Setelah kepergian Aryo, orang tua Riana masih duduk di tempat mereka. Keduanya merasa tertampar dengan ucapan Aryo. Memang benar, tidak seharusnya mereka menyalahkan Aryo saja, karena mereka berdua pun turut andil terbesar dalam memberikan luka di hati Riana.
Dena yang baru saja bangun dari tidurnya menghampiri kedua orang tuanya yang duduk termenung di ruang keluarga. “Tumben Ayah jam segini belum berangkat ke kantor. Biasanya, kalau Ayah tidak pergi bekerja, Ayah itu sedang sakit. Apakah Ayah sakit?”
Suwito menolehkan wajahnya ke arah Dena dan memberikan senyuman untuk putri sulungnya itu, “Ayah tidak sakit, hanya saja Ayah sedang tidak semangat untuk pergi bekerja. Adikmu, Riana kabur dari rumah dan tidak tahu ke mana tujuannya sekarang ini.”
“Mengapa Ayah harus memikirkan anak yang tidak tahu diri itu sih, biarkan saja ia menghilang daripada menyusahkan kita saja.”
Wati, menolehkan wajahnya ke arah Dena dan menggelengkan kepalanya, “Apakah kamu tidak mempunyai rasa sayang sedikitpun kepada adikmu itu?, tidakkah kamu merasa khawatir dengannya yang berada di luar sana, jauh dari rumah. Apakah kamu tidak khawatir, bagaimana adikmu tidur dan makan?”
Dena mengambil tempat untuk duduk di depan kedua orang tuanya. “Mengapa kita harus memusingkannya, dia yang minggat saja tidak berpikir apakah dengan minggatnya ia akan membuat kita menjadi cemas dan mengkhawatirkannya. Lagipula, kalau ia minggat, berarti ia sudah memikirkan segala sesuatunya bukan? dan kalau ia mendapat celaka itu karena ulahnya sendiri.”
Suwito menarik napasnya, ia pun bangkit berdiri. Ia akan mencoba mencari di seputaran tempat tinggal mereka barangkali saja ada yang melihat kepergian Riana.
Suwito mengambil kunci mobilnya di atas meja dan berjalan ke luar rumah. Ia perlu mengambil udara segar, sekaligus mencari keberadaan Riana. Suwito mengemudikan mobilnya dengan kecepatan pelan, sesekali ia akan berhenti untuk bertanya kepada beberapa orang yang dilihatnya, apakah mereka melihat seorang gadis dengan ciri-ciri seperti Riana.
Tak satupun orang-orang yang ditanyainya melihat Riana dan hal ini membuatnya merasa lelah dan kecewa. Meski ia tidak pernah berlaku baik, kepada putrinya tersebut, akan tetapi bukan berarti ia tidak peduli dan tidak memperhatikan keadaan Riana.
Di lain tempat, Riana merasa senang karena sudah mendapatkan pekerjaan, meskipun belum 100 persen akan diterima, tetapi setidaknya ada harapan baginya akan diterima bekerja. Riana masuk ke dalam kamarnya dan mengistirahatkan badannya yang sudah mulai membaik, biar besok ia sudah bisa mulai bekerja dalam keadaan badan yang sudah benar-benar dalam keadaan fit.
Esok harinya, Riana sudah siap untuk datang ke kafe dan memulai hari pertamanya bekerja. Ia mengenakan celana panjang dan juga kemeja. Di bukanya pintu kamarnya dan berjalan menuju ke bagian resepsionis. Ia melakukan satu kesalahan yang lumayan fatal, ia lupa menanyakan alamat kafe milik Jaka.
“Pagi, Mbak!” Sapa Riana kepada Tantri. “Saya kemarin lupa bertanya di mana alamat kafenya pak Jaka, apakah Mbak tahu?”
Jaka yang kebetulan saja baru ke luar dari rumah utama dan berjalan melewati meja resepsionis, segera dihentikan oleh Riana. “Tunggu Pak!” Riana berjalan tergesa-gesa ke arah Jaka. “Maaf Pak, Saya lupa bertanya di mana alamat kafe Bapak?”
“Dasar ceroboh, untung saja kita bisa sesewaktu bertemu. Bagaimana kalau kita tidak bertemu, hilanglah kesempatanmu untuk bekerja.” Tegur Jaka kasar.
“Iya Pak, Saya akui saya memang kemarin ceroboh, karena saking senangnya mendengar diterima bekerja, sampai lupa menanyakan alamat kafe Bapak.”
“Kamu ikut Saya, kebetulan Saya mau singgah ke kafe sebelum berangkat ke kampus.”
“Wah, hari ini Saya benar-benar beruntung.” Kata Riana dengan mata yang berbinar-binar senang.
“Keberuntungan bagimu, kesialan bagi Saya, karena harus membawa kamu naik mobil Saya.”
Riana langsung menolehkan wajahnya ke arah Jaka, “Kalau Bapak merasa keberatan Saya ikut mobil bapak, Saya akan naik angkot saja, asalkan Bapak mau memberikan alamat kafe Bapak.”
“Jangan banyak drama, Saya bilang kamu ikut Saya, itu berarti kamu ikut Saya. Sekarang ayom cepat. Saya tidak mau sampai terlambat nanti.”
Riana pun berjalan dengan setengah berlari mengikuti langkah panjang Jaka. Ia duduk di depan di sebelah Jaka. Belum selesai Riana memasang seatbelt, Jaka sudah melajukan mobilnya dengan kencang, tetapi Riana tidak berani protes dan memancing kemarahan Jaka.
Riana mengingat nama-nama tempat yang dilaluinya menuju ke kafe Jaka. Satu jam kemudian, sampailah mereka di sebuah kafe yang terletak di tengah kota. Kafe tersebut, memang buka-nya pada jam 5 sore hari, akan tetapi pada pukul 14.00 siang, akan tetapi sebagian karyawannya sudah mulai datang puku 10 pagi untuk mempersiapkan keperluan kafe.
Riana pun turun dari mobil, mengikuti Jaka. Mereka masuk ke dalam bangunan dengan bangku-bangku yang masih disusun terbalik di atas meja. Jaka mengajak Riana menuju ke kantor dan menemui manajer kafe.
Riana melihat seorang pria muda yang tengah bermain dengan kalkulator dan buku catatan. Jaka mengetuk pintu, memberitahukan kehadirannya kepada pria muda tersebut. Pria itu pun mendongak dari catatanya dan melihat kalau yang mengetuk pintu adalah bos nya. Ia pun meletakkan kalkulator yang dipegangnya ke atas meja.
“Pagi, Bos!. Maaf, tadi tidak mendengar kedatangan Bos.”
“Santai saja.” Sahut Jaka, sambil duduk di depan meja kerja Jaka dan diikuti oleh Riana. “Ini namanya Riana dan ia akan menjadi karyawati kafe di sini.” Terang Jaka.
Riana menundukkan wajahnya, ia merasa gugup. Telapak tangannya basah oleh keringat. Ia tidak tahu, apakah ia akan mendapatkan perlakuan yang baik atau buruk dari mereka semua
Jaka mengingatkan kepada Riana, untuk mengangkat wajahnya. Riana pun mengangkat wajahnya dengan ragu.
“Siap Bos, Saya akan menerimanya bekerja di sini dan ia akan mendapat perlakuan yang sama, seperti karyawan lainnya. Meskipun ia merupakan orang rekomendasi dari Bos sekalipun.”
“Tentu saja, tidak ada istilahnya pegawai istimewa di kafe Saya. Sekarang, Saya mau permisi dahulu, Saya harus berangkat ke kampus.”
Jaka kemudian berdiri dan sebelum ke luar dari kantor sang manajer, ia berkata kepada Riana, “Soal pulang nanti, ia tidak perlu khawatir, karena meski pulang malam sekalipun tidak akan ada yang sudi menculik dirinya.”
Riana hanya bisa terdiam, ia belum berani melawan Jaka, karena posisinya masihlah rentan. Ia belum lagi diterima secara resmi bekerja di kafe milik Jaka.
Begitu pintu ruang kerja sang manajer tertutup, Riana mengalihkan kembali tatapannya kepada pria muda yang berada di hadapannya ini.
Pria itu mengulurkan tangannya ke arah Riana, “Perkenalkan nama Saya Tomi dan saya adalah manajer di kafe ini.”
Riana menerima uluran tangan Tomi, ia pun memperkenalkan dirinya sendiri. Setelah berkenalan, Tomi pun mengatakan kepada Riana untuk tidak memasukkan ke dalam hati ucapan Jaka, karena bos mereka itu biasanya tidak berlaku seperti itu, terlebih lagi kepada pegawai baru.
“Iya, Saya mengerti Pak. Saya menganggap pak Jaka tadi hanya bercanda saja.”
“Syukurlah, kalau begitu.” Tomi, kemudian menyebutkan tugas yang harus dilakukan oleh Riana. Mulai besok ia akan masuk pukul 10 pagi untuk mempersiapkan keperluan kafe dan ia masih perlu belajar dengan melihat karyawan yang sudah lama bekerja.
Tomi kemudian mengajak Riana untuk ke luar dari ruangannya, setelah menutup pintu kerja, Tomi menguncinya, “Banyak rahasia di ruangan Saya, tidak sembarang orang boleh masuk.” Kata Tomi bercanda.
Riana tersenyum mendengarnya, ia merasa beruntung mendapatkan atasan yang ramah, seperti Tomi. Riana di bawa menemui seorang wanita, yang usianya dua atau tiga tahun di atas Riana.
“Pagi, Jen!. Kita mendapatkan tambahan amunisi baru, namanya Riana. Kamu bisa memberikan contoh dan mengajarinya bagaimana bekerja di sini dan tolong kamu berikan seragam kerja untuknya.”
“Siap, Bos. Wah, setelah sekian lama menunggu, akhirnya kita mendapatkan juga tambahan amunisi, senang sekali. Selamat datang Riana, di kafe Jingga, semoga kamu betah berada di sini dan merasa nyaman berkumpul dengan kami semua. Di sini kita seperti keluarga besar, tidak ada yang merasa lebih lama dan senior dari yang lainnya. Kita satu kesatuan, kalau pengunjung banyak, maka bonus kita juga akan banyak. Itulah sebabnya kita saling bekerjasama demi kesejahteraan kantong.” Kata Jenny, sambil bercanda.
Riana dan Tomi tertawa mendengarnya. Riana benar-benar merasa diterima berada di sini, suatu keadaan yang tidak pernah ditemukannya di rumah. Riana mengerjapkan matanya, menahan air matanya yang hampir menetes, karena kalau mengingat rumah, hatinya akan kembali merasa sedih dan sakit.
Riana diajak masuk ke sebuah ruangan untuk berganti pakaian dengan seragam kafe. Setelah berganti pakaian, Riana pun diberikan jadwal harian yang dilakukan secara bergantian. Riana mendapatkan jadwal harian membersihkan ruangan kafe bersama dengan Jenny. Ia juga mendapatkan jadwal bersama Jenny kembali pada malam hari untuk melayani pengunjung kafe.
Jenny mengatakan kepada Riana, kalau tidak setiap hari mereka datang pada pukul 10 pagi, tetapi bergiliran. Setiap orang diminta untuk mengingat jadwal kerjanya masing-masing dan kalau ia berhalangan hadir, maka ia bisa minta gantikan dengan rekan kerja yang lainnya.
Dengan sedikit ragu, Riana bertanya kepada Jenny, apakah ia mengetahui kos-an atau rumah yang kosong dengan harga yang murah, karena saat ini ia masih tinggal di penginapan dan tidak mungkin selamanya ia tinggal di penginapan.
“Wah, kebetulan sekali. Aku sedang mencari teman satu rumah untuk berbagi ongkos sewa, karena temanku yang sbelumnya sudah menikah dan ia ikut suaminya.”
Riana menatap tidak percaya, “Benar-benar sebuah keberuntungan, sudah berpasangan dengan kakak di tempat kerja, sekarang malah mendapatkan tawaran berbagi sewa rumah dengan kak Jenny juga. Terima kasih, Kak Jenny, eh maaf, bolehkan aku panggil kakak?” Tanya Riana sedikit malu, karena seenaknya memanggil kakak tanpa meminta ijin terlebih dahulu.
“Jangan khawatir, Saya tidak keberatan kamu panggil Kakak, kok!. Tenang saja dan semoga kita bisa menjadi rekan kerja yang solid dan teman satu rumah yang baik.”
Riana pun berganti pakaian dengan seragam untuk bekerja dan kemudian ia menyusul Jenny menuju ke ruang utama kafe untuk bersih-bersih. Riana merasa bersemangat memulai hari baru, ia berdoa, awal bekerjanya dimulai dengan baik dan lancar, semoga saja selamanya akan begitu dan tidak ada lagi yang akan membuat air matanya tumpah dengan sia-sia.