendapati kontak Leyna yang sejak tadi terus berusaha menghubungi pria itu.
"Bukan, Mbak. Begini, Pak Edward mengalami kecelakaan dan-"
"Mbak mau nipu saya, ya? Mbak bohong, kan? Percuma, Mbak, saya udah kebal sama hal seperti ini. Iya saya calon istri Edward. Tapi saya yakin Edward baik-baik saja. Kalau Mbak mau minta transferan, maaf saya nggak bisa kasih," potong Leyna. Bukan hal baru ada tiba-tiba penipuan dengan menggunakan nama orang terdekat. Leyna bersikap waspada.
Di tambah amarahnya membuncah. Ia sangat marah saat orang itu mengatakan jika Edward mengalami kecelakaan. Apalagi, membayangkan jika ponsel itu sampai berpindah tangan, yang artinya jika berita itu benar, saat ini keadaan Edward tidak sedang baik-baik saja.
‘Nggak mungkin! Pasti orang itu salah bicara! Bercanda atau niatnya menipu sangat kelewatan!’ Leyna terus berusaha untuk menyangkalnya.
"Saya dari Rumah Sakit Cahaya Utama, Mbak. Saya menghubungi Mbak karena kontak Mbak ada di daftar paling atas. Saat ini kondisi pasien tidak stabil, dan kami butuh perwakilan keluarga pasien sebelum melakukan tindakan serius," kata orang tersebut.
Tubuh Leyna membatu. Ia masih berusaha menyangkal jika apa yang ia dengar adalah sebuah fakta. Ia tidak bisa membayangkan jika Edward benar-benar mengalami kecelakaan dan keadaannya seburuk itu.
Oh Tuhan!
Jantung Leyna rasanya mau lepas mendengar penegasan dari orang itu, Edward sungguh alami kecelakaan.
“Mbak... Halo... halo?!” Dia terus memanggil kala Leyna jadi terdiam.
Lidahnya begitu kaku. "Y-ya... Ini serius, Mbak? Edward? Tunangan saya alami kecelakaan?”
Tidak cukup, Leyna masih butuh jawaban yang jelas.
“Ya, data dari keterangan kartu identitasnya nama tersebut milik pasien. Saya harap, Mbak dan pihak keluarga segera datang.”
Leyna menarik napas dalam-dalam, mengeratkan genggaman di ponselnya. Telapak tangannya begitu dingin. “B-aaik, saya segera ke sana."
Tak ingin membuang waktu lebih lama, Leyna merasa harus memastikan kebenaran berita itu langsung dengan matanya sendiri.
Dengan detak jantung yang sudah tak karuan, dan keringat dingin yang berlomba keluar, Leyna berusaha memesan taksi online. Ia juga menjauh dari area pintu masuk kantor, mendekat ke jalan. Tidak pedulikan yang lainnya.
“Edward... kecelakaan...” bisiknya berulang-ulang. Leyna berharap keadaannya tidak buruk jika pun benar. “Aku harus ke sana secepatnya!”
Saking syok Leyna sampai tidak konsentrasi, tidak tahu apa dulu yang perlu di lakukan. Termasuk tak siap untuk memberitahu keluarga tunangannya. Dia hanya terus berjalan hingga seseorang memanggilnya.
"Woy! Leyna! Ley! Dipanggil-panggil nggak nyaut, malah lari. Masih mau kabur-kaburan lagi?"
Leyna terlonjak mendengar suara itu. Dan di dunia ini, hanya ada satu orang yang bicara dengan bahasa seperti itu dengannya. Yaitu Kenzo Alfarezi. Dia pikir Leyna sengaja menghindar darinya, tak indahkan panggilannya.
"Eh, kamu kenapa?" Orang itu turun dari mobilnya. Ia putar bahu Leyna, lalu ia tahan agar wanita itu tak bisa menghindar darinya lagi.
"Lepas! Aku harus ke rumah sakit sekarang," ucap Leyna sambil berusaha lepas dari lelaki itu. Tidak ada waktu dan energi berhadapan dengan Ken untuk sekarang.
"Ada apa, Ley? Memang siapa yang sakit?!” desak Kenzo. Leyna bingung. Syok yang ia tahan akhirnya tumpah. Bukannya menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu, tangis Leyna justru pecah begitu saja. Tubuh wanita itu bergetar seperti orang ketakutan.
"Ada orang yang kasih tahu aku kalau Edward kecelakaan. Dia pasti bohong kan, Ken? Nggak mungkin, kan, Edward kecelakaan sampai nggak sadarkan diri? Bilang ke aku kalau itu bohong!"
Ken terdiam. Ia tarik wanita itu ke dalam dekapannya. Meski Leyna sempat memberontak, Ken tetap menahannya. Ia usap punggung wanita itu, seperti saat ia berusaha menenangkannya saat Leyna kecil menangis dahulu.
Ken pun sangat terkejut mendengar berita tersebut. Ia hanya bisa menenangkan Leyna.
"Kamu tenang dulu! Kita pastikan sama-sama, ya? Kita nggak akan pernah tahu kebenarannya kalau kita nggak samperin langsung ke tempat itu," kata Ken.
Leyna mengangguk, setuju. Isakan masih terdengar dari bibirnya, membuat rasa tak nyaman menghinggapi d**a Ken. "Ssstt ... udah dulu dong nangisnya! Kita jalan ke rumah sakit sekarang, ya! Ayo!"
Ken membawa Leyna masuk ke sisi kiri mobilnya. Dan Leyna yang kala itu sedang kalut pun hanya bisa menurut. Karena menurutnya, yang paling penting sekarang adalah dia harus segera tiba di rumah sakit untuk melihat keadaan Edward - memastikan jika penelepon tadi bohong dan Edward tidak benar-benar mengalami kecelakaan. Dia memang masih marah pada Ken, tetapi kehadiran Ken terasa tepat dan ia butuhkan seperti kala Leyna sedang terpuruk seperti biasanya.
Tiga puluh lima menit berlalu. Leyna dan Ken tiba di rumah sakit yang disebutkan oleh penelepon tadi. Mereka segera masuk dan bertanya pada bagian informasi tentang pasien kecelakaan yang bernama Edward. Leyna harap, nama itu tak pernah ada. Namun ...
"Oh, Anda calon istri Beliau yang saya hubungi tadi, ya? Saat ini pasien masih di tangani. Keadaannya terus menurun sehingga beliau perlu mendapat perawatan yang lebih intensif, dan kami menunggu keluarganya," jawab orang tersebut.
Kaki Leyna lemah seketika, hingga ia nyaris jatuh andai saja tak ada Ken yang sigap membantunya.
"Ley, hey, jangan kayak gini!"Ken merangkulnya.
"Edward, Edward ..."
"Kita lihat keadaan dia dulu, ya! Lagi pula, Edward bukan pria yang lemah. Dia pasti bisa menghadapi semua ini," kata Ken. Selanjutnya, Ken bertanya di mana letak ruang tempat Edward berada, lalu memapah Leyna yang sudah berlinang air mata ke tempat itu.
***
Leyna sempat menunggu Edward cukup lama melewati beberapa tindakan untuk luka-lukanya. Dia dibantu Ken pun mengurus beberapa berkas agar Edward bisa langsung dapat ruangan, di ICU.
Waktu berjalan, Leyna sedang menyentuh pintu kaca yang menjadi pembatas antara dirinya dan sosok yang sangat ia cintai itu. Edward berbaring di sana - di atas tempat tidur dengan banyak alat menempel di tubuhnya. Kepalanya dibungkus perban, menandakan jika telah terjadi benturan keras pada bagian itu - yang Leyna yakini menjadi salah satu penyebab keadaan Edward bisa menjadi seburuk ini.
"Aku lagi mencari tahu, kronologis kecelakaannya. Kenapa bisa sampai separah itu?” beritahu Ken yang penasaran. Leyna dapat mendengarnya, tetapi ia tak mengindahkan lagi pertanyaan seperti itu. Yang ada di kepalanya sekarang hanyalah Edward, dan apa yang harus ia lakukan agar Edward bisa segera kembali ke sisinya.
"Ken, Edward bakal baik-baik saja, kan? Dia nggak akan pergi ninggalin aku, kan? Pernikahan kami tinggal menghitung hari. Aku nggak mau semuanya hancur begitu saja," lirih Leyna.
Ken merangkul bahu yang rapuh itu, berusaha menyalurkan kekuatan agar keadaan Leyna tak lebih buruk lagi dari ini.
"Dia pasti sembuh. Dia pasti akan bangun sebelum hari pernikahan kalian. Kamu percaya sama Edward kan, Ley?"
Leyna mengangguk. Ia hapus air mata yang menggenangi pipinya, lalu kembali memfokuskan pandangannya pada tubuh calon suaminya yang terbaring tak berdaya di dalam sana. Sebelumnya, Ken sudah meminta izin pada para petugas medis untuk membiarkan Leyna masuk. Namun, sayangnya mereka tak mengizinkan karena keadaan Edward yang benar-benar tidak stabil.
"Leyna,” panggil Ken. “Kamu harus telepon keluarga Edward. Mereka harus tahu.”
Leyna benar-benar nyaris lupa. Tetapi, kemudian dia hanya terdiam. Kepalanya menggeleng, menatap Ken berkaca-kaca, “Kenzo, aku nggak sanggup kabari orang tua Edward. A-apa yang harus kusampaikan?”
Leyna masih sangat syok, apalagi harus sampaikan berita duka pada keluarga tunangannya.
Kenzo menarik napas dalam-dalam, “biar aku yang hubungi mereka,” Ia mengambil alih tugas itu agar Leyna bisa lebih lama memandangi pujaan hatinya yang sedang dalam masa kritis itu. Leyna menatap begitu sedih.
Berharap Edward segera bangun, agar dirinya tahu jika ini hanya ujian yang akan berlalu. Ia takut kisahnya dengan Edward menjadi akhir yang tragis. Dia tidak bisa, apalagi siap kehilangan Edward.
'Pernikahan kita sudah di depan mata, Sayang... please... bangun, buka mata kamu. Jangan buatku takut, Ed!' Batinnya, bulir air matanya kian deras terjatuh. Tangan Leyna mengepal kuat-kuat. Entah apa rencana semesta selalu mengujinya setiap kali akan bahagia.