Kunyuk ini nyusahin gue banget, si Kemal tanpa tahu malu muntah di rumah gue yang baru sebulan gue tempetin. Muak nggak sih? Pengen buang anak orang ke laut, boleh? Mu gue kirim pakai peti kemas rasanya.
Gue berkacak pinggang menunggu dengung telpon. Gue sedang menelpon kakaknya Kemal, Davi namanya. Dia…hm…ehm…, dia cowok yang gue suka selama ini, begitu naasnya memang nasib gue eh malah pacaran sama adiknya yang ngerepotin. Davinya malah diambil sahabat gue Laudya.
Davi angkat dong! Gue memandang jijik pada Kemal yang terkapar di atas single sofa.
"Halo, malem banget nelponnya dek?"
Dak dek dak dek, panggil sayang ngapa? Anyway gue juga sudah memutuskan nggak akan pernah jadi adik iparnya. Kalau jadi miliknya.., hem, nggak mungkin juga, gue nggak sejahat itu bahagia di atas patah hati sahabat gue, gila apa!
"Adek pala lo!” Gue mamang sedekat itu dengan Davi, kami biasa nongkrong bareng jadi nggak ada jaim-jaim-an kayak temen aja. “Ini adek beneran lo ke rumah gue teriak-teriak gangguin tetangga gue dan sekarang dia muntah. Udah mabuk parah masih bawa mobil. Tolong dong dijemput nih. Ih," gue kesel banget kekesalan gue gak bisa dimanis-manisin meskipun itu di depan Davi.
Gue menoleh ke arah Kemal, gue sudah menggantikan bajunya pakai kaos bambi berwarna pink mencolok, agak ketat di badannya tapi gak apa-apa untung gue masih baik kasi dia baju ganti.
"Astaga." Aku mendengar tepukan, kayaknya Davi menepuk jidatnya sendiri.
"Gue bisa aja panggilin taxi online tapi masalahnya mobil adek lo ngalangin garasi mobil gue, ntar sore gue ke Surabaya. Gue gak bisa nyetir mobil manual segede truk tambang gini. Masak iya gue mau bangunin tetangga gue minta tolong. Ih, pokoknya gue gak mau susah deh, lo jumput adek lo nih.."
"Iya..iya.." Dia terdengar super sabar dengan segala keluhan gue, gue jadi merasa bersalah. Apa se-enggak punya hati itu kah gue?
"Oke gue tunggu."
Gue lantas mematikan telepon.
Gak lama Davi datang dengan tampang baru mandi yang super fresh. Bau sabunnya buat kepalaku gue mampet, selain itu caranya membawa dirinya yang kelihatan nyaman dalam berpakaian membuat daya tariknya jadi meluap. Kemeja putih lengan pendek yang gombroh ditambah celana pendek cocok banget dengan postur tubuhnya. Dia bertindik satu di ujung atas telinganya dan juga bertato di seluruh lengannya. Dia badboy idaman yang tidak akan mungkin gue miliki mengingat gue pernah tidur dan tinggal bareng adeknya selama dua bulan. Gue sudah haram banget deh buat dia. Gue tahu! Tapi gimana dong, gue masih aja deg-deg-an berhadapan sama ni cowok.
"Hai."
"Hai." Dia mengedipkan matanya.
Gue berusaha tenang, gue adalah perempuan sejati yang punya seribu topeng untuk menyembunyikan perasaan gue. Gue fake, ya gue tahu tapi terkadang itu diperlukan untuk mempertahankan harga diri. "Maaf ya, tapi ya gimana gue nggak punya pilihan lain." Lidah gue nggak kaku itu kok untuk bilang maaf karena memaksanya untuk menjemput adiknya kemari.
"Santai aja kale.., kayak orang lain aja lo." Dia menyenggol badan gue dengan lengan bertatonya. "Dia sayang banget sama lo tahu nggak?!"
Komentar itu tidak gue butuhkan untuk saat ini. Iya kali gue mau balikan sama adek lo. Sama lo mungkin! ah, apa sih gue. "Gue udah ada cowok," yang gue nggak cinta-cinta banget tapi mending sama dia daripada gue jomblo. Sudah hidup sendiri jomblo lagi kan pedih banget kek nya hidup gue.
Dasar Davi! Aku kira dia akan langsung membopong adiknya, yang pertama kali dia lakukan adalah mengeluarkan handphone dan memotret Kemal. "Estetik nih," komentarnya sambil tertawa terbahak-bahak melihat kaos bambi yang dikenakan Kemal, warnanya pink dan ketat. Davi jail banget ya sama adik sendiri. Tapi kalo adek gue se ngeselin Kemal gue bakal melakukan yang lebih parah sih.
Dia memfoto adiknya dari segala engle dan menambahkan aksesoris vas bunga yang diselipkan di karet celana Kemal seolah vas bunga dan bunga-bunga itu menyembul keluar dari perkakas Kemal.
"Jadi korban lagi vas bunga gue," keluhku melihat kejahilan Davi.
Cowok itu cuma berkedip "Ini tuh namanya bikin karya seni. Lo anak seni bukan sih?" Sekali lagi dia memotret adiknya. Dia melihat hasilnya dan terbahak-bahak sendiri.
Gue menggeleng-geleng.
"Post ah," serunya bahagia berhasil ngisengin Kemal.
"Gila lo," semburku "Udah sana, kalian berdua jangan ganggu waktu istirahat gue yang berharga." Gue mengayunkan tangan mengusir.
"Baik princes. Judes banget sih lo. Masalah hidup lo banyak banget ya kayaknya." Davi bergerak lebih dekat, ngebuat d**a gue berdebar, dia mengulurkan tangan, gue mundur mengantisipasi apa yang akan dia lakukan, ternyata dia cuma menyentuh jerawat di hidung gue. "Sedihnya.."
Gue seketika nutupin hidung gue karena insecure, yang tambah membuat seorang Davi terkikik. Dia balik ke adiknya menendang p****t Kemal "BANGUN LO BIKIN MALU KELUARGA BESAR AJA LO, CULUN BANGUN!" Dia teriak di telinga Kemal sampai anak itu berdiri tegak.
"Ape lo, berani sama gue lo?"
Yah belum sober juga. Davi menghela nafas dalam, berkacak pinggang kesal karena Kemal kembali merebahkan badannya di sofa kesayangan gue. Gue memilih bersandar di tembok menonton keromantisan kakak beradik ini. Davi menghentakkan lengan adiknya dengan kasar. "BERANI GUE, CEPET PULANG! GUE TELPONIN POLISI YA."
Kemal segera tegap berdiri. "Lapor pak!" Dia tiba-tiba hormat. Ya ampun, bodohnya si Kemal ini. Davi nggak memberikan Kemal kesempatan lagi buat duduk, dia segera mendorong adiknya keluar dari rumah gue, sambil cepat-cepat meraih kunci mobil Kemal di atas meja.
"BABYEH GUE PULANG DULU YA, CALL ME!" Kemal sekali lagi teriak di depan rumah gue.
Gila ni orang.
Davi mengerutkan wajah terlihat menyesal dengan kelakuan adiknya. Kemal didorong masuk ke dalam Jeep Rubicon berwarna kuning menyala, Davi duduk di belakang kemudi. Mereka pun pergi, akhirnya gue bisa menghela nafas lega.
Mas Lukman ternyata masih di terasnya, kami saling bertemu pandang, gue melambai dan tersenyum canggung, sekedar ingin menyapa agar tidak dibilang sombong. Rupanya dia sedang menelpon. Eh, eh., ko nyamperin gue? Ngemeng-ngemeng ini kan hari senin, kenapa bapak-bapak kantoran ini tidak bekerja?
Dia setengah berlari menyebrangi jalanan komplek ke arah gue. Enak banget melihat kaki jenjangnya menapaki aspal dan berlari ke gue. Ah…, andaikan dia tidak beristri pasti gue sudah membentangkan tangan minta dipeluk.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya khawatir.
"E-e-nggak," jawabku dengan wajah begok.
"Mereka keliatan kayak cowok nggak bener soalnya, takutnya mereka nyakitin kamu. Ya udah syukur deh." Dia mengangguk lalu secepat kalimatnya dia juga melambai berbalik kembali ke rumahnya. Hpnya kembali berdering dan dia mengangkat telepon, keliatan hektik dengan segala sesuatu yang berlangsung di dalam telepon itu.
Itu doang? Dia nyamperin gue cuma nanyain gue nggak apa-apa doang? Ah…