Beritahuku Caranya Menerima

1379 Kata
“Untungnya Bapak segera membawa pasien ke sini, sehingga pasien belum kehilangan terlalu banyak darah. Jadi, pasien masih bisa terselamatkan dengan pertolongan pertama di klinik ini,” terang dokter yang baru saja menangani Leyna. Ken mengusap wajahnya penuh syukur. Setidaknya, tindakannya lebih memilih membawa Leyna ke klinik yang ada di seberang gedung apartemennya tidak salah. Awalnya ia memang sempat bingung akan membawa Leyna ke klinik atau langsung ke rumah sakit. Namun, mengingat luka yang Leyna miliki masih terus mengeluarkan darah, Ken akhirnya memilih tempat yang lebih dekat. Setidaknya, ia harus memastikan jika pendarahan terbuka itu lebih dulu berhenti sebelum menentukan tindakan lebih lanjut. “Jadi, menurut Anda, Leyna tidak perlu dibawa ke rumah sakit? Tapi tadi di kamar darahnya sampai berceceran. Anda yakin dia tidak sampai kekurangan darah? Tidak perlu menanganan medis yang serius?” tanya Ken dengan raut wajah yang kacau. Ia benar-benar takut akan terjadi hal yang lebih buruk pada Leyna jika ia sampai salah mengambil langkah. “Sebenarnya akan lebih baik jika ia dibawa ke rumah sakit untuk mendapat transfusi satu atau dua kantung whole blood. Apa Anda perlu bantuan untuk memanggil ambulance? Sebab sepertinya pasien sudah cukup stabil untuk dibawa pergi sekarang. Pendarahannya sudah berhenti,” kata dokter. Ken mengangguk. “Kalau begitu, tolong hubungi ambulance, Dok! Saya akan bawa dia ke rumah sakit malam ini juga!” “Enggak! Aku nggak mau.” Ken dan dokter menoleh ke arah brangkar tempat Leyna terbaring. Ternyata benar, wanita itu sudah kembali mendapatkan kesadarannya, meski wajahnya masih tampak begitu pucat. “Leyna …” “Aku nggak mau ke rumah sakit. Aku mau pulang aja,” kata Leyna. “Leyna, jangan keras kepala! Kamu butuh donor darah sekarang. Kamu baru aja melakukan hal paling bodoh yang bisa membahayakan nyawa kamu sendiri!” sentak Ken, tak bisa menahan emosinya. Entah bahasa apa lagi yang harus ia gunakan untuk bicara pada Leyna. Beberapa hari ini, ia sudah berusaha bersikap sabar, berusaha mengerti apapun yang diinginkan wanita itu. Namun, apa yang ia lihat malam ini? Keputusan Leyna benar-benar membuatnya kecewa. “Kamu nggak ngerti, Ken. Mungkin aku akan mati di tempat kalau kamu maksa aku ke rumah sakit sekarang. Kamu mau aku mati? Kalau begitu, bawa aku ke sana sekarang! Biar aku bisa sekalian bertemu dengan Edward dan-” “LEYNA, STOP!” bentak Ken. “Bisa nggak sih kamu berhenti mengucapkan dan mengatakan hal gila semacam itu? Kamu pikir Edward akan tersentuh mendengar kata-kata itu? Kamu pikir dia akan senang? Dia pasti marah, kecewa sama kamu. Bukan ini yang dia mau, Ley. Leyna yang dia cintai adalah wanita yang kuat, bukan perempuan lemah seperti ini.” Leyna menangis tanpa air mata. Tangannya yang lemah memegangi dadanya yang terasa sesak. “Aku bersalah sama Edward.” “Tapi nggak dengan cara bodoh seperti ini kamu harus menebusnya, Ley. Dengan kamu kayak gini, kamu cuma bikin semua semakin kacau. Sadar nggak sih, kalau apa yang kamu lakuin itu nyakitin orang lain? Kamu mikir nggak gimana perasaanku kalau aku sampai telat menemukanmu tadi? Kamu mikir nggak, kalau aku mungkin tidak akan bisa maafin diri aku sendiri kalau sampai hal lebih buruk terjadi sama kamu?” Tubuh Leyna bergetar. Ia bergerak lemah ke arah Ken, lalu memeluk laki-laki itu. “Kamu pengen aku menderita seumur hidup karena gagal pertahanin kamu? Kamu pengen aku menghabiskan sisa hidupku dengan perasaan penuh bersalah karena teledor ninggalin kamu sendiri?” Leyna menggeleng. Ia merasa bersalah pada Ken. Ia tahu bagaimana sakitnya kehilangan orang yang sangat ia cintai. Dan ia tak mau Ken merasakan hal yang sama - terlebih, juga menanggung rasa bersalah karena gagal menjaganya. “Maaf. Aku mohon maafin aku,” cicit Leyna. Ken terdiam. Tangannya bergetar kala ia mengangkatnya guna membalas pelukan Leyna. Rasa takut itu masih terus membayanginya. Rasanya seperti mimpi baginya saat ia berhasil mendekap tubuh mungil sahabatnya itu. Ia hampir saja kehilangan sosok itu dari hidupnya. “Sekarang aku nggak mau nurutin kamu lagi. Sekarang giliran kamu yang harus menurut, Ley. Kamu nggak bisa tinggal sendirian. Kalau kamu nggak kasih izin aku buat tinggal berdua di apartemen kamu, berarti mau nggak mau kamu harus ikut aku pulang ke rumah!” putus Ken. *** Pagi hari, Leyna dapat merasakan hangatnya sinar matahari yang masuk melalui jendela. Entah sejak kapan gorden kamarnya sudah terbuka. Dan saat ia menoleh, senyum hangat seorang wanita paruh baya langsung menyambutnya. Wanita itu - Ibu Andini mendekat ke arah tempat tidur Leyna lalu duduk di ujungnya. Leyna berusaha untuk duduk meski tubuhnya terasa begitu lemah. “Mama bikinin s**u buat kamu. Diminum, ya!” kata Ibu Andini sambil mengambil segelas cairan putih yang tadi ia letakkan di atas meja sebelum ia tinggal membuka gorden. “Mama? Kok aku bisa di sini?” bingung Leyna. Ia lupa detail kejadian semalam. Apalagi, ia akhirnya ketiduran di mobil Ken saat perjalanan menuju ke rumah lelaki itu. Dan … di sinilah ia berada saat ini. “Mulai sekarang, kamu akan tinggal di sini sampai semuanya kembali seperti semula. Mama sendiri yang akan jaga kamu. Oke?” Leyna terdiam. Termasuk saat Bu Andini membantunya meminum segelas s**u itu hingga tandas, Leyna melakukannya dengan pasrah tanpa memberontak. “Ken … Ken di mana?” tanya Leyna. Seketika ia teringat dengan laki-laki itu. Hal terakhir yang Leyna ingat tentang Ken semalam adalah, laki-laki itu marah besar padanya. Apakah Ken sudah memaafkannya sekarang? “Ken sudah berangkat kerja, Ley. Ini sudah hampir jam sembilan. Kamu mau makan sekarang? Atau mau Mama bantu buat bersihin badan kamu dulu? Mama udah siapin satu set pakaian buat kamu. Terus nanti, pakaian dan barang-barang kamu akan diantar ke sini,” tawar Bu Andini. Tubuh Leyna begitu lemah. Ia seperti orang yang kesadarannya belum kembali sepenuhnya. Ia tak mengingat dengan detail apa yang terjadi semalam. Namun, ia dapat mengenali dengan jelas, siapa yang ada di hadapannya saat ini. “Ma, boleh Leyna minta peluk? Leyna kedinginan, Ma. Rasanya sepi sekali, sakit … semua terasa sakit,” lirih Leyna. Bu Andini langsung membawa Leyna ke dalam dekapannya. Ia menangis tanpa suara melihat gadis kecilnya serapuh ini. Perempuan itu sudah menjadi bagian hidupnya sejak belasan tahun lalu. Bu Andini bahkan lebih banyak ambil andil dalam membesarkarkan dan menyaksikan pertumbuhan Leyna dibanding ibu kandungnya sendiri. Tak salah kan jika beliau merasa seperti memiliki ikatan batin yang sangat kuat dengan Leyna? “Mama di sini. Kamu nggak boleh merasa kesepian lagi ya, Ley! Ingat, kamu punya Mama, Papa dan Ken di sini. Kita akan selalu ada buat kamu. Kita nggak akan pernah biarin kamu sendiri,” ucap Bu Andini dengan suara bergetar. Seharian ini, Bu Andini berusaha mengajak Leyna mengobrol. Ia ingin Leyna bisa segera melupakan hal-hal menyakitkan yang datang bertubi-tubi dalam hidupnya akhir-akhir ini. Namun, beliau ragu jika hal itu berhasil. Leyna masih banyak terdiam. Senyumnya masih sulit untuk dikembalikan. Namun, Bu Andini tetap tak menyerah. Toh bukankah semua memang butuh waktu? Leyna menatap ke arah pintu saat mendengar suara benda itu terbuka. Tampak Ken berjalan masuk dari sana bersama sang ayah. Keduanya tampak mengobrol hangat hingga mereka menyadari keberadaan Leyna di ruang tamu. Pak Bayu menjadi yang pertama mendekat ke arah Leyna. Ia menepuk bahu Leyna dan menyapanya dengan hangat. “Anak Papa udah baikan?” “Udah dong, Pa. Mama yang jaga ini. Pasti Leyna nurut dong kalau sama Mama. Iya, kan, sayang?” sambung Bu Andini yang baru saja datang. Hati Leyna bergetar. Ia tak pernah benar-benar memiliki keluarga yang sehangat ini. Namun, pada akhirnya ia justru mendapatkannya dari keluarga Ken. “Papa nggak bawain oleh-oleh buat kami?” tanya Bu Andini. “Yah … Mama sama Leyna nggak pesen,” balas Pak Bayu. “Kamu Ken? Nggak bawa juga?” Leyna mendongak, menatap mata sahabatnya itu. Tanpa sengaja, tatapan mereka bertemu. Ternyata sejak tadi Ken juga tengah memperhatikan Leyna - tetapi segera memutuskannya setelah ia sadar jika Leyna menoleh padanya. “Ken nggak bawa, Ma. Besok-besok Ken bawain sesuatu,” jawab Ken. “Ma, Pa, Ken bersih-bersih dulu, ya?” pamit Ken - hanya pada kedua orangtuanya, meski jelas sekali ada Leyna juga di sana. Ada apa? Mungkinkah laki-laki itu masih marah pada Leyna? Leyna pikir, semua sudah baik-baik saja sekarang. Ia pikir, Ken akan kembali bersikap normal karena Leyna yang sudah meminta maaf dan mau tinggal di rumah ini sesuai keinginannya. Namun, kenapa Leyna merasa seolah Ken jadi dingin padanya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN