Tak Siap Kehilangan

1240 Kata
Benarkah Tuhan itu adil? Namun, mengapa derita yang selalu di dapat ketika hampir bahagiaku sudah depan mata? Itu salah satu pemikiran yang sedang memenuhi benak Leyna detik demi detik setelah takdir membawa Edward pergi dari hidupnya untuk selama-lamanya. Leyna berpikir begitu bukan tanpa sebab. Sejak kecil, lebih tepatnya lima belas tahun lalu, dia salah satu anak yang tak beruntung. Keinginan seorang anak biasa, impian memiliki keluarga utuh harus runtuh ketika mendapati kebencian demi kebencian yang orang tuanya saling tunjukkan depan matanya. Tidak mereka sadari bila kejadian tiap detiknya meninggalkan rasa sesak untuk Leyna yang menyaksikan. Hingga Leyna tak bisa berbuat apa-apa ketika akhirnya orang tuanya bercerai. Leyna hanya menanggung lukanya sendiri, bila pun menangis tidak depan orang tuanya. Kecuali depan Ken, sahabatnya. Ken tidak melakukan apa pun kala itu, selain duduk bersamanya, membiarkan Leyna menangis dibahunya. Lalu Ken memaksa Leyna ikut, menginap di rumahnya. Alasan ia juga lebih dekat dengan orang tua Ken dibanding orang tuanya sendiri. Kini, rasa sakitnya lebih-lebih dari yang pernah Leyna dapati. Tuhan kembali merebut harapannya pada kebahagiaan bersama kekasihnya. Impian pernikahan yang telah dirancang sedemikian rupa, bahkan setelah Leyna sulit untuk percaya cinta. Ya, hanya Edward yang berhasil mendobrak gunung es dalam hatinya. Perpisahan orang tuanya saat itu buat Leyna berpikir untuk hidup sendiri, tanpa cinta. Dia tidak butuh siapa pun dalam hidupnya, dia bisa cari uang sendiri, mencintai dirinya sendiri lebih baik dibanding memberi kesempatan seseorang hadir dan menyakitinya seperti yang dilakukan kedua orang tuanya dulu. Namun, Edward hadir dengan cara berbeda. Dia tak menyerah, hingga akhirnya Leyna yakin tak semua orang memiliki nasib seperti ayah atau ibunya, tidak setiap hubungan akan berakhir. Ada yang bisa bertahan seperti orang tua Ken. Sedikit keberanian yang diasah oleh ketulusan Edward akhirnya mampu mengembalikan kepercayaan Leyna akan cinta. Berhasil membuat Leyna melawan rasa takutnya. “Leyna,” panggilan lembut dari bibir Ken yang setia menemaninya buat Leyna baru sadar jika pria itu masih bersamanya. “Jangan siksa diri kayak gini,” Langit di luar sudah menggelap, hujan mulai reda. Tetapi, Leyna tidak beranjak dari posisinya. Ia lakukan sepanjang hari hanya menangis, melamun, menangis lagi. Kenzo sangat cemas, apalagi Leyna belum makan sedikit pun. “Kamu pulang saja,” kata Leyna. “Nggak, aku tetap di sini.” Ken tidak ingin beranjak barang sedikit pun dari sahabatnya. Ia takut Leyna pingsan. “Jangan keras kepala, Ken. Aku mau sendiri!” Leyna bicara seolah ia tidak lebih keras kepala darinya. Kenzo menghela napas dalam-dalam, “aku akan pergi kalau kamu sudah makan.” Dia coba negosiasi dengan Leyna. Leyna yang semula hanya menatap sudut ruangan itu, akhirnya menoleh pada Ken. “Aku nggak lapar,” tolaknya. “Kondisi kamu memang lagi tidak ingin makan, tetapi harus dipaksa—“ “Kamu nggak ngerti apa yang aku rasa!” “Aku ngerti, Leyna.” Leyna menolak sentuhan tangan Kenzo. Itu membuat sahabatnya menghela napas dalam-dalam, “Leyna,” Dia menoleh, memberi tatapan kesal pada Ken. “Aku mau sendiri, kamu nggak paham-paham?” Ia yakin hanya akan menyulut perdebatannya. “Makan dulu, aku suapi ya?” Kenzo tetap lembut, tahan sekali dengan sikap Leyna. Tidak mendapat jawaban Leyna, akhirnya Ken berinisiatif, “aku akan ambilkan untukmu, bawa makanannya kemari.” Dia Leyna dianggap Ken persetujuan, dia segera bergegas keluar. Membawa makanan yang sudah dia siapkan. Ken sengaja menyiapkan makanan favorit Leyna, berharap temannya mau makan dengan lahap. Ia ambilkan satu nasi dengan bakwan jagung, lalu sup iga favoritnya. Ken tidak masak banyak, hanya untuk Leyna. Dia sendiri tadi sudah makan duluan saat menunggu Leyna bangun. Ken dengan semangat membawa nampan berisi makanan itu ke dekat Leyna. Ia menarik napas dalam-dalam saat Leyna duduk menarik kedua kakinya, menenggelamkan lagi wajahnya ke sana. “Ley, aku sudah bawa makananmu. Lihat, uhm... aromanya enak begini, makanan favorit kamu.” Ken berujar dengan semangat. Leyna tidak bergerak sama sekali, tetap diposisi sama. Ken membawa nampan itu mendekat, tetap menunjukkan makanan itu ke hadapan wajah Leyna. “Ley—“ Satu dorongan impulsif nan sedikit kasar justru menyentaknya, hingga nampan di tangan Ken terlepas dan berhamburan berantakan di lantai. Tindakan Leyna kali itu membuat Ken habis kata. Leyna hanya menatapnya dengan sorot kesal, tak merasa bersalah sama sekali. “Apa yang kamu lakukan, Ley—“ “Itu karena kamu nggak paham sama ucapanku! Aku bilang, aku nggak lapar dan kamu bisa pulang!” “Aku begini karena peduli padamu!” “Aku gak butuh peduli siapa pun saat ini! Hidupku memang menyedihkan!” Jika pria lain diposisi ken pasti sudah mengamuk, tersinggung usahanya tidak dihargai sama sekali malah dapat sikap kasar Leyna. “Jangan karena Edward minta kamu menjagaku, kamu bersikap begini. Urusi hidupmu sendiri, Ken!” “Jadi kamu berpikir sikapku begini karena pesan Edward?” tanyanya, “Enggak Ley, demi Tuhan... meski Edward gak memintanya, aku memang akan bersikap begini. Menjaga kamu. Aku peduli padamu—“ Leyna menyeka air matanya, “menjagaku bagaimana Ken? Apa kamu lupa yang sudah kamu lakukan?” Ken tertampar oleh kalimat Leyna yang menyinggung perbuatan mereka. Kesalahan satu malam. “Apa kamu nggak merasa malu huh? Sama perbuatan kita, bahkan sekarang... rasa bersalah terbesarku ini karena telah menghianati Edward! Dan semua itu nggak akan terjadi kalau kamu gak melakukannya!” Dia menatap nyalang Ken. “Ley—“ “Keluar!” Leyna mendorong Kenzo, untuk meninggalkannya. Kenzo tahu usahanya hanya akan sia-sia. Membujuk Leyna yang tengah kalut, marah tidak akan berguna selain menimbulkan masalah yang kian besar. “Oke, aku akan pulang. Setelah membereskan makanan yang terbuang sia-sia ini.” Kenzo merapikannya segera, membersihkan bekas kuah yang tumpah di lantai. Leyna pikir Kenzo langsung pulang, begitu pintu tertutup, tangis Leyna kembali pecah. Kenzo berdiri depan pintu, memejamkan mata dan saat mendengarnya, ia merasa sesak menggantung dalam ruang dadanya. Kenzo menunduk menatap nampan yang berisi makanan tak lagi layak di makan karena sudah jatuh dan berantakan. Kenzo menuju dapur, mencuci piring-piring itu setelah terpaksa membuang makanannya. *** Leyna berhenti menangis, tepat merasakan apartemennya sudah sangat sepi. Dia yakin Kenzo tidak ingin memancing marahnya lebih lagi. “Ken pasti sudah pergi,” Baginya lebih baik Ken tidak terus-menerus di dekatnya, bila dulu Ken sangat ia butuhkan, jadi tempat bersandar. Kini ada perasaan yang membuat hati Leyna kian sakit dan tidak karuan. Lebih tepatnya merasa bersalah pada Edward, teringat kesalahannya dengan Ken. Jadi Leyna merasa jauh lebih baik tanpa Ken. Dia merasakan tenggorokan dan mulutnya kering, Leyna segera berdiri. Keluar kamar. Niat untuk ambil minum, ia malah mendapati dapur sederhananya rapi, lalu atensinya pada meja makan. Ada tutup saji putih berukuran kecil miliknya di sana. Leyna mendekat, mengangkatnya. Ada sepiring nasi goreng lengkap dengan telur ceplok setengah matang kesukaannya dengan taburan bawang goreng yang banyak. Pasti Ken sengaja meninggalkan makanan tersebut. Ada kertas memo merah muda yang tertempel di meja, tepat samping piringnya. Aku nggak bisa mengembalikan apa yang sudah hilang dari kamu, Ley. Hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku tetap nggak akan nyerah buat selalu jaga kamu, meski tanpa Edward minta atau pun kamu menolakku. Makan, jangan buang-buang makanan lagi. Untuk menangis pun kamu butuh tenaga. ~Ken... Leyna terduduk lemas, menatap nasi goreng itu. “Kenapa kamu lakukan ini sih, Ken?” Leyna jadi merasa sedikit bersalah telah bersikap kasar tadi. Ia menarik piring itu, ragu tetapi tetap mengambil satu suapannya. Perutnya terasa perih juga lama-lama. Air matanya kembali luruh, rasa makanan yang masuk ke mulutnya terasa lebih asin karena bercampur dengan air matanya. Punggung Leyna kian terguncang, Ken benar jika untuk menangis pun ia butuh tenaga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN