Sunshine's POV
Tidak mungkin….
Aku tidak mungkin baru saja menyembur air ke wajah lelaki itu...
Ke wajah Hail-to-Lucifer!
Aku tidak bisa bernapas. Tidak bisa berpikir.
Hanya diam di sana, dengan mulut menga-nga dan mata yang nyaris keluar. Memperhatikan sosok lelaki di depanku.
Wajahnya basah ketika ia menoleh padaku. Mata hitamnya terlihat sangat gelap dan tajam, seolah ingin membunuh.
“Apa-apan kau ini?!” Ada amukan kemarahan dari suaranya.
Dengan kasar, ia membersihkan wajahnya dari air liurku dengan kaos hitam yang sedang ia kenakan. Otomatis, memperlihatkan otot-otot perut yang dihiasi tatto di kedua sisi rusuknya.
Aku masih diam, terlalu tertegun untuk berbicara.
Ini tidak mungkin terjadi.
Ini tidak nyata.
Lalu dia tidak lagi di depanku. Pria itu mulai berjalan, ke suatu arah. Langkahnya besar dan cepat. Hanya seketika, tubuhnya menghilang dari balik keramaian.
Aku melompat turun dari kursi bar, begitu nyawaku kembali. Berjalan cepat ke arah lelaki itu pergi. Tatapanku hanya tertuju pada satu titik, tekuk pria itu yang terlihat dari balik kerumunan.
Dia sangat tinggi dan itu mempermudah untuk menemukannya. Tapi keramaian mempersulit diriku untuk mencapainya.
Tubuh besarnya hilang sepenuhnya ke balik pintu toilet Club, ketika aku baru saja terbebas dari kerumunan.
Sial.
Tidak ada pilihan lain.
Aku menggedor pintu toilet dengan keras.
“Ada orang di dalam sini!” Sahut suara serak itu.
Aku menggedor semakin keras—sangat keras hingga tanganku mulai sakit. Aku menggedor pintu itu berulang kali, tidak peduli jika aku akan melukai kulit tanganku.
Pintu terbuka dengan kasar dan pria itu menatapku tajam.
“APA MAUMU?!” Dia berteriak tepat di depan wajahku.
Aku semakin tidak bisa berpikir. Sebelum otakku bisa memproses, jemariku bergerak lebih dulu untuk mendorong pria itu dan masuk ke dalam bilik toilet sempit bersamanya. Jantungku menggebu kencang ketika aku membanting pintu di belakangku.
“HEY, APA KAU SUDAH GILA?!”
Aku tidak peduli jika aku terlihat seperti perempuan gila—hell, aku bahkan tidak peduli jika lelaki ini bisa saja pembunuh berantai berdarah dingin.
Aku sudah tidak lagi peduli pada apapun di titik ini. Hanya dia yang kuperdulikan.
“Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Nona?” Kata si pemilik suara serak itu, dengan lebih tenang. Ia bersandar ke dinding di belakang, menatapku dengan lengan yang terlipat angkuh. “Menyembur wajahku sekali lagi?”
Aku tahu seharusnya aku perlu mengatakan sesuatu sekarang—menjelaskan sikap bar-barku. Tapi lidahku masih kelu—bisu lebih tepatnya.
Aku membayangkan moment ini seumur hidupku. Membayangkan bisa bertemu dengan pemilik suara yang suaranya menjadi lullaby pengantar tidurku selama 4 tahun terakhir.
Tapi realitanya, ketika aku berada tepat di depannya, tubuhku bahkan tidak bisa berfungsi dengan normal.
“Jika kau hanya diam saja dan menatapku seperti melihat hantu, aku akan keluar dari sini.” Pria itu bergeser, hendak keluar dari toilet.
Tubuhku reflek menghadangnya. Bergeser tepat di hadapannya ketika dia bergerak maju. Membuat lehernya dekat sekali dengan wajahku—aku bisa mencium wangi tubuhnya yang memabukkan dari jarak sedekat ini.
Sial. Sial. Sial.
Mendadak toilet kecil ini terasa begitu panas. Aku bisa merasakan tubuhku perlahan gemetar, ketika merasakan mata hitamnya mengunci tatapanku.
Dia masih terlihat seperti ingin membunuhku. Tapi ada sesuatu yang berubah—dia tidak hanya ingin membunuh, tapi juga ingin melahapku...
“Jika kau ingin bermesraan denganku…” Ia berbisik, pelan dan sangat mendebarkan. Detik berikutnya, jemarinya melingkar di leher dan rahangku.
Sentuhan itu sangat tiba-tiba, menyengat dan membuat darah berdesir dari titik dia menyentuhku hingga ke ujung kaki. Aku mengerjap, tapi nafasku justru terdengar seperti desahan dari bibirku yang sedikit terbuka. Kepalaku pening oleh sensasinya hingga satu-satunya yang bisa kulakukan adalah memejam.
“…kau hanya perlu memintanya baik-baik.”
Sebelum aku bisa berpikir, bibirnya meraup bibirku, kasar dan memabukkan. Seperti aromanya yang kini memenuhi jiwa dan ragaku. Sebelah tangannya menangkup pipiku, menekan wajahku dengan ciuman yang menuntut dan membara.
Dia bergerak maju hingga punggungku menabrak pintu. Menghadiahkan sebuah rintihan dariku—yang tampaknya membuat lelaki itu tersenyum disela-sela ciuman brutalnya.
Dia memanfaatkan itu untuk menjulurkan lidahnya, menggoda bibir dalamku. Tubuh besarnya menekan padaku, mendesakku ke pintu hingga aku bisa merasakan gundukan di celananya yang menekan area intimku.
Aku merintih lagi, karena sensasinya. Kali ini dia menghadiahkanku dengan menciumku semakin dalam, semakin liar, melumat bibirku atas bawah tanpa ampun.
Aku tidak bisa bernapas, tidak bisa berpikir.
Tidak pernah seumur hidup, seseorang menciumku sepertinya lelaki ini menciumku. Seperti dia akan mencabut nyawaku dengan ciumannya. Dan tidak akan berhenti sebelum jantungku berhenti berdebar.
Oh, Tuhan, betapa lembut bibir itu dan betapa aku ingin dia menjelajahi seluruh ragaku.
Lalu, aku mulai merasakan jemarinya. Tidak lagi hanya di tekukku, mulai turun untuk menjamah belakang pahaku, tepat di bawah bokongku. Meremas pelan, lalu mulai berubah kasar hingga rintihan mulai kembali beralun dari bibirku.
Dia tidak berhenti di sana, jemarinya mulai menggoda masuk hingga nyaris menyentuh bagian paling intim dari tubuhku. Dan saat itulah, akal sehatku kembali.
“Tunggu sebentarhhg…” Aku tidak bermaksud mendesah, tapi sulit terdengar normal ketika tubuhnya terasa begitu benar di tubuhku, begitu panas dan candu.
Aku menahan tangannya dengan panik, tidak ingin dia menyentuhku lebih jauh lagi. Dan ketakutanku mulai menghilang, karena lelaki itu tidak memaksakan dirinya terhadapku. Dia menggengam tanganku dengan lembut, sebelum membawanya ke atas ke palaku.
“Kenapa…” Bibirnya berpindah mengecup sudut bibirku, "Apa kau ingin pindah?" Lalu pipiku, "Apa kau ingin kita melanjutkannya di tempat lain?" Kemudian rahangku, "Katakan saja, berapa kali kau ingin kubuat keluar sebelum lututmu menyerah..." sebelum berakhir di leherku.
Tubuhku semakin bergetar ketika ciuman itu berubah menjadi hisapan lembut dan dalam. Seakan ia sangat menikmati setiap detiknya. Seakan ia ingin menguburkan wajahnya selamanya di ceruk leherku.
"Oh... kau membuatku gila!"
Aku menggigit bibir agar aku tidak kembali mendesah, tapi sulit sekali ketika mendengarnya merintih di leherku. Suara seraknya yang berat saja sudah mampu membuat lututku terasa ingin jatuh, andai saja ia tidak menghimpitku saat ini.
“Kau… kau Hail-to-Lucifer, kan?”
Glek.
Tubuhnya besarnya membeku. Dia tidak lagi menciumku. Lidahnya tidak lagi menggelitik syaraf tubuhku.
Dan entah setan apa yang merasukiku, aku menyesal telah membuatnya berhenti.
Dia diam saja selama beberapa saat.
Dan ketika mata hitamnya bertemu dengan tatapanku, aku hanya bisa berdoa semoga aku bisa keluar dari toilet ini hidup-hidup. Karena apa pun itu, tatapannya lebih tajam dari pada bilah pisau.
"Siapa kau?"
Aku baru saja berciuman dengan laki-laki yang bukan pacarku. Aku baru saja berciuman dengan Hail-to-Lucifer.
Dan gilanya… aku sangat menyukai ciumannya.