Hari demi hari berlalu. Leyna tak pernah berhenti berharap jika Edward akan tiba-tiba membuka matanya sebelum hari pernikahan mereka. Bahkan, cincin pernikahan mereka pun sudah ia ambil bersama Ken tiga hari yang lalu. Namun, hingga hari ini, Edward belum menunjukkan adanya tanda-tanda yang bersifat positif.
“Besok pasien akan menjalani operasi karena pendarahan di kepalanya belum juga membaik meski sudah satu minggu berlalu. Kami juga menemukan adanya masalah serius di otaknya. Jadi, operasi itu tidak bisa ditunda lebih lama,” terang dokter.
Awalnya, pihak rumah sakit berpikir jika operasi besar semacam itu sebaiknya dilakukan setelah keadaan pasien sedikit lebih stabil, karena risikonya yang begitu besar. Namun, sekarang keadaannya benar-benar mendesak. Mereka seakan sudah tak punya pilihan lain selain melakukan operasi itu secepatnya.
“Kamu dengar itu, Ed? Besok kamu akan menjalani operasi besar. Besok - tepat di hari seharusnya kita menikah. Kamu justru akan berjuang antara hidup dan mati,” kata Leyna sambil terus menatap kekasihnya yang masih mendapat perawatan intensif.
“Kamu nggak mau bangun, Ed? Apa kamu nggak merindukanku? Setidaknya katakan sesuatu! Buka matamu sebentar saja dan katakan kalau kau pasti akan kembali, Ed! Aku takut … benar-benar takut.”
***
Leyna baru saja selesai mandi. Hari ini, ia sudah mulai cuti. Awalnya, ia cuti untuk menikah dan bulan madu bersama Edward. Namun, nyatanya kini hari yang ia tunggu-tunggu itu harus ia gunakan untuk menemani Edward menjalani operasi.
Leyna mengecek ponselnya. Ada banyak panggilan tak terjawab ternyata. Dan salah satunya berasal dari Ken. Baru saja Leyna akan menghubungi balik sahabatnya itu, terdengar bel apartemennya berbunyi. Perasaan Leyna menjadi tidak nyaman. Ia pun bergegas membukakan pintu untuk melihat siapa yang datang.
Dan ternyata, itu adalah Ken.
“Ley, kamu ke mana aja, sih? Aku telepon dari tadi nggak diangkat. Pihak rumah sakit juga katanya udah menghubungi kamu tapi-”
“Rumah sakit? Ada apa sama Edward, Ken?” potong Leyna yang tidak sabar menunggu Ken menerangkan kronologinya. Orang tua Edward memang sedang sakit juga setelah kejadian kecelakaan tersebut, biasanya bisa bergantian menjaga, hari ini mereka pulang lebih dulu, dan memang bagian Leyna yang akan jaga.
“Dia sadar,” jawab Ken sambil tersenyum.
“Kamu serius?”
“Ya. Makanya itu aku ke sini untuk menjemputmu. Kamu sudah siap? Mau ke rumah sakit sekarang?” ajak Ken.
Leyna mengangguk. Ia mempersilakan Ken untuk menunggu di dalam selagi ia bersiap. Lima menit kemudian, Leyna keluar dari kamar dengan pakaian yang lebih baik. “Ken, ayo!
Leyna merasa sangat antusias dengan momen mendebarkan ini. Edward-nya telah kembali di hari bahagia mereka. Meski rasanya tak mungkin mengadakan sebuah pesta pernikahan hari ini juga, tetapi, Leyna merasa memiliki harapan baru. Ia dan Edward pasti akan bersama hingga akhir.
Sampainya di rumah sakit, Leyna bahkan tak menunggu Ken keluar dari mobil. Ia keluar lebih dulu, dan langsung mengambil langkah lebar bergegas ke ruang ICU. Seorang perawat menunggunya. Ia menyerahkan satu set pakaian khusus untuk menjenguk pasien kritis.
Dan saat pintu kaca itu terbuka, mata Leyna langsung berkaca-kaca. Edward menatapnya sambil tersenyum tipis - sangat tampan.
“Edward,” panggil Leyna dengan suara bergetar. Ia raih jemari calon suaminya itu. Ia genggam, ia cium, lalu ia menangis sambil menumpu pada tangan lemah Edward.
“Aku tahu kamu pasti akan kembali buat aku,” ungkap Leyna.
“Kamu kurusan, Ley. Apa kamu baik-baik saja?” tanya Edward, mengabaikan topik pembicaraan Leyna sebelumnya.
“Mana ada wanita yang akan merasa baik-baik saja dan bisa makan dengan teratur saat calon suaminya berada di antara hidup atau mati?”
Edward terkekeh secara refleks. Namun, dari sorot sendu mata Edward, perasaan Leyna mendadak tidak enak. Lelaki itu tampak begitu lelah meski ia sudah tertidur selama berhari-hari.
“Ley, maaf,” ungkap Edward dengan suara lemah.
Leyna menggeleng. “Nggak apa-apa. Aku nggak masalah pernikahan kita mundur, yang penting kamu sembuh dulu. Cepet sembuh, Ed. Aku nggak bisa begini terus.”
“Maaf banget. Aku udah bikin kamu kecewa. Aku udah bikin kamu sedih. Maaf,” cicit Edward. Mungkin, maksudnya karena kecelakaan yang ia alami yang telah membuat Leyna kacau, serta pernikahan mereka yang terpaksa tertunda? “Aku … nggak bisa.”
“Nggak bisa apa, sih, Ed?”
“Kamu layak mendapat orang yang lebih baik dari aku. Aku nggak bisa tepati janjiku untuk selalu ada di sampingmu. Aku nggak bisa menepati janjiku untuk terus mencintaimu hingga kita menua bersama. Maaf.”
“Ed, kamu ngomong apa, sih? Habis ini kamu akan dioperasi. Kamu pasti akan sembuh. Kamu hanya harus berjuang sedikit lagi. Kamu bisa, kan?” desak Leyna. Ia seolah tahu ke arah mana topik pembicaraan Edward.
Dan laki-laki itu menggeleng, membuat Leyna frustrasi. “Apa? Kenapa kamu gelengin kepala kamu?”
“Aku nggak bisa lanjutin semua ini. Maaf,” lirih Edward.
“Kamu nggak boleh ngomong gitu! Aku akan marah besar kalau kamu ingkarin janji kamu ke aku, Ed. Kamu harus sembuh! Kamu nggak boleh ninggalin aku!” teriak Leyna dengan nada putus asa.
Edward tersenyum. Tangannya menggenggam jemari Leyna dengan tatapan matanya yang terus tertuju pada wanita berparas indah di hadapannya.
“Terus bahagia ya, Ley! Tolong tebus seluruh rasa bersalahku padamu dengan kebahagiaanmu. Aku sayang banget sama kamu, dan aku nggak mau lihat kamu sedih,” kata Edward.
“Maka dari itu, kamu harus sembuh, Ed! Plis! Tahan sebentar lagi, ya!” paksa Leyna.
“Aku nggak bisa,” balas Edward membuat Leyna histeris.
Edward menatap ke pintu kaca ruangannya, mengedipkan kedua matanya pada sosok yang menunggu di luar sana. Orang itu peka. Langsung mengambil alat pelindung diri serupa dengan Leyna, lalu menyusul masuk ke ruang rawat Edward.
Lelaki itu langsung panik saat mendengar suara Leyna yang histeris. Ia mengusap bahunya, berusaha menenangkan wanita itu sebelum hal yang lebih buruk terjadi.
“Sssttt sstt, Ley, jangan kayak gini! Tenangin diri kamu dulu, ya!” ucap laki-laki itu lembut.
“Ken, titip Leyna, ya! Aku nggak tahu harus menitipkan Leyna pada siapa lagi selain kamu. Selain aku, hanya kamu yang benar-benar ingin mewujudkan kebahagiaan Leyna. Jadi, aku mohon, jaga dan lindungi dia!” pinta Edward.
Ken ingin mengelak. Namun, apakah ia bisa? Ia tatap mata calon suami sahabatnya itu dengan sendu. Kelopak matanya tampak seperti orang yang tidak tidur selama beberapa hari, padahal justru yang terjadi adalah sebaliknya. Wajahnya pucat pasi dan dingin.
Terpaksa, Ken menganggukkan kepalanya.
Edward menyentuh tangan Ken. Meletakkannya di atas tangan Leyna yang masih bergetar akibat isakan wanita itu.
“Dengar apa kata Ken! Kamu nggak boleh terus-terusan membangkang sama dia. Dia sayang kamu, Ley. Aku percaya, dia bisa bahagiain kamu lebih dari aku,” kata Edward.
“Kamu ngomong apa sih, Ed? Kamu jangan ngaco, ya?! Kamu lupa Ken udah punya Greisy, dan aku punya kamu? Dan selamanya kita akan seperti itu. Makanya kamu harus kuat! Plis bertahan buat aku!”Leyna semakin tidak suka. “Ini pasti karena luka di kepala kamu, ada yang salah sama kamu! Iya kan Ed?”
Edward tetap menatapnya, menyingkirkan rasa sakitnya. Seolah tahu dirinya tak punya banyak waktu.
“Panggil dokter, Ken! Edward harus diperiksa!” Leyna nyaris seperti orang tak rasional, menolak habis-habisan pernyataan Edward yang tak ingin melanjutkan hubungan mereka. “Tahu apa kamu soal bahagiaku, Ed? Kamu gak bisa menyerahkan aku pada pria lain seperti ini!”
“Leyna, udah... Edward masih baru sadar!” Ken coba menenangkan Leyna. Tetapi, Leyna malah mendorongnya menjauh.
“Lepas!” dia menatap nanar di tengah air matanya yang jatuh, Leyna mendekati Edward. Lalu menunduk, “jangan bicara begitu, kita berdua saling mencintai. Pernikahan kita sudah di depan mata, aku akan menunggu sampai kamu pulih. Ya, sayang... dengarkan aku. Kamu pasti sehat lagi, operasi itu akan berhasil! Kita akan menikah, kamu bilang udah gak sabar buat lihat aku pakai gaun pengantin. Ed!”
“Maaf, Leyna. Maaf. Maaf juga ya, Ken.” Balasnya semakin suaranya lemah.
“Edward, jangan hancurkan aku kayak gini!” Leyna pantang menyerah, walau kakinya sudah lemas berdiri karena tiba-tiba firasat tak nyaman itu benar-benar buatnya tersiksa.
Perlahan, mata itu tertutup. Ken mendekat, kembali merangkul Leyna.
“Ed!”
“Leyna,” Ken tetap merangkul, menguatkan, seolah tahu yang akan mereka saksikan. Terutama bagian terberat untuk Leyna. Genggaman tangannya pada jemari Ken dan Leyna juga melemah hingga akhirnya terlepas.
“Enggak! Ed, bangun! Edward, aku bilang bangun! Kamu nggak boleh kayak gini! Jangan bikin aku takut, Ed!” teriak Leyna histeris. Ia mengguncangkan tubuh lemah Edward. Namun, untung di sisinya ada Ken yang berusaha menenangkannya.
“Ley, stop! Jangan kayak gini! Kamu cuma bikin Edward sedih kalau kamu kayak gini!” Sentak Ken.
“Edward nggak boleh pergi. Dokter! Tolong panggil dokter! Dok, Dok tolong tunangan saya, Dok!” Leyna bergegas keluar, berlari seperti orang tak waras, ia berteriak memanggil para petugas medis hingga mereka masuk untuk memeriksa keadaan Edward. Sungguh suasana saat ini begitu kacau.
“Maaf, Pak, Bu, tapi kalian harus menunggu di luar.”
Ken langsung menarik Leyna untuk menunggu di depan ruang ICU. Ia membantu Leyna melepas APD nya. Kemudian, ia rangkul wanita itu - berusaha mencegah saat sesekali Leyna ingin menerobos masuk ke ruang ICU.
“Tenangi diri kamu dulu, oke? Kamu bisa sakit kalau kayak gini,” kata Ken lembut.
“Persetan dengan semuanya! Aku bahkan sudah sakit. Lebih dari sakit, aku hancur, Ken!”
“Ley, dengar! Kamu ingat apa kata Edward tadi? Dia minta kamu buat bahagia. Jangan bikin dia kecewa. Ikhlas, Ley!” Ken berujar.
Namun, Leyna terus menggeleng sambil menangis. Bibirnya terus menggumamkan doa untuk Edward. Ia benar-benar tidak tahu akan seperti apa hari esok tanpa Edward. Jadi, bisakah ada satu keajaiban muncul yang bisa membuat Edward kembali padanya?
Selang beberapa menit, seorang dokter dan satu perawat keluar dari ruang ICU. Leyna menatap dua orang itu dengan penuh harap.
“Tunangan saya selamat kan, Dok? Dia tidak mungkin ninggalin saya, kan? Ini hari pernikahan kami. Nggak mungkin dia menjadikan hari ini sebagai trauma terbesar dalam hidup saya,” lirih Leyna. Ken terus memegangi wanita itu agar tidak bertindak bodoh.
“Maaf, Pak, Bu. Dengan sangat menyesal, saya harus menyampaikan bahwa Pak Edward sudah pergi untuk selama-lamanya.”
Bersamaan dengan itu, di balik tubuh dokter itu, seorang perawat di ruangan Edward tampak melepas satu per satu alat medis yang menempel pada tubuh pria yang sangat Leyna cintai itu.
Edward sudah benar-benar pergi. Hancur sudah dunia Leyna. Semua jadi tampak gelap seketika. Leyna tidak menangis, hanya mematung hampa bagai nyawanya ikut tercabut detik itu, beberapa saat hanya menatap tunangannya. Hingga kemudian kakinya lemas dan terduduk.
“Leyna!” Ken menarik wanita itu ke pelukannya. Tangis Leyna pecah, lebih memilukan dari saat Ken menemani masa tersulitnya dulu, kala orang tua Leyna berpisah.
Ken merengkuhnya, air mata pria itu pun jatuh. Betapa pedihnya nasib Leyna. Mata Ken tertuju pada posisi Edward berada. Edward memercayakan Leyna padanya, meminta ia menjaga Leyna.