LAGU KUTUKAN

1868 Kata
Surabaya. Hufft panas rek. Untung acaranya kelar cepat jadi gue bisa langsung cabut ke Jakarta. Besok masih ada job foto prewed anak pengusaha batu bara yang gue kenal di klub malam, klub malam itu tidak selalu mendatangkan mudarat terkadang mendatangkan rezeki juga. Gue ke Surabaya bareng Zya dan sekarang kami sedang menunggu pesawat yang akan membawa kami kembali ke Jakarta, di ruang tunggu bandara Juanda gue menceritakan kejadian kemarin ke Zya. Iya gue tahu Zya lemes, iya gue tahu dia anaknya suka ngejudge tapi dialah satu-satunya teman gue karena kalau boleh jujur meskipun punya banyak teman circle pertemanan gue motherfucker banget. Intinya Zyalah tempat terbaik untuk bercerita. "Bohong kan lo?" Selalu saja reaksinya seperti itu, sesulit itukah diri ini dipercayai. Ah.. Gue menganggukkan kepala sambil menyeruput macchiato yang baru gue beli. "Gue beneran." “Dari mana cunguk itu tahu alamat lo?” “Dih, apa sih yang nggak bisa dilakuin orang kaya..” “Bener juga.” "Davi datang dong jemput dia.." "Hah? terus lo sama Davi..," mukanya sudah mengharapkan sesuatu. “ciuman? apa lo ngomong sama dia kalo lo putus sama adiknya karena lo merasa bersalah soalnya lo nggak cinta adiknya tapi cintanya sama dia.” Bagaimana bisa dia ngarang sendiri sebelum gue selesai cerita? Ah, gue siram kopi juga ni bocah. “Nggak!” “Terus?” “Ya dia ke rumah aja jemput adiknya, itu doang.” Gue menyeruput lagi kopi gue. “Lagian gue putus sama Kemal alasannya bukan Davi, banyak hal, lo tahu sendiri lah Kemal anaknya kayak gimana, nggak cocok sama gue yang nggak bisa diatur.” Dia melempar punggungnya ke kursi dengan bahu merosot kecewa “Nggak seru.” Dia menonjok lengan gue, matanya berbinar penasaran “Tapi, tapi, kira-kira aja nih, Davi suka sama lo, nggak? Kita kan sebagai cewek tahu ya gerak-gerik cowok kalau suka ke cewek itu gimana.” Aku mencibir, mencoba menerka “Kayaknya nggak sih, karena kalau dipikir dengan kepala super logis, gue nggak ada apa-apanya dibandingkan Laudya. Lagian gue nggak mau ada drama-drama di antara gue dan Lau, kami sudah temanan dari SMA. Nggak lah, nggak mungkin banget Davi ada rasa sama gue.” “Berarti lo udah nyerah dong?” Gue menggeleng dramatis. “Gue kan sama sekali nggak pernah mengusahakan apapun.” Gue mengangkat bahu songong. Lagi-lagi perempuan yang namanya Zya ini mencibir tidak percaya. “Alah…nggak percaya gue,” sambil bergumam kecil dia kembali fokus ke layar hpnya. “eh..eh…SIGITA main di Alfa nih" Aku menoleh cepat, tersenyum najis padanya. "Nonton yuk!" Mood gue langsung naik. Gue senang banget sama live musik, selain suka musik gue juga suka mabuk bareng teman-teman, menggila di klub malam bersama adalah kebahagiaanku. "Syasya ngajakin, buka handphone mangkanya." Aku merogoh kantongku mengeluarkan Hp. Benar, ada pesan dari Syasya "Ini dia yang bayar nggak?" Aku tenggelam dalam setiap kata dalam pesan Syasya. "Ih dibayarin cong!" Aku menyenggol lengan Zya bersemangat. Dia menggeleng malas.”Nggak ah, gue mau istirahat, isi batre supaya bisa tempur besok masih ada kerjaan.” “Alah bilang aja lo males bareng cewek-cewek.” Gue tahu Zya merasa risih bersama Syasya, Kleo dan Ami karena mereka orang-orang kaya yang omongannya setinggi langit ke tujuh. Dan gue selalu nggak suka ketika Zya bertingkah insecure di tengah gadis-gadis yang mengandalkan uang orang tuanya itu. “Lo harus ikut! kalau nggak, gue akan cari asisten baru,” ancamku dengan mata pura-pura melotot. "Heh." Dia tersenyum miring. "Lo nggak akan memecat gue. Lo membutuhkan gue Jullien." Gue cuma mendengus. Serah lo deh! *** Si Zya emang sialan dia nggak ikut, dia mengirim gue ke rumah Syasya dan meminjam mobil gue buat balik pulang, katanya dia akan jemput gue besok pas kerja. Gue ke Alfa bareng Kleo, Syasya dan Ami, mereka adalah teman-teman satu tongkrongan gue. Gue kenal mereka ketika gue pacaran sama Kemal, karena sama-sama senang dengan dunia malam kami jadi sering hangout bareng. Gue nggak jelas sama pekerjaan mereka, menurut gue mereka bisa se-hangout ini karena mereka anak orang kaya. Di dalam mobil menuju ke Alfa klub mereka berisik banget, keknya banyak banget yang pengen mereka lakukan disana, kalau gue cuma pengen mabok dan dibawa pulang. Di tengah keributan cewek-cewek itu tiba-tiba Hp gue bunyi. Ada telpon puluhan kali dari Kemal. Bocah ini nggak henti-hentinya menghubungi gue. Iseng karena males ikut nimbrung percakapan Syasya dan yang lain gue membuka chat Kemal. Nih kelakuan kekasih kesayangan lo. Nyesel kan lo!! Dia mengirimkan foto Archie lagi mesra-mesraan sama cewek lain. Gue tersenyum sinis. Udah biasah! Kemal nggak tahu kalau sebenarnya gue nggak cinta-cinta banget sama Archie, apapun yang dia lakukan terserah lah, gue cuma butuh dia supaya gue nggak dikatain jomblo, perkara dia gonta-ganti cewek di belakang gue hal itu sama sekali nggak menyakiti perasaan gue. Gue mengirimi Kemal rekaman suara "Nggak nyesel lah..." Sepertinya dia makin membara, dia kembali menelpon. Ami yang duduk di sebelah gue terganggu dengan suara getar dari Hp gue "Siapa sih?" "Kemal," jawab gue. "Tu orang ya, nggak move on-move on." Gue tertawa sambil mengibaskan rambut ke belakang. "Siapa sih yang bisa move on dari gue?" "Woooo," seloroh cewek-cewek yang lain. "GO GIRL" Teriak Syasya. "Kita taklukkan semua cowok di Alfa!" "Nggak-nggak! Gue baru cerai, gue ke Alfa cuma mau senang-senang aja." Semangat kami semua dipatahkan oleh Kleo, si janda anak satu yang baru aja cerai. Ami mendorong bahunya, keliatan gemas pada Kleo. "Ngapain lo ikut sih, jaga anak aja sono." "Emang janda nggak boleh bahagia?" "Ya udah ikutin cara bahagia kita dong! Kita mau cari cowok nanti." Ami nyolot, si paling kesepian dan si selalu gagal dapat cowok. "Kalo lo mau gabung sama kita harus ikut gaya cepe-cepe kita." Gue berdaham "Gue juga nggak cari cowok, kalian aja, gue udah punya." "Alah si Archie." Syasya nyeletuk kesal. "Begok banget lo mau dikibulin dia." Ami memelototi gue dengan tajam."BUKA MATA LO," teriaknya ke muka gue. Lebay banget. "Lo aja yang buka mata lo biar hari ini nggak gagal dapet cowok!" Tawa Syasya membahana, gue berhasil menjatuhkan si ratu yang mau asik sendiri padahal selalu pulang paling kesepian. Kloe meluruskan "Udahlah pokoke happy-happy. Musiknya kan juga enak. Sigita Coy...SIGITA.." Seakan sudah mabok sebelum minum alkohol Ami berseloroh lagi, "ANJING MALAM INI RAMA BAKAL TIDUR SAMA GUE." Rama adalah vokalis Sigita dan kelasnya agak jauh dibandingkan kami semua, meskipun mereka-mereka ini anak orang kaya, gue yakin Rama nggak akan melirik kami semua. Apalagi, apa AMi bilang tadi ? Tidur bareng Rama? haha…, ngayal! *** Suara seorang Laksana Ramajati memang enak banget didengar, merdu-merdu berat khas suara cowok, syair-syair yang keluar dari mulutnya adalah mantra sakti yang menghipnotis semua orang di depan panggung. Kami semua ikut bernyanyi sambil membawa-bawa minuman haram di tangan, gue meneguk beberapa kali. Awalnya teman-teman gue ada di sebelah gue, sampai lagu ke dua kami masih saling berpelukan sambil bernyanyi lalu berselang di lagu ketiga mereka semua hilang. b******k! Secepat itukah mereka dapat cowok? Sedih sekali rasanya bernyanyi sendirian di depan panggung, gue pun memutuskan kembali ke table kami. Baru aja berniat untuk duduk manis menyeruput minuman keras sambil menyaksikan performer Sigita dari tempat yang lebih nyaman gue melihat sosok itu, Davi. Davi sedang bersama teman-teman cowoknya tanpa didampingi Laudya, dia berdiri tidak jauh dari meja gue, tatapannya ke arah panggung dan dia sedang memegang segelas vodka. Dia meneguk minumannya dalam-dalam. Keluarga mereka memang tukang minum sih, Kemal saja bisa minum sebotol Tequila tanpa benar-benar mabuk. Gue menutup muka karena takut dikenali, gue sengaja membelakangi supaya nggak ketahuan tapi tengsin juga karena Davi adalah pemandangan yang lumayan menyenangkan untuk diliatin. Dia berteriak-teriak bernyanyi seolah suaranya bagus, dan itu terlihat menggemaskan, tanpa sadar gue tersenyum juga. oh s**t! Reno, temannya mengenali gue. "DAV… DAV…, ADA JULLIE TUH." Reno menunjuk gue pakai puntung rokoknya. Wajah Davi sumringah melihat gue. Mau nggak mau gue melambai. Gue samperin nggak ya? Masalah etika nih, bisa aja gue pergi, lari atau pulang sekalian, tapi mau ditaruh di mana muka gue kalau ketemu dia lagi di tempat yang berbeda? Syukurnya, Davi yang nyamperin gue jadi gue nggak perlu gabung sama teman-temannya yang jail. Dia duduk santai di sebelah gue, dia meletakkan minumannya berdampingan dengan minuman gue. "Sama siapa? Kemal?" tanyanya iseng. Padahal dia tahu, gue risih sama adiknya yang masih nggak terima kalau kita udah putus. "Heh." Gue mendengus lelah. "Lo memang nggak pernah tahu adik lo kemana ya?" Dia tergelak. "Iya kali gue mau ngintilin si culun itu kemana-mana." Aku melihat ke belakangnya. "Tumben nggak bareng Lau?" "Dia lagi ngurusin testing menu restaurant barunya." Jadi Laudya sahabat gue itu adalah seorang chef terkenal, kalau kata Zya selebriti Chef, Laudya punya program di salah satu tv nasional dan dia terkenal buanget. Laudya adalah salah satu orang yang berjasa di karir gue, dia pelanggan tetap gue, dialah yang pertama kali memposting hasil makeup gue, dan berkat sosial medianya yang ajaib itu jadilah gue makeup artist seperti sekarang. Gue mencoba rileks dengan meneguk minuman gue sebelum lanjut ngobrol. “Jadi benar kabar itu, Lau mengakuisisi restaurant hotel bintang lima?" Davi hanya tersenyum kecil. “Hebat ya tunangan lo.” Davi tidak merespon sepertinya dia malas membicarakan soal itu, tatapannya jauh ke panggung dimana Rama sedang bernyanyi. Orang-orang mulai menyalakan flashlight di handphonenya. Lampu di klub mati total, untuk mendapatkan suasana galau yang mendukung. Wah, IOnya ide banget pakai acara matiin lampu! Pertanda lagu paling sakral milik Sigita yaitu Bisikan Hati akan dinyanyikan. Davi yang duduk di sebelah gue menyenggol lengan gue, mengingatkan gue untuk menyalakan flashlight juga, gue melakukan hal yang sama lalu kami larut dalam kegalauan lagu itu. Beberapa gadis mabuk menangis tersedu-sedu di pelukan laki-laki yang salah. Dan gue sadar bahwa gue udah rada mabuk, pening-pening mulai terasa di kepala gue. Tangan Davi nggak sengaja menyentuh tangan gue, spontan gue menarik tangan, gerakan gue itu membuat gelas di sebelah gue jatuh ke lantai, minumannya jatuh membasahi baju dan celana gue. "Ouch." Gue lantas berdiri. Suara di sani bising sekali, semua terlihat tidak jelas karena satu-satunya sorotan lampu tertuju ke panggung. "Gosh. No!" Davi ikut berdiri. "Nggak apa-apa kok." Dia panik menarik tissue di dekatnya, cepat-cepat memberikan padaku. "So bad! Lo harus hati-hati ini gelap. Ternyata benar ya lagu Sigita yang satu ini kutukan." Gue tertunduk tersuruk-suruk membersihkan baju dan celana pendek gue, ketika gue menengadah Davi berdiri sangat dekat dengan gue, itu membuat gue kaget dan sedikit terhuyung. Dengan gesit Davi menahan lengan gue, naasnya posisi gue jadi menempel di tubuhnya. Apa ini? "Gue nggak apa-apa." Saking gugupnya suara gue jadi serak. Jujur saja, gue nggak berani melihat matanya karena gue takut khilaf. Satu-satunya yang terlintas di benak gue ketika jarak kami sedekat ini adalah menciumnya. Davi itu impian yang tidak pernah menjadi nyata, jadi ketika melihat impian itu sedekat ini membuat gue sesumbar ingin meraupnya, mempertaruhkan segalanya. Tatapan Davi sangat intens mengarah ke bibir gue, nafasnya panas menerpa wajah gue. Suara Rama semakin lirih terdengar jauh dari kami. Keriuhan tempat ini kalah dengan suara jantung gue yang bertalu-talu. Satu tangan Davi naik ke bahu gue, berlahan bergerak ke rahang gue, Jarinya menyentuh bibir gue yang artinya dia menginginkan hal itu. "Dav..," panggilku mencoba mengingatkannya. Tapi sepertinya dia telah tuli, dia menunduk dan mencium gue sekali, dua kali, tiga kali, sampai gue sendiri bingung apakah ini nyata atau sekedar khayalan orang mabuk, mengingat gue sudah menghabiskan dua gelas vodka. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN