Davi adalah satu-satunya cowok yang aku obses banget sejak kuliah dulu, dia nggak pernah luput dari pandangan ku seakan mataku tercipta untuk menangkap kehadirannya, aku selalu mengaguminya, memimpikan dan menginginkannya. Malam ini adalah mimpi yang aku harap tidak akan pernah berakhir.
Dengan taxi online kami menempuh perjalanan melanjutkan misi kami di hotel terdekat. Davi terus merayuku di dalam mobil, dia mengatakan hal-hal yang membuatku menginginkannya, dia menyusuri leherku, menciumi daun telingaku. Rasanya aku bisa menaklukkan dunia ini setiap kali sentuhannya merayapi kulitku.
Kami melanjutkan kegiatan itu di sebuah hotel murahan, kami sudah tidak bisa menahan diri untuk mencari hotel yang lebih nyaman.
Dia menghabisiku sampai habis tak bersisa, sampai aku terkapar tidak sanggup melakukan apa-apa lagi, suara deru nafas kami saling memburu. Akhirnya aku bisa menangkap bau Davi di tubuhku, sisa sentuhannya tertinggal dalam bentuk denyut-denyut nyeri yang panas.
Ini seperti mimpi.
"Thanks, gue puas banget," kata Davi sambil menarik selimutnya, memunggungiku untuk tidur.
Aku udah nggak sanggup menjawab apapun, aku kehabisan energi, aku cuma bisa mengeram "mmm.." sebelum akhirnya terlelap. Aku bahkan tidak sanggup menggerakan tanganku untuk meraih selimut.
***
Kami terbangun karena suara alarm yang terus menerus.
"ANJING. ANJING. ANJING." Davi mengumpat.
Aku setengah sadar, kepalaku masih sakit akibat mabuk, ku lihat tubuhku tidak tertutupi apapun, buru-buru aku menarik selimut untuk menutupinya.
Davi sedang berusaha mengenakan kembali pakaiannya, dia terus mengumpat. Matahari belum muncul, aku menoleh pada jam dinding, masih jam tiga pagi ini terlalu pagi untuk berbenah.
"Kam.." Suasana jadi sangat canggung. "Mmm…" Aku harus memulai dari mana? Davi terlihat marah dan terburu-buru aku tidak enak untuk menegurnya.
Aku diam sejenak memperhatikan Davi yang terburu-buru. Aku menyelimuti tubuhku sambil bersandar di kasur. Aku menunggunya mengatakan sesuatu tapi dia seperti tidak mempedulikan keberadaanku "Davi," panggilku akhirnya.
Dia menoleh lalu berjalan ke sebelahku untuk mengambil jam tangan dan handphone di nakas. Dia menarik nafas berat ketika mata kami bertemu pandang, caranya melihatku seperti orang putus asa. Aku masih menunggu reaksinya. "Jullie kita nggak pakai pengaman."
"Iya.."
Dia menelan ludah, menunduk sejenak, matanya memperlihatkan kegelisahan. "Jull. Maafin aku..."
Tiba-tiba aku bisa membaca kemana arah pembicaraan kami. Semua yang dimulai dari maaf berakhir mengecewakan!
"Ini salah banget! Aku harap kamu bisa ngelupain malam ini." Dia menatapku sungguh-sungguh.
Aku tidak bereaksi.
"Aku ingin kita sepakat bahwa tidak terjadi apapun di antara kita. Kita cuma menghabiskan malam bersama. Tidak ada rasa di antara kita, benar?"
Aku menggigit bibir bawahku, menahan amarah dan air mata yang ingin kutumpahkan detik itu juga. Rasanya ingin berteriak untuk menjawab pertanyaannya tapi dia tidak butuh responku, dia menganggukan kepala singkat lalu berpamitan pergi.
Tidak ada rasa diantara kita? Tidak ada?
Aku tertawa dingin, tawa itu diiringi oleh air mataku. Bisa-bisanya dia memutuskan sendiri bahwa aku tidak memiliki perasaan apa-apa padanya tanpa bertanya dulu. Tentu saja, iya, perasaanku memang tidak penting, yang terpenting adalah Laudya tidak tahu tentang ini, dia ingin aku bungkam.
Lalu bagaimana dengan aku, bagaimana dengan tubuh telanjangku yang ditinggalkan tanpa penghargaan, tanpa maaf, tanpa perbincangan? Aku tidak ada bedanya dengan kondom di tong sampah, habis dipakai dibuang.
Pada akhirnya gadis bodoh itu hanya bisa menangis di atas ranjang putih hotel murahan, menyesaki otak kecilnya dengan ribuan kata penyesalan.
***
Aku nggak pernah merokok sebelumnya tapi aku mendapati diriku membeli sebungkus rokok, mengisapnya terlalu dalam sampai terbatuk-batuk. Aku memeluk diriku di udara dingin pagi itu menunggu taxi online yang aku pesan.
Davi dan Laudya adalah pasangan kekasih junjungan netizen. Banyak orang menjadikan mereka sebagai potret pasangan yang ideal, mereka mendapat banyak support dari masyarakat dan lingkungan mereka. Davi adalah putra mahkota kerajaan Resapi dan Laudya adalah chef kebanggaan tanah air. Bayangkan di antara keharmonisan mereka berdua, ada gue si cewek murahan yang menghancurkan ekspektasi netizen tentang mereka.
Aku menyukai Davi itu benar, tapi aku nggak mau jadi penyebab kehancuran hubungan mereka. Jadi aku harus bagaimana? karena aku nggak sanggup untuk berpura-pura tidak terjadi apa-apa antara aku dan Davi, aku bukan perempuan gampangan, aku nggak tidur dengan sembarangan cowok. Astaga aku merasa berdosa sekali pada Lau dan juga diriku sendiri. Bisa-bisanya aku t***l!
Air mataku berjatuhan lagi di dalam taxi online menuju ke rumahku. Rasanya sedih sekali, hatiku hancur berkeping-keping, ekspektasiku yang terlalu tinggi telah menghancurkan diriku sendiri, aku membiarkan Davi menghancurkanku. Kemandirianku, keteguhanku, berujung begini?
"Maaf neng, apa neng baik-baik saja? Apa perlu lapor polisi?” tanya pak sopir.
Aku menggeleng sambil menangis.
Bapaknya memberikanku tissue. "Laki-laki ya?"
Aku tidak menjawab, tapi dia tahu jawabannya “Iya.”
"Laki-laki yang menyayangimu tidak akan membuatmu menangis seperti sekarang. Sudah lupakan saja! Besok matahari masih terbit dari arah yang sama, waktu masih berjalan, dia mungkin saja pergi tapi kamu masih disini. Anggap saja semua yang terjadi memang perjalanan hidup.” Si bapak supir itu mengangguk, sungguh-sungguh. "Yang paling pantas untuk disayangi itu adalah diri sendiri neng. Jangan jadikan orang lain sebagai tempatmu pulang. tubuhmu, pikiranmu dan apa yang ada pada dirimu sekarang adalah rumah"
Mendengar supir itu, aku menangis semakin dalam.
"Nangis saja dulu, hilangkan sakitnya, habis itu ambil perban tutup lukanya, jangan tengok ke belakang lagi. Anggap masa aja masa lalu."
Seandainya sopir itu tahu bahwa Davi tidak bisa tiba-tiba hilang dari kehidupanku karena kami berada di lingkungan pertemanan yang sama, apalagi tunangannya adalah sahabatku.
Ketika sudah sampai didepan rumah perhatianku langsung tertuju ke rumah Lukman. Lukman terlihat berdebat dengan seorang perempuan berscarf Kremes.
"Kondisinya tidak memungkinkan untuk dipindahkan," Lukman menjelaskan, dia terlihat menahan amarah.
"AKU BERIKAN KAMU HAK ATAS DIA LUKMAN, KAMU JADIKAN DIA…," seorang pria menarik ibu berKremes tersebut dengan hentakan cepat membuat perhatian ibu itu teralih. “APA-APAAN KAMU?”
“Kamu yang tenang, ini jam 4 pagi,” pria itu mengingatkan.
“Oh jadinya kamu mau aku diam saja melihat anakku? Kamu tahu keadaannya sekarang kan ? kamu lihat kan?”
Si pria tidak sanggup menjawab. Ibu tersebut beralih lagi ke Lukman.
"Maaf kan saya ini permintaannya. Saya nggak bisa melakukan apapun lagi."
"Sudahlah." Perempuan berscraft Kremes tersebut melepaskan tangannya ke udara menyerah. “Aku benar-benar muak sama kamu Man.” Dia berbalik, melihatnya sedikit menyeka sesuatu di pipinya dan kembali ke dalam mobil mercy.
Aku menggeleng, mencoba tidak peduli dengan apa yang aku lihat.
Aku tidak mau terlihat sebagai tetangga yang sok ikut campur, lagian hidupku sudah berantakan, hariku sudah buruk tingkat langit ke tujuh masih saja aku pengen ngurusin orang. Ada-ada aja. Aku berjalan ke dalam rumah.
***