Lucifer's POV
“Kau siapa?”
Gadis aneh itu—yang datang ke club dengan setelan olahraga, yang menyembur air ke wajahku, yang mengikuti aku ke toilet, yang tiga detik lalu aku cium karena membuatku hilang akal—mengatakan sesuatu yang tidak pernah ingin aku dengar.
“Kau…” Gumamnya dengan nafas tersengal-sengal dari bibir yang bergetar dan bengkak "kau... kau Hail-to-Lucifer, kan?”
Aku benci bagaimana suaranya kini terdengar seperti itu—seperti rintihan yang membuatku ingin kembali menekan tubuhku padanya. Bagaimana rambut pirangnya begitu berantakan, tapi aku justru ingin membuatnya semakin berantakan lagi. Bagaimana pipinya bersemu merah sambil menatapku dengan mata birunya yang seolah memelas padaku untuk kembali menghimpitnya ke pintu.
Sialan, ciuman itu—aku bersumpah aku ingin menciumnya lagi, jika gadis ini tidak baru saja mengucapkan sesuatu yang tidak pernah ingin kudengar, selamanya.
“Darimana kau mendengar nama itu?”
Bertahun-tahun aku berhasil melupakan tentang rekaman suara yang aku unggah di Soundcloud. Ketika aku berada di titik paling rendah dalam hidupku—mengutarakan semua beban dan rasa sakit yang membunuh pada sebuah rekaman suara.
Aku hanya remaja bodoh saat itu. Gila perhatian. Berharap untuk sesaat, dunia peduli. Padaku. Pada rasa sakit yang aku tanggung seorang diri.
Tapi kenyataannya? Dunia tidak peduli padamu, bodoh!
Aku tahu itu sekarang.
Dan ketika dunia mulai sedikit menunjukkan ketertarikan pada rekaman suara yang aku unggah bertahun-tahun lalu itu, aku langsung menghapusnya. Aku ingin menghilangkan jejak kebodohanku.
Memikirkan ada orang yang mendengarkan omong kosong itu, membuat aku ingin muntah.
“Dari... soundcloud.” Bisik gadis itu, pada akhirnya. Tubuh kecilnya masih gemetar seperti beberapa saat lalu di tubuhku. Tapi rambutnya tidak seberantakan sebelumnya setelah ia sedikit merapikannya.
“Sekarang, lupakan kau pernah mendengarnya!” Ancamku tajam, sebelum menyingkirkan bahunya dari pintu keluar.
Begitu saja, kenangan itu kembali. Terasa segar seperti baru saja terjadi. Seperti arwah yang bangkit dari kuburan yang telah susah payah kukubur. Arwah yang menghantui sekaligus merusak segala benteng perlindungan yang susah payah aku bangun untuk melupakannya.
Aku harus menjernihkan pikiranku.
“Devil’s Springs Vodka.” Kataku pada bartender, menduduki salah satu kursi bar.
“Whoaaa.” Bartender itu tertegun mendengar pesananku. Minuman yang ilegal untuk diperjual belikan secara bebas karena terlalu keras dan efek samping yang berbahaya jika diminum secara murni. “Malam yang berat, huh? Kau ingin aku mencampurkannya dengan apa?”
Aku mengedikkan bahu, tidak terlalu peduli. “Terserahmu, dengan apapun yang terbaik.”
Bartender itu mengangguk dan mulai membuat pesananku.
Gadis berambut pirang berhenti di sebelahku. Tubuh kecilnya hanya sebatas pinggangku dari kursi. Hanya melihatnya sekilas, aku bisa tahu ia masih gemetar. Tapi kali ini, kemungkinan besar disebabkan oleh hawa dingin karena gadis itu hanya menggunakan sport bra dan legging biru muda yang memeluk lekuk tubuhnya.
“Maaf menggangu waktumu, tapi ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.” Mata biru yang nyaris senada dengan pakaiannya berbinar memelas padaku. “Kumohon...”
Aku memilih mengabaikannya. Apa pun yang hendak gadis ini katakan, aku tahu itu bukan sesuatu yang ingin kudengar saat ini.
Di saat bersamaan bartender menyodorkan pesananku. Aku meminumnya dalam sekali tegukan.
Oh, sialan!
Aku lupa aku baru saja memesan Vodka dengan kadar alkohol paling tinggi. Akibatnya, tenggorokanku terbakar dan kepalaku berdenyut hebat.
Martini. Bartender memilih Martini untuk dicampurkan pada minumanku. Bahkan itu tidak berhasil menutupi sengatan Devil’s Springs Vodka.
Sudah begitu lama sejak terakhir kali minuman ini membakar tenggorokanku.
“Sebentar saja…” Suara gadis itu kembali terdengar samar-samar karena dentuman musik.
Aku menyodorkan gelas kosong pada sang bartender, “Isi lagi.”
Bartender menyerahkan gelas kedua. Kali ini, aku meminumnya dengan lebih santai. Berusaha untuk tidak membakar tenggorokan dan otakku secara bersamaan.
“Sir… bisakah kau tidak mabuk dulu?” Jemarinya menyentuh lenganku dengan pelan dan berhati-hati, “Ada sesuatu yang penting yang perlu kukatakan padamu.”
Aku meneguk gelasku sampai habis. Kali ini, sensasinya tidak terlalu menyengat seperti yang pertama. Aku mengembalikan gelas pada bartender.
“Isi ulang terus hingga aku bilang berhenti.” Aku tidak peduli jika uangku ikut terbakar, aku hanya ingin melupakan semuanya.
Gadis berambut pirang itu meringis di sebelahku. Sang Bartender pun terlihat melakukan hal yang sama. Entahlah, aku tidak begitu yakin dengan semua denyutan di kepalaku.
Saat aku hendak meminum gelas ketigaku, gadis berambut pirang itu merebutnya lebih dulu. Gadis itu mencoba menghabiskan dalam satu tegukan. Tapi tentu saja, dia gagal. Karena detik selanjutnya, munuman itu berakhir membasahi lantai. Seluruh wajahnya memerah dan ia terbatuk hebat.
“Minuman macam apa itu?” Mata birunya mulai berair dan ia terlihat seperti ingin menangis, “Itu keras sekali!”
“Bukan urusanmu.” Aku merebut kasar gelas dari genggamannya, “Apa yang salah denganmu? Apa kau tidak paham jika seseorang menolak untuk berbicara denganmu?”
Aku menyisir pandanganku ke tubuhnya, hendak mencemooh—tapi berakhir membuatku kehilangan nafas.
Benci kuakui betapa aku sangat ingin mencumbu setiap jengkal kulit sempurnanya. Gadis ini memiliki rambut pirang yang mendekati warna matahari di waktu keemasan. Dengan mata biru yang lebih cerah dari langit di siang hari.
Tapi semua itu tidak sepadan jika dia punya hubungan dengan masa laluku.
“Apa kau tidak pernah ditolak sebelumnya, Sunshine?”
Mata birunya menyala penuh amarah seolah mengerti sindiranku, “Sir, aku hanya ingin bicara baik-baik denganmu. Jika bukan mengenai sesuatu yang penting, aku tidak akan senekat ini untuk mengikutimu hingga ke toilet. Apa begitu sulit bagimu untuk bersikap sopan?”
“IYA!” Tanpa bisa kukendali, suaraku meninggi, “Aku tidak ingin berbicara denganmu. Atau melihatmu. Atau berada di ruangan yang sama denganmu! Apa itu begitu sulit kau cerna dengan otak kecilmu? Atau kau hanya tipikal gadis pirang cantik yang tidak punya otak?”
Wajahnya bulatnya mengerjap. Dan baru saat itu aku sadar, aku baru saja meneriakinya.
Mata birunya kembali berair. Tapi kali ini, bukan karena efek dari Devils Spring’s Vodka.
Aku harus mengalihkan pandanganku dari wajahnya untuk mengatakan, “Pilih. Kau ingin pergi sendiri atau kau butuh aku memanggil sekuriti untuk menyingkirkanmu dari hadapanku?
“Tidak perlu repot-repot.” Sahutnya setelah beberapa saat. "Aku bisa pergi sendiri." Gadis itu menyerahkan beberapa lembar uang pada bartender, “Untuk minuman yang kurebut darinya.”
Aku tidak menoleh ketika gadis itu perlahan menghilang dari pandanganku. Butuh separuh akal sehat yang tersisa untuk menahan diri agar tidak mengejar gadis pirang itu.
Karena walaupun aku ingin melupakan semua kenangan dari masa lalu, aku tidak bisa berhenti memikirkan mata birunya yang berkaca-kaca. Aku benci bagaimana aku bisa melihat keputusasaannya hanya dari kedua matanya. Dan bagaimana itu cukup menghantui.
Tapi syukurnya, aku berhasil mengendalikan diri. Dan tidak mengejarnya.
“Isi ulang.”
***
Aku tidak bisa merasakan wajahku.
Aku bahkan tidak bisa merasakan tanganku yang merasakan wajahku.
Aku tidak bisa merasakan apa pun.
Kepalaku berputar hebat dan berat, tapi tubuhku rasanya ringan sekali.
Mungkin efek dari satu botol Devil’s Springs Vodka yang aku habiskan dalam sekali duduk.
Mungkin.
Aku tidak begitu yakin.
Aku menoleh ke kanan, wajah pria asing berada tepat di depan wajahku.
Aneh.
Aku menoleh ke kiri, wajah pria asing lainnya berada tepat di depan wajahku.
Lebih aneh.
Seolah ada memukul lenganku, rasanya kebas dan agak nyeri.
Tidak.
Aku tidak dipukul siapa-siapa.
Aku dibopong oleh dua pria bertubuh besar.
Kemana?
Aku tidak yakin.
Pintu di depanku terbuka.
Memperlihatkan hiruk pikuk jalanan Kota New York yang tidak pernah mati.
Oh, aku di luar club.
Tubuhku terhuyung, membentur trotoar.
Tidak sakit ternyata.
Atau karena aku tidak bisa merasakan tubuhku.
Aku tidak tahu.
Aku mulai tertawa, tidak tahu apa yang lucu.
Aku hanya tertawa.
“Hey, kau tidak apa-apa?”
Seorang berlutut di hadapanku.
Rambutnya pirang bergelombang, jatuh menutupi wajahnya. Warna mengingatkanku pada emas dan matahari.
Lalu aku melihat sepasang mata biru. Biru terang seperti langit di siang hari.
Aku menggapai wajahnya untuk menangkup pipi merah itu.
Wow!
Kulitnya selembut permen kapas.
Apa aku sudah bertemu malaikat?
“Sir, apa kau bisa memberitahu alamatmu? Aku akan mencarikan taksi dan membawamu pulang.”
Wow, malaikat ini berbicara padaku.
Oh, aku ingin mendengarnya berbicara lagi.
Aku ingin melihat wajah cantiknya lagi, tapi mataku terlalu berat.
“Sir?! Jangan tutup matamu!”
Di sini gelap.
“Sir?!”
Aku tidak—
“Sial!”