Bawaku Bersamamu

1268 Kata
Lelah. Hari-hari Leyna terasa begitu kosong. Ia belum lagi bisa mengumpulkan semangat hidupnya. Pekerjaannya, sudah entah akan seperti apa nantinya. Yang jelas, masa cuti satu minggu yang ia ajukan awalnya untuk berbulan madu serta quality time bersama Edward - menghabiskan waktu bersama pria yang ia cintai itu, kini justru harus ia habiskan dengan duka. Di tangannya ada foto pra-wedding mereka di sebuah bangunan yang didominasi warna putih, elegan namun klasik. Ia tak menyangka, foto itu akan menjadi kenangan terakhirnya bersama Edward yang diabadikan kamera. “Bukan ini yang aku mau, Ed. Aku memang senang saat melihat hasil foto ini. Tapi aku nggak mau ini jadi kenang-kenangan terakhir kita,” lirihnya. Bahkan air mata saja rasanya sudah kering. Ia tak lagi bisa menumpahkan cairan bening itu dari matanya. Leyna sadar, hari sudah semakin sore. Namun - lagi, untuk ke sekian kalinya, makanan yang Ken siapkan untuknya sejak pagi tadi masih belum ia sentuh. Termasuk pesanan delivery yang Leyna yakin juga Ken yang memesannya, kini pasti masih bergelantungan di depan pintu apartemennya yang seharian ini belum ia buka. Leyna tak peduli. Perutnya bahkan sudah tak lagi bisa merasa lapar. Semua tenggelam dalam rasa sakit atas dukanya, hingga tak ada perasaan lain yang bisa ia rasakan. “Maaf. Ed, aku mohon jangan hukum aku seperti ini! Aku salah, aku akui aku kotor dan aku sudah mengkhianati kamu, bahkan dengan orang yang sangat kamu percayai. Aku salah atas semua itu. Tapi jangan seperti ini! Aku nggak bisa.” Suaranya bergetar sambil tangannya mengusap foto di mana dirinya dan sang kekasih tampak sedang di puncak kebahagiaan itu. “Aku benar-benar putus asa. Aku ngerasa bersalah banget sama kamu. Aku pengen jelasin semua langsung ke kamu. Aku pengen sama kamu, Ed. Tanpa kamu, aku bisa apa? Siapa lagi yang aku punya selain kamu. Cuma kamu, Ed, cuma kamu yang aku miliki, dan sekarang dengan teganya kamu malah ninggalin aku.” Orang tuanya? Bahkan mereka kini sudah memiliki kehidupan sendiri-sendiri, yang mungkin tidak ada Leyna di dalamnya. Leyna tak yakin mereka masih peduli padanya. Bahkan, hari terakhir pertemuannya dengan mereka pun hanya saat mereka datang ke pemakaman Edward. Dan setelahnya, keduanya tak lagi menampakkan batang hidungnya di depan Leyna - seolah lupa jika putri mereka sedang berduka. Ken? Keluarganya? Semua hanya sementara. Mungkin, saat ini Ken masih ada waktu untuknya. Mungkin orang tua Ken masih menjadi orang-orang yang paling peduli dengannya. Namun, tak lama lagi Ken juga akan merajut kisah baru. Ken akan menikah dengan Greisy, dan Mama Andini akan mendapat menantu perempuan yang bisa saja membuat perhatiannya pada Leyna akan teralihkan. Ya. Pada akhirnya, satu per satu dari mereka akan pergi, kan? “Enggak. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku benar-benar nggak bisa.” Leyna meremat bingkai foto pra-wedding-nya itu. Kemudian, ia berjalan dengan langkah bergetar ke arah nakas. Ia ambil sesuatu dari sana, yang mungkin bisa sedikit membuatnya lupa dengan dukanya. Jika duka ini membuatnya merasa kesakitan hingga nyaris hancur, bukankah seharusnya rasa itu bisa sedikit teralihkan saat Leyna memiliki luka yang lain? Benda tajam itu menari di lengannya, semakin lama semakin dalam, hingga ringisan mulai terdengar di sudut bibirnya bersamaan dengan tetes darah yang mulai membasahi lantai. Rasanya sangat menyakitkan. Tapi kenapa Leyna tidak puas? Dadanya masih terasa sesak. Rasa sakit atas kepergian Edward masih terus menyiksanya, jauh lebih menyakitkan dibanding luka di tangannya. Apakah Leyna memang tidak akan bisa sembuh dari luka itu? “Aku nggak bisa. Aku benar-benar nggak bisa, Ed! Kamu nggak bisa tinggalkan aku!” teriak Leyna, sebelum akhirnya ia menancapkan semakin dalam benda tajam itu pada pergelangan tangannya, membuat pakaian serta lantai di sekelilingnya berwarna merah dan beraroma anyir. *** Ken berdecak sebal. Greisy masih saja sulit ia hubungi. Dan ini bahkan sudah hampir seminggu lamanya mereka tak bertemu. Memang, wanita itu kadang masih mengangkat teleponnya dan membalas pesannya. Namun, selama satu minggu terakhir, itu sangat jarang terjadi. Mungkin bisa dihitung jari. Jika Leyna sedang sibuk dengan duka yang membuatnya begitu frustrasi, tak berbeda jauh dengan Ken yang kini sedang merasa frustrasi pula - tetapi, karena ia merasa dilemma dengan perasaannya. “Kamu kan cuma peduli sama Leyna. Aku tahu dia sedang berduka. Tapi kita juga mau nikah loh, Ken. Kamu nggak bisa luangin sedikit aja waktu kamu buat aku. Pagi sampai sore buat kerja, malam buat Leyna. Lalu aku apa? Bahkan gaun pengantin kita aja belum fix. Jas kamu juga masih belum kamu coba lagi, kan? Dan sekarang, jalan keluar kamu cuma mundurin tanggalnya? Kalau begitu, kenapa nggak dibatalin aja sekalian?” Ken memukul setir mobilnya. Andai bukan karena suara klakson dari kendaraan di belakangnya, lelaki itu mana sadar jika lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau? Dua hal yang sangat berharga bagi Ken - dua perempuan yang sangat ia sayangi, kini butuh kehadirannya. Katakanlah Ken gila dengan memilih lebih banyak menghabiskan waktunya untuk Leyna dibanding mengurus rencana pernikahannya bersama Greisy. Namun Ken bisa apa? Tak mungkin ia meninggalkan Leyna sendirian saat keadaannya seperti ini. Ia tahu Leyna. Perempuan itu sudah lebih dari cukup merasakan penderitaan selama hidupnya. Ken tahu sehancur apa dia. Terlebih, Ken juga menjadi salah satu penyebab hancurnya wanita itu. Lantas, bagaimana bisa Ken dengan tenang melanjutkan rencana pernikahannya dengan Greisy tanpa memikirkan Leyna? Ken buru-buru turun dari mobil. Ia menuju lift, lalu memencet angka delapan untuk menuju ke sebuah unit yang sangat familier baginya. Bisa dibilang, tempat itu seperti rumah ketiga baginya. Dan dua kali dalam sehari, ia selalu menyempatkan datang ke sini empat hari terakhir untuk memberi makan penghuni wanita di unit ini. Ken hanya bisa menghela napas lelah mendapati plastik makanan yang tergantung di depan pintu. Itu artinya, seharian ini Leyna masih belum mengisi perutnya. Lanjut ke dapur, semua masih sama. Makanan yang pagi tadi ia siapkan juga masih belum tersentuh. Ia menyalakan lampu satu persatu, membuat keadaan terasa sedikit lebih hidup. Lalu, ia menuang makanan baru yang ia bawa ke sebuah piring dan membawanya menuju kamar Leyna. “Ley, boleh aku masuk? Hari ini kamu sama sekali nggak menyentuh makananmu. Dan kamu tahu, kan, kalau sampai malam kamu masih nggak makan, aku akan tetap paksa kamu buat makan. Jadi, bisa tolong buka pintunya?” “...” “Jangan pura-pura tidak dengar. Buka, Ley! Kita makan di ruang makan. Atau kamu mau aku gendong seperti karung beras hanya buat ke ruang makan?” “...” Apakah Leyna tertidur? Itulah yang ada di pikiran Ken saat ini. Namun, rasa cemas semakin menggerogoti tubuhnya. Mengingat wanita itu belum makan sejak kemarin, bukankah tidak mustahil jika keadaan Leyna lebih buruk dibanding dengan tidur? Ken meletakkan asal makanan yang ia bawa di meja terdekat. Kemudian, ia buka pintu kamar Leyna dengan kasar. ia menekan tombol lampu agar ia bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam. Ya ~ sebelumnya bahkan tempat itu gelap gulita. Lampu tak dinyalakan, dan gorden yang belum terbuka sejak kemarin sore Ken menutupnya. Namun, melihat apa yang kini ada di depan matanya, Ken merasa seolah seharusnya ia tak pernah menyalakan benda penerangan apa pun itu di sini. Apa yang ia lihat, membuat ia hancur. Ia terduduk dengan wajah pucat dan air mata yang jatuh di kedua pipinya. Ken tak sanggup. Dadanya terasa ngilu dan kakinya lumpuh. Bagaimana tidak? Sahabat yang sangat ia sayangi itu kini terbaring tak berdaya dengan darah menggenangi sekelilingnya. Ken tahu Leyna sedang berduka dan ia harus menjaganya dengan ekstra. Namun ia tak tahu jika dua kali sehari ia mengunjunginya, ia masih akan kecolongan hal seperti ini. Leyna nya sudah benar-benar lelah. Jauh lebih lelah dari apa yang Ken bayangkan. Dan Ken, sekarang sepertinya mulai tahu sedalam apa sakit yang Leyna rasakan itu - perasaan yang sama persis dengan apa yang ia rasakan kini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN