Aku harap dengan alkohol aku bisa melupakan apa yang terjadi. Ku barengi alkohol itu dengan rokok, ku sesap sampai terbatuk, kupikir aku akan kuat meminum lima botol lagi tapi baru setengah botol ku habiskan aku terkapar jatuh dilantai kamar. Menyedihkan.
Aku terbangun mendengar suara mobil ambulance yang sangat mengganggu seakan sirinenya diletakkan di atas kepalaku.
Aku terbangun dan duduk di lantai melihat puntung rokok berhamburan, tipis-tipis asap rokokku masih mengapung di udara. Sirine tersebut kembali berdengung hebat sampai kepalaku terasa nyeri, otakku telat menyadari itu adalah jenis sirine untuk mobil jenazah.
NO WAY!!
Aku lompat dari dudukku sedikit terhuyung karena efek alkohol, kubuka gorden jendela kamarku.
Kenapa ada mobil jenazah? Siapa yang meninggal?
Di depan rumahku sudah ada tenda dan banyak sekali karangan bunga. Aku berlari ke cermin dan melihat diriku sendiri. Aku menepuk pipiku. Sakit! Alhamdulillah aku masih hidup, terimakasih ya Allah. Aku mengambil luaranku, berjalan cepat keluar rumah.
Tepat di depan pintu gerbang rumahku beberapa ibu-ibu tetangga tengah menyaksikan orang-orang yang sedang menurunkan jenazah dari ambulance.
"Ya Allah Rosa, minggu lalu masih beli sayur." Ibu yang bicara itu memeluk dirinya dalam kengerian memandangi rumah nomor 225.
"Ajal memang nggak ada yang tahu," kata si ibu lainnya.
Lukman menggendong si kecil, ketika Jenazah Rosa dikeluarkan dari dalam ambulance. Semua keluarganya berteriak histeris dan menangis. Lukman memeluk anaknya lebih erat, wajahnya Lukman terlihat menahan tangis.
"Kasian anaknya masih kecil-kecil." Ibu-ibu itu ternyata juga melihat ke arah Lukman.
Rosa, istri Lukman telah meninggal dunia.
Teringat sewaktu Kemal ke rumah, Lukman bilang istrinya sedang di rumah sakit, aku pikir keadaanya tidak seserius itu. Ku dengar dari para tetangga kalau Rosa telah lama mengidap kanker. Hatiku mendadak pilu, mengingat senyumnya setiap pagi ketika dia menyapaku sebelum berangkat kerja. Aku pikir dia baik-baik saja, dia tidak pernah terlihat sakit.
Salah satu kelebihan seorang wanita, mereka semua mampu menyembunyikan sakitnya, mengelabui semesta hanya dengan senyuman.
Mataku kembali menangkap Lukman, laki-laki itu sedang berusaha menenangkan si bungsu yang menangis. "Anak umur seperti Bias sedang dalam masa tantrum, pasti sangat sulit menenangkannya," komentar seorang ibu melihat anak dalam gendongan Lukman.
"Lebih kasihan lagi, dia nggak akan tahu sosok mamanya seperti apa," sahut ibu lainnya.
Aku menggeleng kuat-kuat. Aku sadar aku tidak bisa mendengar kesedihan yang disampaikan ibu-ibu tetangga ini, terlalu nyata buatku. Aku juga tidak ingin larut dalam kesedihan orang lain. Aku berbela sungkawa dengan sepenuh hati, tapi tidak sanggup melihat kesedihan yang meliputi rumah nomor 225. Aku pun meninggalkan kerumunan.
Di belakangku aku mendengar isak tangis dan teriakan pilu. Aku menutup telingaku, mempercepat langkahku masuk ke dalam rumah.
Duka oh Duka....
Kematian? Orang-orang yang benar-benar mencintai mu akan kehilangan mu, begitu katanya. Dan aku melihat itu pada orang-orang sekeliling Rosa. Rosa kamu begitu beruntung, keberadaanmu begitu berarti. Rosa, meski aku tidak mengenalmu, izinkan aku berbela sungkawa, kenanganmu akan menjadi bunga di hati setiap orang yang kamu tinggalkan.
Aku memejamkan mata bersandar pada tembok, bertanya pada diri sendiri. Kalau aku mati adakah yang akan menangis untukku? Kata orang tidak baik menangisi orang yang meninggal tapi ketika aku mati aku ingin semua orang menangis untukku, aku ingin menimbulkan kehilangan yang dahsyat. AKU INGIN MENJADI BERARTI.
****
"Lo keliatan kek orang nggak enak badan."
Semenjak Zya menjemputku siang menjelang sore untuk pemotretan, aku memang tidak banyak bicara. Pikiranku terbang kesana kemari dipenuhi dengan Davi, tentu saja dia. Aku menatap layar HPku, entah bagaimana aku sangat mengharapkan dia menelponku, menjelaskan semua yang terjadi dan meminta maaf seperti seharusnya. Aku tidak masalah dia memilih Laudya, aku tahu diri kok! Tapi bisakah dia meminta maaf?
"Jullie..." Zya sampai menyentuh tanganku. Aku menatapnya agak kaget, dibangunkan setelah tenggelam dalam benakku sendiri. "Lo mau cerita? Gue tahu lo ada masalah."
Aku melihat kesungguhan di mata Zya. Dia satu-satunya manusia di dunia ini yang tidak akan menghianatiku, bahkan orang tuaku mungkin melakukan itu tapi Zya tidak. Aku menggeleng, aku belum siap bercerita pada siapapun untuk saat ini.
Kami sedang menunggu pemotretan. "Semua berjalan lancar semalam?"
"Mmm." Aku tersenyum kecil. TIDAK..., apa yang terjadi semalam tidak akan kulupakan seumur hidupku, Zya!
"Ada rokok di tas lo, lo biasanya nggak ngerokok!"
"Nyoba," kata ku singkat.
"Lo tahu kan, gue nggak akan ngebiarin lo bersikap bodoh."
Aku tersenyum. "Tahu lah." Aku menyenggol bahunya dengan bahuku. "Gue terlalu banyak minum, maboknya belum benar-benar hilang."
Zya hanya menghela nafas, tahu benar aku menyembunyikan sesuatu.
Di kafe tempat kami pemotretan ada seorang anak yang merengek minta mainan pada orang tuanya. Begitu susah payahnya sang ayah menenangkan anak itu agar tidak menimbulkan keributan dan mengganggu pengunjung kafe yang lain.
Zya sampai bergumam, "Rewel banget sik." Dia mendengus. "Udah belikan aja, palingan mainan cuma 50rb doang," dia mendumel sambil memalingkan wajah ke arah lain, terlihat muak.
"Mainan buat anak-anak itu seperti sihir," imbuh seorang pramusaji yang membantu kami selama pemotretan di kafe tersebut.
Aku dan Zya melihat laki-laki itu penuh tanya.
"Anak-anak bisa melupakan apapun kalau sudah memiliki mainan."
Tiba-tiba saja mulut ini bertanya, "Termasuk kehilangan?"
Zya menatapku menghakimi.
Si pramusaji mengedikkan bahu. "Mungkin saja bisa, aku tidak tahu. Tapi anakku selalu lupa pulang ke rumah setiap punya mainan baru, dia sibuk pamer sama anak-anak tetangga.” Laki-laki itu tertawa teringat anaknya.
Zya ikut tertawa dengan intonasi canggung, matanya mengarah padaku penuh selidik. Dia mengangkat alis bertanya, Kenapa?
"Tetangga depan rumah gue, istrinya meninggal. Tadinya gue mau cancel aja job hari ini, tapi ya nggak profesional kan?" Akuku ketika sudah selesai pemotretan.
Kami di dalam mobil, Zya sedang menyetir mobilku.
"Dia meninggalkan dua anak masih kecil-kecil, gue kasian liatnya."
"Oh." Sambil nyetir mulutnya monyong-monyong, dia berpikir hal itulah yang menyita pikiranku hingga jadi kebanyakan bengong sepanjang hari ini.
"Dia ibu yang cantik, masih muda. Gue jadi mikir aja.."
Senyum culas yang menghakimi ala Zya terlintas di bibirnya. "Mangkanya lo harus berubah. Mulai takut mati kan lo?"
"Gue kepikiran sama orang tua gue." Aku berdaham, merasa agak malu tiba-tiba membicarakan orang tuaku. "Saat mereka berpisah dulu gue nggak dikasih mainan yang bisa membuat gue melupakan kesedihan gue, hingga kesedihan itu mengakar dan jadi dendam, gue selalu menyalahkan mereka atas apa yang terjadi. Maksud gue, mungkin saja sebuah mainan bisa merubah rasa benci gue.”
"Jullie..."
Aku memalingkan wajah menghindar dari tatapan Zya. "Sering banget gue kepikiran, apa mereka mikirin gue? Apa pernah di saat hari-hari hektik mereka, mereka diam sejenak lalu memikirkan: Jullie hari ini makan apa ya?"
"Jull.."
Aku tersenyum sedih pada diriku sendiri. "Menurut lo, lebih beruntung gue atau anak-anak tetangga gue itu?"
Zya nggak menjawab memberi ruang pada kepedihan gue.
"Tuhan nggak memberi mereka kesempatan untuk membuat banyak memori bersama mamanya, sedangkan di cerita gue, Tuhan memenuhi memori masa kecil gue dengan pertengkaran, makian, tuduhan, pukulan. Anak-anak selalu tidak pernah bisa memilih.."
Zya tahu apa yang terjadi sama orang tua gue, Zya tahu cerita hidup gue dari masa kecil hingga dewasa. Zya paham kalau gue sudah mulai membeberkan hal pahit tentang papa dan mama, dia lebih baik diam dan mendengarkan.
"Kita ke toko mainan dulu ya, cari mainan buat mereka," kata ku, mencoba mencairkan suasana rapuh yang kuciptakan, aku memberikan senyum termanis pada Zya.
Air muka Zya berubah, dari tenang menjadi marah. "MUTER DONG GUE? NGGAK BILANG DARI TADI LO!"
***
Aku meminta Zya menurunkan ku satu blok dari rumah, soalnya jalanan di blok rumahku masih ditutup, sangat ramai pelayat yang datang ke rumah nomor 225.
"Beneran ni lo turunnya di sini aja? Nggak takut diculik?"
"Gue memilih perumahan ini karena aman, tenang aja satpam selalu keliling." Aku menarik kaca di atas kepala untuk membenahi wajahku, ku rapikan rambut lalu mengikatnya tinggi-tinggi, tidak lupa aku mewarnai bibir dengan warna shock pink.
"Lo mau melayat atau mau party?"
Aku tersenyum miring, ku elus lengan sahabatku, menimbulkan tanda tanya di wajahnya. "Tetangga gue ini cakep banget," bisikku genit.
Bibir Zya terangkat sinis. "Najis lo." Dia menggeleng-geleng takjub padaku yang ganjen tidak pada tempatnya. "Dihantui bininya tau rasa lo."
Aku tertawa, sambil keluar dari mobilku sendiri. Karena rumahku berhadapan dengan rumah Lukman tidak sopan rasanya aku memasukkan mobilku ke garasi sementara setengah dari badan jalan kompleks dipakai untuk tenda, tempat pelayat duduk. Jadi, hari ini biar dibawa dulu sama Zya.