BERBELASUNGKAWA

977 Kata
Setelah sampai rumah Lukman, rasanya mau mundur aja, kagak jadi ngelayat. Mau minta dijemput Zya. Aku menyesal beli rumah, kenapa gak tinggal di apartemen aja ya? Seandainya masih di apartemen aku nggak akan susah-susah bersosialisasi seperti ini. Oke aku lagi tegang aja ini, aku nggak pernah melayat sendirian sebelumnya. Kagok mau ngomong apa. Apa gue harus ketemu Lukman, menjabat tangannya dan bilang "Yang sabar ya." Menurut gue, kata-kata itu seperti menumpahkan garam ke air laut yang udah asin. Aku dengar Rosa dikebumikan siang tadi. Kursi-kursi biru berderet di garasi kecil rumah Lukman. Sudah digelar pengajian rupanya. Beberapa laki-laki dan perempuan masih duduk ngobrol di sana. Aku membaca nama panjang Rosa pada sebuah karangan bunga, Rosa Diah Antarawardani. Aku merasa tidak asing dengan nama belakangnya. Tapi nanti aja aku keponya, sekarang aku harus cari Lukman dulu, mana kau wahai duda satu hari. Seorang gadis keluar dari rumah Lukman. Dari belakang bahu gadis ini aku bisa melihat Lukman sedang mengobrol dengan beberapa orang tamu. Sepertinya akan mengganggu kalau aku bertemu Lukman sekarang. "Anak-anaknya mas Lukman mana?" tanyaku pada gadis itu. Si Mbak-mbak yang baru keluar dari dalam rumah kebingungan. "Mmm." Dia menoleh ke belakang. "Tadi sih sama pengasuhnya" Dia menoleh kesana kemari. "Sepertinya sih di halaman belakang, bisa lewat pintu samping aja," kata si Mbaknya terlihat masih tidak yakin. Akupun mengikuti jalan yang ditunjukkan kepadaku. Rumah Lukman tidak besar aku pasti menemukan mereka. Ada seorang wanita paruh baya menggendong si bungsu, si sulung sedang bermain boneka di teras. "Assalamualaikum," sapaku "Walaikum salam." Beberapa tamu yang ada di sana ikut menoleh. Ternyata Halaman belakang itu tersambung dengan tempat Lukman dan tamu-tamunya duduk. Sekilas tatapan Lukman berhenti padaku. Tapi ekspresinya datar. Aku tersenyum canggung, dia memalingkan wajah untuk menanggapi seorang tamu yang sedang bicara padanya. Shit! Kenapa gue senyumin? najis banget gue. "Aku Jullie, rumahku yang di depan itu." Aku memperkenalkan diri pada pengasuh anak-anak Lukman. Dia adalah ibu-ibu yang seringkali kulihat menunggu ojek di pos satpam pintu masuk komplek, namanya Ningsih. Ningsih tersenyum padaku. "Oalah Mbak'e yang tinggal di 224 ya. Saya pikir rumah Mbak berhantu." Aku tersenyum "Aku sering ke luar kota." Aku seperti gadis yang tidak pernah berbohong, padahal lampu rumah mati karena yang punya sedang mabok. "Ini aku bawakan mainan." Aku membuka sebuah mainan tirex yang entah kenapa aku beli, nggak memperhatikan batas usia yang tertera pada mainan. Tapi anak dalam gendongan Ningsih terlihat senang, dia tertawa, memukul-mukul Ningsih kegirangan "Mote auuung," katanya. Oh! ternyata dia bisa ngomong juga. Nggak ngerti kenapa melihat dia nyengir aku juga ikutan nyengir. "Iya nak Monster yang diceritakan mama ya, lucu ya? Bias boleh simpan. Tante Cantik baik deh sama Bias. Bilang apa adek Bias?" "Teyima kaci tate" tate? ya ampun lucu banget dia manggil aku tate! Aku mengusap kepala Bias. "Sama-sama Bias." Bias plek ketiplek Rosa. Sedangkan yang satu itu, anak pertama Lukman, dia adalah Lukman versi perempuan. Sora dengan tampang cemburutnya melihatku dengan awas. Dia berkacak pinggang seperti menantangku. Aku tersenyum dan duduk di teras sama dia. Mengeluarkan box mainan "Hai.. nama kamu siapa?" "Sora," katanya ketus. Rambutnya pendek, matanya persis Lukman, seperti silverqueen yang meleleh. "Sora tahu gak tante kerjanya apa?" "Apa?" Meskipun dia jutek tapi dia tetap menanggapiku. "Tante ini penyihir cantik." Ningsih tertawa kecil. Sora meminta kepastian pada Ningsih, benarkah aku seorang penyihir. Ningsih mengangguk sungguh-sungguh "Jadi tante bisa membuat gadis biasa aja jadi secantik princess elsa." Dia mengerutkan keningnya, masih keliatan ketus. Aku menepuk-nepuk Box mainan yang kuberikan padanya. Sora masih gengsi untuk melihat isi box itu. "Ini isinya Kotak makeup. Dulu sewaktu tante seumuran kamu tante belajar sihirnya pakai ini." "Aku gak mau jadi penyihir," katanya ketus. "Kalau penyihirnya bisa nolong orang gimana? gak semua penyihir itu jahat tahu.." Sora kelihatan sangat cerdas ketika matanya terpaku dan alisnya menajam ke arah dahi, dia sedang menimbang apakah yang kukatakan benar. Dia melihat Ningsih, meminta kepastian pada Ningsih. "Benar Sora, gak semua penyihir jahat. Heri puter nggak jahat" "Harry potter!" Aku melongo "Dia boleh nonton harry potter?" Sora tersenyum bangga "Mamaku suka harry potter, Mama sekarang sudah berangkat ke Surga. tinggalnya di langit. Kata Ayah aku harus berbuat baik supaya bisa ketemu mama lagi." Aku menelan ludah, Ningsing menengadah ke langit sambil memeluk Bias lebih erat. Air matanya mengalir tanpa suara. Aku menarik nafas dalam. "Oke," kataku tidak mau ikut bersedih. "Mau belajar sihir supaya bisa jadi penyihir baik?" Aku membukakan mainan untuk Sora. Begitu box makeup mainan kubuka, dia melupakan semuanya. Dia berkutat dengan wajah boneka mainan yang dijadikan model make upnya. Setelah beberapa menit menemani Sora bermain aku akhirnya bangkit berdiri. Aku pamit pada Ningsih. Kembali lewat pintu belakang untuk keluar dari rumah itu. Aku nggak tahu dari mana Lukman datang, tiba-tiba saja dia sudah berada di depanku "Jullie terimakasih," katanya, suaranya berat dan rada sumbang. "Sama sama mas." Mas ? Kecentilan banget gue! "Terima kasih sudah menghibur anak-anakku dengan mainanmu." Aku tersenyum hambar tidak berani melihat wajahnya, takut kebayangan ketampanannya. Rasanya nggak sopan sama almarhumah kalau ganjen sama suaminya. Dia kan baru satu hari jadi duda. Lukman menemani aku berjalan kecil-kecil keluar dari rumahnya. "Aku gak mau anak-anakku ikut merasakan duka yang sama dengan kami orang dewasa. Dia cukup tahu mamanya orang baik, mamanya sudah pergi dan mereka harus tetap bahagia. Mereka gak harus menangis karena kehilangan. Mereka terlalu kecil" "Iya mas aku mengerti." Lukman melihatku sungguh-sunggu ketika kami sudah sampai di jalan setapak yang memisahkan rumah kami. "Terimakasih sudah mengerti hal itu. Aku sangat menghargai bentuk bela sungkawa mu" Wah... Aku jadi berkaca-kaca mendengar ucapan terima kasihnya. Dia benar-benar bersungguh-sungguh mengatakannya. Mendadak aku merasa jadi malaikat. Mendadak aku merasa sungguh berarti untuk dua anak kecil itu, untuk Lukman yang sedang berduka. Aku mengangguk, mata Lukman sangat tajam, tidak bisa kupandangi terus-terusan, saking tajamnya tatapan itu aku takut hatiku jadi patah. "Meski nggak mengenal Rosa, tapi aku yakin dia adalah orang baik. Dia pasti sudah bahagia sekarang." Lukman mengangguk. "Iya" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN