Sunshine’s POV
“Aku bersumpah, tadi malam itu dia!”
Kardus-kandus berlebel menumpuk rapi di pojok ruangan. Dinding yang tadinya dihiasi gantungan lukisan karya Kaitlyn Elizabeth Bennet, sudah hilang. Menyisakan ruangan putih bersih dengan furnitur kosong yang kesepian. Bahkan tidak ada lagi corak bunga daisy pada sprei kasur yang saat ini kududuki.
Semuanya putih membosankan, sama sekali tidak seperti kamar Kaitlyn.
Sebelum matahari terbenam, gadis itu sudah selesai mengemasi barang-barangnya. Kaitlyn resmi pindah ke apartemen pacarnya besok pagi. Dan malam ini, akan menjadi malam terakhir Ruby dan Kaitlyn tinggal satu atap.
“B, kau mabuk berat tadi malam.” Sambil terengah, Kaitlyn menghempaskan diri ke ranjang, tepat di sebelahku. “Setidaknya tujuh puluh sembilan persen kemungkinan, kau hanya berhalusinasi.”
Sempat terpikirkan olehku.
“Tapi aku yakin sekali kalau tadi malam itu dia!”
Pada akhirnya, aku pingsan di lantai Club. Hal pertama yang kuingat ketika aku bangun keesokan hari adalah suara berat laki-laki yang menabrak bahuku, suara Hail-to-Lucifer. Padahal, aku selalu lupa apa yang terjadi padaku ketika aku mabuk.
“Mempercayai perkataan orang mabuk seperti mempercayai maling.”
“Katlyn Elizabeth Bennet, aku bersumpah, demi Harry Edward Styles. Tadi malam itu memang Hail-to-Lucifer. Aku kenal suaranya lebih dari 4 tahun, aku tidak mungkin salah!”
“Kau memanggilku dengan nama lengkap. Dan, kau bersumpah demi nama suami khayalanmu..." Kaitlyn menajamkan tatapannya, menelitiku. "Kau tidak bercanda, ya?”
“Ugh, tidak!” Aku ingin sekali mencubit wajah polos sahabatku jika saja dia bukan sahabatku.
“Well,” Kaitlyn menarik tubuhnya bersandar ke dashboard kasur, “Karena kau seyakin itu telah bertemu dengan lelakimu, apa yang akan kau lakukan sekarang? Kita tahu dia tinggal di New York. Tapi kita tidak tahu seperti apa wujudnya.”
Pertanyaan bagus. Apa yang akan kulakukan?
Aku tidak sempat melihat wajahnya tadi malam. Dan berdasarkan informasi yang kudapatkan dari Kaitlyn dan Daniel, mereka terlalu panik untuk mengingat wajah pria yang menabrakku.
Aku mulai berbicara sebelum selesai berpikir, “Mungkin aku akan… mencoba berbicara dengan semua orang yang ada di Club hingga menemukannya?”
“B, kau sudah gila.” Kaitlyn mengatakan itu dengan wajah datar, “Menemukan lelaki ini di tengah kota terpadat di dunia saja sudah PR! Dan jika kau berhasil menemukannya, lalu apa? Kau akan memaksanya membacakan dongeng padamu dengan suara khas Harry Styles miliknya sampai kau tertidur?”
Pertanyaan bagus, lagi.
Aku terlalu sibuk mencari Hail-to-Lucifer, sampai tidak memikirkan apa yang akan kulakukan jika aku berhasil menemukannya.
“Kita tidak kenal pria ini, B. Belum lagi dengan username seaneh itu, dia bisa saja psikopat sungguhan!"
Aku jelas tidak memikirkan itu, juga.
Kaitlyn menghadapku sepenuhnya dengan ekspresi serius, “Kau terlalu terobsesi mencari lelaki ini sampai lupa dengan hal penting lain. Apa kau bahkan sudah mencoba cara normal meredakan insomia? Kau bisa mencoba jogging sebelum tidur misalnya. Itu juga bisa membantu mengatasi insomnia dan sudah teruji secara klinis.”
Aku benci mengakuinya, tapi kali ini sahabatku benar. Aku memang terobsesi menemukan pemilik rekaman suara misterius itu sampai melupakan sesuatu yang lebih penting. Hanya karena aku mendengar satu pesan suara yang berdurasi kurang dari 10 menit, tidak berarti aku sudah mengenal pria ini lebih dari 10 tahun. Hail-to-Lucifer adalah orang asing.
“Baiklah." Kataku pada akhirnya, "Aku akan berhenti memikirkannya.”
"Thank God." Kaitlyn mendesah lega, seperti ia baru saja menyelamatkan dunia.
Kami berbaring di sana untuk beberapa sait. Kaitlyn tersenyum kecut memandangi langit-langit kamarnya yang hampa. Dan aku hanya memandanginya dan berpikir apa yang akan kulakukan tanpa gadis itu di kamar sebelahku.
“Sekarang apa yang akan kulakukan dengan apartemen ini sendirian?" Aku merengut pada Kaitlyn, "Gaji bulananku tidak akan cukup menutup biaya sewanya sendiri."
Mata hijau Kaitlyn berpendar memandangi kamarnya, “Kau bisa mengajak pacarmu untuk pindah ke mari.”
“No. No way. And never in a million years!” Aku mengeleng ngeri memikirkan ide itu. “Pertama-tama, hubungan kami sudah sangat rumit karena dia adalah bossku dan kami harus menyembunyikannya dari publik. Tinggal bersama hanya akan membuat semuanya menjadi semakin rumit. Dan kedua, harusnya dia yang mengajakku untuk pindah bersamanya. Bukan aku.”
“Jadi pilihan terakhir adalah mencari roommate baru, huh?”
“Ya, kurasa begitu.”
“Tenang saja, kita akan menemukan roommate yang tepat untukmu.” Kaitlyn bangkit dari kasur, menatapku serius. “Sebelum aku pergi besok, berjanji padaku, kau akan melupakan lelaki misterius itu, Ruby?”
Aku menatap Kaitlyn, meringis di dalam hati.
“Ruby?”
“I promise.”
***
Tentu saja aku bohong. Sedikit berbohong.
Aku sungguhan berlari santai malam ini. Mencoba metode ‘normal’ untuk mengatasi insomnia seperti saran Kaitlyn. Tapi aku sedikit bohong tentang berhenti memikirkan Hail-to-Lucifer. Karena saat ini, aku berada di depan Club yang tadi malam kami kunjungi, mengenakan setelan olahraga—legging, sport bra dan sneakers.
Sebagai pembelaan, aku benar-benar mencoba untuk melupakan lelaki ini—alam bawah sadar yang membawa kakiku untuk berlari ke tempat ini.
Beberapa orang memberiku tatapan aneh begitu aku memasuki Club. Tidak heran, karena orang bodoh mana pergi clubbing pakai setelan olahraga?
Aku. Aku orang bodoh itu.
“Apa yang bisa aku buatkan untukmu, cantik?” Tawar bartender laki-laki yang berada di belakang bar. Pria itu memiliki tubuh kekar bertato dan senyum yang indah. Aku menarik semua perkataanku ketika ia menambahkan, “Bra yang bagus, ngomong-ngomong.”
Aku jadi ingin mencuci otakku karena telah memuji lelaki mata keranjang.
“Air mineral saja, terima kasih.”
Aku belajar pelajaran penting kemarin malam: aku tidak boleh mabuk.
“Menunggu seseorang?” kata si bartender basa-basi sambil menyerahkan botol air mineral.
“Bukan urusanmu.” Aku mencoba tidak terdengar angkuh, tapi sepertinya gagal.
Setelah mengambil uang yang kuletakkan di meja, si bartender menggangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Dia menatapku seperti aku gadis gila tepat sebelum meninggalkanku untuk melayani pengunjung lainnya.
Aku tidak menyalahkannya. Percaya tidak percaya, aku bukan orang judes yang berbicara dengan nada yang tinggi. Tapi malaikat penjaga surga pun bisa murka jika tidak mendapatkan 8 jam tidur yang tenang.
Aku sedang mencoba membuka tutup botol airku, ketika seorang pria berhenti di sebelahku, menumpukan tubuhnya di meja bar. Dia lebih tinggi dari padaku meski aku duduk di atas kursi bar yang menjulang.
Dari ujung kepala hingga kaki, lelaki itu mengenakan pakaian serba hitam. Membuat kulit ponselinnya menjadi begitu kontras.
Ia menoleh ke arahku, sedikit terlalu lama hingga aku menyadari dia memiliki mata yang juga begitu hitam.
“Apa?!” Aku terlalu gugup karena tatapannya hingga tanpa sadar, nada suaraku begitu tinggi. “Tidak pernah melihat cewek pakai setelan olahraga pergi ke Club?!”
Alis tebalnya bertaut, menatapku seolah aku orang aneh dua detik penuh, sebelum mengalihkan pandangannya dariku.
Ia punya tatapan yang mampu membuatmu terintimidasi, dan aku sangat tidak suka terintimidasi. Rasanya seperti aku sangat kecil dan lelaki ini bisa dengan mudah menyentil tubuhku hanya dengan dua jari.
Pipiku terasa panas seketika. Bisa jadi, lelaki ini ingin bersikap sopan dan menawarkan diri untuk membuka botol minumanku. Tapi tentu saja otak bodohku memilih melakukan hal paling konyol: marah-marah nggak jelas seperti perempuan gila.
“Scotch on the rock, please.”
Aku sedang meneguk minumanku, ketika mendengarnya menyebutkan pesanannya pada bartender. Dan karena terlalu kaget, minumanku menyembur. Tepat ke wajah tegasnya.
Tidak mungkin….
Aku tidak mungkin baru saja menyemburkan airku ke wajah lelaki itu...
Ke wajah Hail-to-Lucifer!