Berbohong!

1714 Kata
“Ak- aku sedang datang bulan,” kata Leyna dengan gugup. Memberi jawaban dari yang Ken cemaskan. “Apa?” Ken tampak terkejut. Namun, lebih dari itu, ia juga tampak seperti tidak suka dengan apa yang Leyna katakan. Mengapa, dia rasanya kecewa? “Ya aku lagi datang bulan. Jadi aku nggak mungkin hamil. Puas, kan? Sekarang kamu bisa tenang. Anggap semua yang berlalu tidak pernah terjadi, Ken! Demi masa depan kita semua,” pinta Leyna. Lalu, wanita itu melangkah meninggalkan Ken yang tampak masih tak percaya. “Apa dia mengatakan yang sebenarnya? Atau dia hanya berbohong agar aku berhenti mengusiknya?” pikir lelaki berusia dua puluh lima tahun itu. Sementara itu, Leyna kembali tersenyum saat sudah duduk di hadapan calon suaminya. “Loh, Ken kok nggak ada?” Ia berpura-pura tidak tahu, seolah mereka tidak pernah bertemu di depan toilet. ‘Bagus Ley, aktingmu luar biasa sekarang!’ Batinnya. “Iya dia tadi ke toilet juga, agak buru-buru. Kamu nggak papasan sama dia?” balas Edward balik bertanya. Mudah percaya pada istrinya. Leyna menggeleng polos. Melihat Ken yang tampak berjalan mendekat, ia pun segera mengalihkan pandangannya. Ia memutar otak, mencari cara agar bisa segera pergi dari sini. Dia tidak mau lebih lama tertahan bersama Ken. Leyna merasa tidak nyaman sekaligus tak tenang. Seperti ada ancaman atau bom yang siap meledak kapan saja. “Ed, udah malam. Kita udah di sini dari tadi juga, kan? Pulang duluan aja yuk! Nggak enak gangguin orang mau kencan,” ajak Leyna, disisipi gurauan untuk Greisy. “Kami nggak kencan, Ley. Cuma dinner biasa aja, kok. Dan aku rasa Ken juga nggak akan terganggu selagi itu kalian,” balas Greisy tenang. Bawaan gadis itu memang selalu seperti itu. Lembut, bagai putri keraton yang memiliki darah biru. Lebih pendiam dibanding Leyna sendiri. “Bercanda, Grey. Emang aku sama Edward di sininya udah dari sore, makanya aku ajak dia pulang. Nah itu Ken, udah ayok sayang kita pulang!” Ken yang mendengar namanya disebut, serta merasa ditunjuk oleh tatapan Leyna pun mengernyitkan alisnya. “Ada apa?” “Kita mau balik duluan, Ken. Kebetulan kami di sini udah sekitar dua jam. Kasihan Leyna dari pagi belum istirahat,” Edward menjawab. Kemudian, ia dan Leyna pun bangkit dari kursi. “Buru-buru sekali,” ujar Ken. Terlihat biasa, tetapi Leyna tahu itu agak sedikit menyinggung di telinganya. “Nggak buru-buru, sudah dibilang kami dari tadi di sini.” Leyna menjawab, berusaha terlihat biasa. Padahal menahan dongkol pada Ken. Ken yang mengenal baik Leyna, sadar bila wanita itu menghindar dan menegaskan enggan dicegah, “oke.” Akhirnya Kena biarkan Leyna pergi dengan tunangannya. “Kalau gitu, kami duluan, ya? See you, guys,” pamit Leyna, sambil melambaikan tangannya. Ia berusaha bersikap senormal mungkin meski kini pikirannya sedang kacau. Sementara pandangan Ken tidak lepas dari posisi tangan Edward merangkul Leyna. Jika sebelumnya kemesraan mereka bukan masalah untuknya, kali ini Ken merasa terganggu. Dia sampai merasa haus, duduk dan meraih gelas minumnya, langsung meneguk rakus. Bagusnya Greisy tidak memerhatikan perubahan mood Ken. Rasanya lega. Setibanya di mobil, Leyna menghela napas panjang. Namun, Edward yang kelewat peka menyadari bahkan sudah berkali-kali Leyna melakukan hal yang sama sejak keluar dari restoran. Edward memilih diam, ingin melihat lebih lanjut apa yang akan Leyna lakukan setelah ini. Namun, hasilnya sama. Wanita itu tertangkap basah beberapa kali menghela napas berat. “Are you oke, sayang?” tanya Edward. Ia khawatir Leyna-nya memang sedang dalam keadaan yang kurang baik. Wanita itu selalu tampak baik-baik saja. Ia bukan gadis manja yang akan merengek saat ia sakit. Kalau sakitnya tidak parah pun Leyna akan tetap berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan orang-orang di sekelilingnya. Tak mendapat jawaban atas pertanyaannya, Edward pun kembali buka suara, “Leyna …” “Eh? Iya, Ed? Ada apa?” Leyna tampak kelabakan, menunjukkan betapa tidak fokusnya ia sejak tadi hingga ia kaget saat Edward memanggilnya. “Kamu lagi banyak pikiran, ya? Ada masalah? Atau lagi nggak enak badan?” selidik Edward. “Aku cuma lagi ngerasa capek aja deh kayaknya. Kalau sakit sih enggak,” jawab Leyna berusaha menenangkan tunangannya agar tidak curiga. “Di kerjaan kamu lagi banyak hal yang harus kamu pikirkan? Kalau iya, apa nggak sebaiknya kamu cuti dari sekarang? Sekalian buat istirahat, kan?” “Enggak kok, Ed. I’m fine. Wajar lah capek-capek dikit habis kerja. Tapi aku nggak apa-apa, kok. I’m one hundred percent oke,” bohong Leyna. Padahal entah sudah berapa lama ia tidak bisa tidur dengan lelap. “Tapi kamu nggak fokus banget loh dari tadi aku perhatiin. Yakin nggak mau istirahat dulu? Ambil cuti, gitu? Takutnya nanti kamu tiba-tiba sakit, Ley,” ucap Edward lembut. “No! No! No! Lagi pula kan kita udah sepakat, kita baru ambil cuti mulai H min satu acara, biar setelah acara punya waktu yang cukup buat quality time berdua,” kata Leyna. Edward terkekeh. Ia mengerti dengan apa yang Leyna khawatirkan. Namun, baginya, kesehatan Leyna saat ini adalah yang utama. “Kan bisa kamu ambil cuti lebih panjang, pakai koneksi orang dalam. Apa perlu aku bantuin buat bicara ke Ken? Ken pasti ngerti dan bakal bantu, kok. Memang apa sih yang nggak bisa dia lakuin buat kamu?” ujar Edward. Biasanya, Leyna tidak akan mempermasalahkan jika Edward berkata demikian. Namun sekarang, Leyna merasa ada yang janggal dengan ucapan itu. “Ed, bisa nggak jangan bilang kayak gitu? Ucapan kamu barusan bikin aku nggak nyaman,” pinta Leyna. Edward terperangah. Ia memikirkan kembali kalimat seperti apa yang baru saja keluar dari mulutnya. Harusnya Leyna tak bereaksi sejauh ini. Lagi pula, apa yang Edward katakan betul adanya. Ken hampir tidak pernah menolak permintaan Leyna. Dan Edward sendiri tidak masalah dengan itu, karena ia bisa mengerti bagaimana kedekatan Leyna dengan Ken dan keluarganya - yang sudah jauh terjalin sebelum dirinya hadir di hidup Leyna. “What? Serius, aku nggak ada maksud nyindir atau apa. Aku-” “Ssshh … Ed, udah, ya! Aku pusing sekarang,” pinta Leyna. “Sakit?” “Nope. Cuma capek dan mau pejamkan mata sebentar. Tolong bangunin aku kalau kita udah sampai apartemenku, ya!” kata Leyna. Edward menghela napas pasrah. Ia tak bisa memaksa jika Leyna memang tak ingin bicara. “Oke. Rest well, sayang.” Bagaimana bisa Leyna tidak pusing, sementara kata-kata Ken di depan toilet tadi semakin menambah beban di kepalanya. ‘Tanggal berapa terakhir kali aku datang bulan? Apa ini sudah terlambat dari yang sebelumnya?’ *** “Leyna nggak kangen sama Mama?” tanya Bu Andini - ibunda Kenzo, yang sore itu mendatangi tempat kerja Leyna di stasiun TV yang masih milik keluarganya. “Maaf ya, Ma, jadi jarang nyamperin Mama. Leyna benar-benar sibuk. Mama tahu, kan, pernikahan Leyna sama Edward tinggal menghitung hari. Dan Leyna masih belum cuti. Jadi, Leyna belum ada waktu buat main ke rumah,” ungkap Leyna. Bohong. Bahkan ia hanya bekerja kurang dari lima jam dalam sehari. Dan soal pernikahannya, Edward sudah membayar wedding organizer untuk mempermudah semuanya. Leyna hanya tinggal melakukan ukur cincin dan fitting baju pengantin saja. Sisanya sudah ada yang mengurus. Bu Andini menghela napas panjang. “Mama kangen, tahu? Tapi Mama juga nggak bisa apa-apa, kalau alasan kamu memang karena sibuk.” “Maaf, ya, Ma,” ungkap Leyna. ‘Maaf karena Leyna udah bohongin Mama. Maaf karena Leyna udah bikin Mama kecewa,’ lanjut perempuan itu dalam hati. “Iya nggak apa-apa, sayang. Mama ngerti kok. Bahagia terus ya, kamu! Jangan terlalu diforsir juga! Pokoknya kamu harus pintar-pintar jaga kesehatan,” pesan Bu Andiri. Leyna mengangguk. “Makasih banget, Ma. Nanti walau Leyna udah nikah sama Edward, Mama akan tetap jadi mamanya Leyna juga. Nanti kita atur waktu buat bisa sering ketemu ya, Ma!” “Harus dong! Mama kan memang mamanya kamu. Jangan sampai kamu lupa sama Mama kalau sudah ada keluarga baru!” balas Bu Andini, membuat Leyna terkekeh. “Mbak Leyna, udah dijemput calon suaminya, tuh!” ujar salah satu rekan kerja Leyna di bagian penyiaran. “Oh, iya. Makasih ya, Mbak,” balas Leyna. “Nah tuh. Emang dasarnya bucin. Nggak bisa apa dia telat dikit jemputnya biar kamu masih bisa ngobrol lama sama Mama?” canda Bu Andini. Beliau juga cukup dekat dengan Edward gara-gara Leyna. “Mama pulang bareng kami aja, gimana? Kami antar. Edward bawa mobil kok,” tawar Leyna. “Enggak deh. Udah janjian sama Papa soalnya. Ini juga Mama masih mau ngecek sesuatu di sini. Kamu duluan aja. Minta Edward buat hati-hati ya, nyetirnya!” Leyna mengangguk. Setelah menyalami ibunda dari sahabatnya itu , Leyna pun bergegas pergi. Ia tak mau calon suaminya menunggunya terlalu lama. “Itu tadi Tante Andini?” tanya Edward. Leyna mengangguk sebagai jawaban. “Sama Ken ke sini? Kok tumben nggak kelihatan itu anak,” heran Edward. “Enggak. Ken nggak ikut. Tadi Mama Andini kayak sengaja gitu nyamperin aku. Ngajak ngobrol. Maklum lah, akhir-akhir ini aku udah pusing banget sama kerjaan dan persiapan pernikahan kita, jadi susah nyempetin mampir ke rumah,” terang Edward. “Nah kan, pasti dicariin. Udah tahu Tante Andini nganggap kamu kayak anak perawannya sendiri, Ley. Apalagi kamu mau nikah. Pasti dalam lubuk hatinya yang terdalam, Beliau lagi pengen nempel-nempelnya sama kamu, sebelum kamu ganti kepemilikan jadi milikku.” Leyna terkekeh. Sedikit bebannya berhasil terangkat berkat candaan ringan Edward. “Aneh-aneh aja kamu. Tapi kayaknya memang iya sih. Sebaik itu Mama sama aku.” Leyna termenung sebentar. ‘Andai Mama tahu aku dan Ken telah membuat kesalahan yang sangat fatal di belakang kalian semua, apa Mama masih akan sesayang ini sama aku? Apa Mama akan bisa memberikan maafnya untukku?’ “Nah kan bengong lagi. Oh iya, sayang. Cincin kita katanya udah jadi. Tapi besok aku ada acara, kemungkinan sampai malam juga. Kalau kita ngambilnya besok lusa, gimana?” ucap Edward, membuat kesadaran Leyna yang hampir buyar berkumpul kembali. “Hmm … lusa, ya? Boleh, deh. Tapi jam pulang kerja, gimana? Jumat, kan? Aku pulang jam setengah dua, kok. Kamu tanggung nggak jamnya sama jam istirahat kantor?” sahut Leyna. “Bisa lah nanti aku urus itu,” jawab Edward. Lelaki itu begitu baik dan pengertian. Ia selalu berusaha menyesuaikan apa pun dengan keadaan Leyna, termasuk soal jam kerja wanita itu. Bukankah dia pria yang sangat sempurna? Namun Leyna justru berbuat dosa besar dengan mengkhianati Edgar, melanggar janjinya untuk setia. 'Bila ada satu-satunya yang harus disalahkan, cuman Ken!' Batin Leyna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN