Duka Mendalam

1530 Kata
Harusnya dia sedang menunggu hari bahagianya. Harusnya dia sedang tertawa menyambut suka cita. Hubungan baru. Tapi, semesta tidak memenuhi ekspektasi hari bahagia yang Leyna Cerise tunggu dan impikan. Dia berdiri dengan tatapan kosong, tapi air mata jatuh mengalir deras membasahi pipi. Merasakan sebuah rangkulan. Di dekapnya foto tersebut. Erat. Mencengkeram sisinya, bisa-bisa meretakkan kaca dan melukai tangan. Leyna tidak peduli, sungguh. Yang dia inginkan kalau bisa mengubah segala yang dilihatnya, menjadi tidak nyata. Hanya mimpi buruk yang menakutkan dan ketika bangun segalanya berlalu begitu saja. Gerimis menghantar kumpulan orang-orang di sana menyaksikan proses manusia kembali ke tempatnya di ciptakan. Tanah yang basah. Kebaya putih, pakaian impian yang harusnya di kenakan pada hari bahagia, pernikahan mereka, bisa bersanding di pelaminan dan menyatukan cinta mereka, justru Leyna berdiri tidak berdaya, berbaju serba hitam. Kerudung tersampir di kepalanya. Bibirnya kering, mukanya begitu pucat. Ditatapnya kain putih yang membungkus tubuh kekasihnya, terakhir tanah menutup dan memisahkan mereka untuk selama-lamanya. Sampai lubang itu tertutup, tanah menggunung. Papan nama di tancapkan di bagian atas. Keluarga mulai menebarkan bunga. Foto di genggamannya di minta, berpindah tempat bersandar di dekat papan nama. Tangis kepedihan menjadi latar. Melepas orang terkasih. Saat itu lah Leyna tidak sanggup lagi menahan getar di kakinya. Tak ada lagi kekuatan menahan bobot tubuhnya. “Edward...” bisiknya lirih. Memanggil nama kekasihnya, tapi, tidak ada yang akan menoleh, menanggapi dan memberi senyum terbaiknya. Air matanya tumpah, Leyna berjongkok. Tangannya mengambil segenggam tanah dengan erat. “Kenapa kamu meninggalkan aku seperti ini.. Edward?” lirihnya. Hatinya begitu sakit, sesak. Begitu dalam luka hatinya. Entah bagaimana Leyna meyakini hatinya untuk menerima bila kekasihnya meninggalkan dia untuk selama-lamanya. Seluruh orang yang berada di sana melihat wanita itu, ikut menambah duka. Termasuk Kenzo Alfarizi. Sang sahabat Leyna yang ikut mengantar Edward ke tempat peristirahatan terakhir. Ken ketika melihat wajah Leyna begitu berbeda, darah terlihat surut. Lalu mata Leyna mulai menutup, Ken dengan sigap menangkap tubuh Leyna. “Leyna!” teriak Ken, membuat semua orang berpusat pada kekasih yang ditinggalkan, terpisahkan oleh maut. “Bawa dia Ken!” perintah keluarga di sana. Ken sigap membawa Leyna. Orang-orang memberi jalan. Langkah Ken lebar dan cepat, Ibu Leyna mengikuti. Ken sejenak menatap wajah wanita yang sedang tidak sadarkan diri tersebut. Sekian lama berteman dengan Leyna. Ini kedua kali Ken melihat Leyna begitu menyedihkan, rapuh. Yang pertama adalah perceraian orang tuanya yang terjadi lima belas tahun lalu dengan Ken selalu ada untuk Leyna. “Jangan tinggalkan aku...” gumam wanita itu, terdengar di antara tidak sadarnya. Ken mengeratkan tangannya, membuat Leyna bersandar padanya. “Nggak, Leyna.. aku janji gak akan membiarkan kamu melewati ini sendiri.” Seperti janjinya pada Edward di detik-detik lelaki itu menghembuskan napas terakhirnya. Edward meminta Ken menjaga Leyna. Seperti dulu Ken menemani Leyna menghadapi kenyataan tentang orang tua Leyna yang berpisah, Ken juga akan menemani Leyna melewati masa sulit kehilangan cintanya. *** “Pulang ke rumah kami, ya! Mama nggak tega biarin kamu tinggal sendirian saat seperti ini. Kamu butuh teman, Ley!” ajak Bu Andini, sambil memegangi bahu perempuan bermata sembab di hadapannya. “Atau kamu bisa pulang sama Papa. Kamu bisa menginap untuk dua atau tiga hari ke depan. Biar Papa yang bicara sama mama tiri kamu. Gimana?” tawar Pak Anton - ayah Leyna yang kini telah memiliki keluarga baru. Leyna menggeleng untuk dua tawaran tersebut. “Leyna butuh waktu buat sendiri.” “Ley, waktunya nggak tepat. Kamu harus ada temannya. Sebaiknya kamu pilih. Mau tinggal sama Om Anton, atau kami?” desak Ken. Ia merasa bertanggung jawab penuh atas wanita itu. Bukan hanya atas kepergian dan amanah Edward, tetapi juga atas apa yang ia lakukan malam itu, yang tanpa sengaja membuat hubungan ini menjadi rumit. “Aku nggak mau, Ken. Kamu ngerti nggak sih? Aku lagi nggak mau ketemu sama siapa-siapa. Aku cuma mau sendirian. Bisa kamu ngertiin itu?” sentak Leyna. Ia merasa ingin dimengerti. Saat ini, perasaannya begitu kacau. Tinggal bersama orang lain hanya akan membuatnya merasa serba salah. Karena mungkin, untuk beberapa waktu ke depan ia tidak akan bisa menunjukkan sisi seperti Leyna pada umumnya. Bu Andiri mengusap lengan putranya. “Nggak apa-apa. Gimana caranya, nanti kamu atur waktu buat bisa ngecek Leyna di apartemennya, ya! Satu atau dua kali sehari, kamu lihat dia sambil antarin makanan masakan Mama ke dia.” Ken mengangguk. Kemudian, ia mengajak Leyna untuk masuk mobilnya. Ken berniat langsung mengantar pulang sahabatnya itu karena hari yang sudah semakin sore. “Mau mampir makan dulu?” tawar Ken, saat mereka semakin dekat dengan kedai makanan langganan mereka saat kuliah dulu. “Kamu gila?” bentak Leyna. Ia benar-benar dalam keadaan tak bisa diajak mengobrol oleh siapa pun. Ya. Sepertinya dia benar-benar butuh waktu buat sendiri. “Ya udah, kita langsung ke apartemen kamu. Nanti biar aku balik lagi bawain kamu makanan dari luar, sekalian ganti isi kulkas kamu,” ujar Ken. Untungnya pria itu memiliki stok sabar tak terbatas untuk Leyna. “Nggak perlu,” tolak Leyna, tanpa sudi menoleh ke orang yang mengajaknya bicara. “Bodo amat. Nanti aku tetap bakalan balik lagi buat bawain makanan sama isi kulkas kamu,” ucap Ken dengan nada menyebalkan, membuat Leyna berdecak sebal. Sampainya di basement apartemen Leyna, wanita itu langsung turun dan meninggalkan Ken tanpa mengucap sepatah kata pun. Ken menghela napas panjang, “Ley, aku belanja bentar, ya!” Dan Leyna masih enggan menyahut. Ia tetap berjalan menuju lift untuk naik ke unitnya yang berada di lantai atas. Setibanya di apartemen, Leyna pergi ke dapur. Ia meneguk segelas air hingga tandas, sebelum akhirnya pergi ke kamar. Di dalam ruangan berukuran dua belas meter persegi itu, akhirnya tangis memilukan itu kembali pecah. Ia menangis histeris sembari memegangi dadanya yang terasa sesak. Bukankah sesuatu yang sangat memilukan, saat kita harus kehilangan orang yang sangat kita cintai? Terlebih, dia pergi di hari yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. “Kenapa kamu harus pergi, Ed?” “Kenapa harus secepat ini?” “Bagaimana denganku? Bagaimana dengan pernikahan impian kita? Kenapa kamu tega ninggalin aku sendiri seperti ini?” “Bahkan, saat aku belum sempat mengakui dosa besarku padamu. Ed, aku minta maaf. Tolong jangan hukum aku dengan cara seperti ini! Aku benar-benar mencintaimu. Jangan tinggalin aku, aku mohon!” *** Ken terkejut mendapati Leyna tertidur di lantai. Wajah wanita itu pucat - tentu saja, mengingat bagaimana Leyna tak tidur dan istirahat sejak kemarin. Wanita itu terus menangis selepas sadar dari pingsan. Ia enggan makan. Bahkan minum pun tidak. Dengan melihatnya saja, Ken tahu jika wanita yang merupakan sahabat terbaiknya itu benar-benar hancur atas kepergian Edward. Ken tahu, betapa besar cinta Leyna untuk lelaki itu. Perlahan, Ken mengangkat tubuh Leyna, memindahkannya ke kasur. Ia bingung harus berbuat apa. Ia tidak tega untuk membangunkan Leyna. Namun, biar bagaimana pun Leyna juga harus makan. “Ley, are you hear me? Makan dulu, yuk!” Ken menepuk lengan Leyna pelan. “Leyna …” Leyna menggeliat lemah. Perlahan, mata sembab itu terbuka. “Edward di mana, Ken?” “Please, let him go! Jangan bikin dia sedih dengan harus melihat kamu seperti ini, Ley! Dia nggak akan kembali meski kamu nangis darah sekali pun. Ikhlasin dia!” balas Ken. Leyna yakin tidak akan semudah itu merelakan Edward. Leyna menggigit bibir bawahnya. Namun, dengan jemarinya, Ken membantu benda kenyal itu untuk terlepas dari siksaan pemiliknya. “Stop nyakitin diri kamu sendiri! Edward nggak akan suka.” “Tapi dia bahkan nggak peduli sama aku. Dia nggak mau bertahan meski aku memohon, meski dia tahu kalau aku nggak bisa hidup tanpa dia,” isak Leyna. Ken cepat-cepat membawa Leyna ke dalam dekapannya. “Edward jahat, Ken. Dia bikin aku nangis. Dia bikin aku hancur. Dia ninggalin aku sendiri. Aku cinta banget sama dia, tapi dia bahkan nggak peduli sama aku.” “Sssttt …” Ken mendekap erat wanita lemah itu, seolah menyalurkan kekuatan padanya agar wanita itu bisa segera bangkit dari terpuruknya. “Kalau Edward nggak peduli, dia nggak akan berusaha membuka matanya di detik-detik terakhirnya cuma buat say goodbye ke kamu, Ley. Itu pasti sangat menyakitkan baginya. Dia berjuang keras supaya dia bisa bicara sama kamu, supaya dia berpesan ke kamu agar kamu tidak terlalu terpuruk atas kepergiannya. Sepeduli itu dia sama kamu. Secinta itu dia sama kamu.” “Tapi dia tetap pergi,” lirih Leyna. Kembali terisak, air matanya seolah tak pernah habis meski terus-menerus menangisi tunangannya yang telah tiada. “Kepergiannya ini bukan atas kemauan dia, Ley. Andai bisa memilih, aku yakin Edward pasti masih ingin terus di samping kamu dan bahagiain kamu. Tapi ini jalan takdirnya. Waktunya di dunia ini sudah habis, dan dia tidak bisa melawan takdir yang telah digariskan itu,” terang Ken. Ia mengurai pelukannya untuk bisa melihat wajah Leyna yang kini tampak kacau. “Kamu tahu kan, hidup mati manusia bukan berada di tangan kita. Semua sudah tertulis bahkan sejak sebelum kita lahir. Dan inilah takdir Edward, Ley.” Leyna hanya menatap kosong. "Enggak ada yang pernah siap kehilangan, Ley. Namun, kita manusia biasa yang gak bisa menolaknya. Kehilangan bagian dari kejadian yang pasti terjadi dalam hidup kita." Ken terus mencoba membuat Leyna tegar, meski sendirinya pun tahu tidak akan semudah itu. Ken juga merasa takut, kali ini Leyna tak akan kuat dan asa menjalani hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN