07 | Misi Gagal Lagi

1937 Kata
Jangan panggil aku Sonya Reinita kalau aku akan menyerah dalam sekali coba. Paling tidak, aku harus menemui tiga kali kegagalan beruntun sebagai tanda bahwa sesuatu yang sedang kuupayakan itu memang tidak ditakdirkan untukku. Kalau baru sekali kayak gini, itu namanya lagi sial aja. Saat Mbak Eli dan yang lain kembali ke kantor, mereka mengasihani aku dan Debby, lalu mereka ramai-ramai membicarakan kesan mereka makan semeja dan ditraktir oleh Pak Anggit. Dari yang kutanya bagaimana bisa Pak Anggit mentraktir mereka, rupanya sesimpel karena kebetulan Pak Anggit juga sedang makan di sana bersama beberapa stafnya, lalu Pak Anggit menyuruh mereka bergabung meja saja. Ya, rejeki di mereka, apesnya kena aku. Aku meletakkan satu kaleng makanan kucing dan dua botol minuman soda di atas meja kasir mini market samping kantor. "Mas Mas," panggilku selagi mas kasir itu memindai barcode belanjaanku. "Mas-mas yang yang biasa beli makanan kucing jam segini udah ke sini belum?" "Maaf, gimana maksudnya, Kak?" tanya lelaki tanggung itu. Aku menarik napas panjang, bersiap menjelaskan ulang. Namun tiba-tiba ingat, yang belanja ke sini kan bukan Cuma satu dua orang. Terlebih yang modelannya kayak Pak Anggit. Kecuali, modelan Pak Anggit itu kayak Nicholas Saputra atau suaminya Raisa, baru menonjol daripada yang lain. Mereka negur bule motoran di trotoar sama buang sampah saja jadi viral, coba kalau yang melakukan itu modelan Pak Anggit, siapa yang mau ngelirik sampai diam-diam direkam. "Nggak jadi, Mas." Aku mesem cantik. Usai membayar, aku keluar dengan langkah ringan. Jadi, skenarionya nanti adalah aku menciptakan sebuah kebetulan. Dalam bayanganku nanti, saat Pak Anggit datang, dia akan melihat aku sudah memberi kucing-kucing itu makan. Di belakangku, Pak Anggit akan terpaku menatapku dan melihat sisi lain dari diriku yang sebenarnya. Bukan sisi nyablak dan tidak sopan seperti pertemuan pertama kami di kantin. Lalu Pak Anggit akan penasaran, ingin mengenal aku lebih dalam. Sehingga selanjutnya Pak Anggit lah yang merancang misi mendekati aku, akunya nanti sok jual mahal, sok-sok menyuruh Pak Anggit melihat perbedaan kasta diantara kami. Justru itu nanti bikin dia merasa aku lah perempuan yang dia cari-cari, sederhana dan nggak matrealistis. Skenario sempurna, bukan? Sudah jam setengah enam, kalau berpatok pada kemarin, harusnya di sekitaran jam ini Pak Anggit akan datang. Aku jalan bolak balik gang, aku sudah lihat beberapa kucing, tapi belum aku panggil buat ngumpul. "Nya!" Aku terkesiap mendengar suara Bang Ical memanggilku. "Duit 10 ribu lo jatuh?" tanyanya meledek di dari dalam mobil yang bahkan cicilannya belum lunas itu. "Sembarangan," aku menyembur nggak terima. "Hush! Pergi sana." Bang Ical tertawa kencang. "Mau nebeng, nggak?" "Oh, nggak usah, udah bakal diantar sama seseorang." Kalau dia nawarinnya bukan hari ini, aku pasti langsung masuk tanpa diminta dua kali. Naik mobil gitu, kan lumayan nggak keanginan di jalan. "Lagu lo seseorang-sesorang segala, paling-paling juga adek atau nggak ojol." Heran, kenapa sih orang lain suka banget meremehkan aku. Aku melotot, baru saja buka mulut, sebuah klakson mobil di belakang mobil Bang Ical mengagetkanku. Dari yang tadinya kesal ke Bang Ical, malah ngumpatnya ke mobil itu. Bikin kaget saja. "Ya udah deh, semoga ketemu duit 10 ribunya ya, Nya. Dah..." Wajah menyebalkan Bang Ical hilang bersamaan dengan kaca mobilnya dinaikkan, lalu mobilnya pun bergerak pergi dari hadapanku. Hm, sabar-sabar. Ingat saja tujuan awalku. Kurasa ini sudah waktunya, aku mulai mendekati seekor kucing, mengajaknya ke tempat kemarin aku jongkok hadap-hadapan sama Pak Anggit. Begitu aku mengeluarkan makanan kucing, beberapa kucing lain langsung berdatangan. "Eh, jangan cepat-cepat makannya. Nanti Pak Anggit nggak kebagian lihat," kataku berharap mereka mengerti kalau aku tidak memberi mereka makanan karena aku baik hati. Aku merasa seperti malaikat bersayap melihat kucing-kucing ini makan degan lahap. Tunggu, aku menajamkan semua keenam indra yang kumiliki. Aku merasakan derap langkah seseorang di belakangku dan sekarang tidak ada pergerakan. Bagus, aku men-checklist bagian Pak Anggit diam terpaku. "Oh, jadi elo yang bikin makin banyak kucing-kucing gelibetan di sini nyolongin ikan dagangan bini gue." Sontak aku berbalik kaget lantaran itu bukan suara Pak Anggit yang kalem. Lebih kaget lagi, ternyata itu suara lelaki paruh baya berbadan tambun. Dia berkacak pinggang dan tatapannya seolah ingin melumatkan aku untuk dijadikan makanan kucing-kucing itu. "Bener-bener ini perusahaan ya, nggak peduli sama usaha kecil di sekitar. Udah dibilangin jangan bikin kucing keliaran di sini, masih aja nggak didengerin. Untung gue nggak tungguin, bener kan." Sekarang aku yang terpaku jadinya. Lebih tepatnya terkaget-kaget sampai bengong dan nggak tahu mesti gimana atau mau ngomong apa. "Heh! Lo tahu nggak, sejak lo ngasih makan ini kucing tiap hari, mereka jadi keluaran di sini. Bikin yang biasa makan di warung bini gue pindah ke warung depan. Kalau mau jadi malaikat kucing, bikin sana penampungan kucing sekalian. Jangan ngerusak usaha orang!" Perlahan aku berdiri, mau menjelaskan kalau aku baru pertama kali ini ngasih makan kucing. Tapi tiba-tiba, Byur! Setimba air dilemparkan ke badanku, membuatku megap-megap sesaat lupa cara napas. "Kelamaan, Pak. Siram aja sekalian biar kapok." Astagfirullah hal adzim. Saking kagetnya aku mau teriak atau nangis nggak bisa. Kucing-kucing sialan itu udah kabur nggak tahu kemana, malah aku yang kena siram, seolah aku lah yang tertangkap basah mencuri ikan. Tanpa merasa bersalah, istri pak tambun yang menyiramku berkata lagi, "awas kamu ya, kalau besok masih saya lihat ngasih makan kucing di sini lagi. Dah yuk, Pak pulang, dalangnya udah ketahuan." Pasangan itu pergi, bersamaan dengan satpam pintu belakang berlahiran menghampiriku. "Mbaknya nggak apa-apa?" Saat itu lah kesadaranku perlahan terkumpul. Bajuku basah kuyup, wajah dan sebagian rambutku juga kena cipratan. Untung aku pakai singlet dalaman, sehingga nggak langsung nemplok kutang. Beberapa karyawan yang mau pulang sengaja menurunkan kecepatan kendaraan mereka demi melihat aku. Semoga aja nggak ada orang office diantara mereka yang lewat itu. "Mbak sih, udah tahu banyak warung di sini, masih aja ngasih makan kucing di sini. Tadi si Bapak udah marah-marah ke saya, tapi udah saya terusin jadi keluhan biar dibuat jadi pemberitahuan resmi." "Ya Allah, Pak, ini saya masih gemeteran, masih aja disalahin. Kasih saya minum atau apa kek." Aku merengek tapi nggak bisa nangis. "Mbak mau minum? Tunggu sebentar, saya ambilin di pos." "Nggak usah!" Pak satpam itu tidak jadi beranjak. Siapa juga yang bisa nelan air setelah aku dipermalukan begini. "Lho tadi katanya mau minum." Sialan banget. Anggito yang berbuat, masa aku aku yang bertanggungjawab. "Kakak Sonya!" Meihat Debby tergesa memarkirkan motor dan berlari panik menghampiriku membuatku menangis kencang. "Kakak kenapa? Kok bisa basa kuyup, kan nggak hujan." Debby mundur lagi sambil menjepit hidung, tidak jadi meraih tanganku yang menggapai-gapai tangannya. "Ih, bau banget." Sontak saja tangisanku makin menggila. *** Bodo amat. Aku tidak peduli Debby akan masuk angin motoran nggak pakai jaket, karena kalau aku peduli sama dia, nggak ada juga yang bakal peduli sama aku. Mending berlagak nggak punya hati, daripada aku yang sakit hati. Aku keluar dari kamar mandi karyawan, badanku sudah bau sabun Lifebouy batangan yang dibeli Debby di warung terdekat. Kami terpaksa masuk lagi ke kantor untuk pinjam kamar mandi, aku nggak bisa pulang dalam keadaan cindil dan bau terasi. Sumpah si Ibu-ibu itu niat sekali nyiram aku. Air yang disiramkannya bukan air bekas cuci piring, apalagi air comberan. Baunya seperti terasi mentah yang dilumatkan. Iyuh. Yang nggak tertolong sih bajuku, aku langsung membuangnya karena baju dan baunya menimbulkan perasaan traumatis. Sementara celana masih bisa dipakai karena warnanya hitam, nggak apa bau-bau sedikit. Aku membuat Debby bersumpah atas nama Allah kalau dia nggak akan ember ke orang-orang kantor. Aku tambahin juga, kalau sampai dia ember, selain dapat adzab dia juga akan seret jodoh. Biar mampus. Di mata masyarakat, jodoh kan pencapaian hidup. Dan sekarang anak ini ngakak setelah tahu alasanku ngasih makan kucing. Aku tahu aku harusnya simpan itu serapat aku menyimpan aib, tapi entahlah, kalau lagi kesal kan bawannya ingin curhat. Setelah kupelototi, Debby akhirnya meredakan tawanya. "Maaf, maaf, Kak." Debby berdehem, berusaha meredam tawanya. "Maaf, habisnya Kak Sonya mau caper aja sampai segitunya." "Eh, ini tuh bukan sekadar caper. Tapi juga pencitraan, tahu!" Aku membela diri, soalnya kesan yang kutangkap dari omongan Debby itu kesannya yang kulakukan rendahan banget gitu. "Kalau asal caper nggak pinter, itu namanya ganjen." Debby manggut-manggut, baru tercerahkan. "Terus kenapa capernya mesti pakai cara itu, Kak?" Aku memutar bola mata. "Masa yang begituan masih kamu tanya sih, Debby Baby. Ya biar dia lihat aku punya hati yang lembut, sama kucing dekil aja sayang, apalagi sama dia yang dekilnya hampir-hampir sama." "Astagfirullah Kak, masa Pak Bos dikatain dekil. Katanya naksir." "Loh, justru karena gue naksir dia apa adanya. Makanya kekurangan dia di mata gue jadi biasa aja." "Oh, gitu... Bisa, bisa." Aku berdecak remeh. "Ah, lo mah nggak ngerti apa-apa, Deb. Udah yuk, pulang. Lo jadi anterin gue, kan?" Aku berdiri sambil merapikan tasku. "Jadi. Tapi nanti kita mampir beli bensin dulu ya, Kak, beli bensin eceran aja karena malu ngante di Pom belinya cuma 10 ribu." "Astaga, iya tenang. Nanti gue yang bayar bensinnya." "Eh, nggak usah, Kak. Nggak apa-apa." Aku mengibaskan tangan. "Udah, sama gue biasa aja. Nggak usah jaim, gue bisa tangkap maksud lo apa." Di depanku sepik-sepik macam itu nggak perlu. Selama ini belum pernah ada yang tulus mau kutebengi, paling sekali dua kali kalau terjepit situasi dan kondisi. Kalau cowok, biasanya niat mereka lebih ke modus. Bahkan Putra aja masih sering menggerutu, bilang aku ngerepotin padahal dia udah kubayar. Dari bensin, uang jajan, UKT, sampai semua-muanya yang nempel di badan dia, aku yang tanggung. Kurang baik apa coba aku sebagai Kakak, Putranya aja yang jadi adik kelewat nggak tahu diuntung. Kalau nggak ingat dia satu-satunnya saudara kandung yang akan jadi wali nikahku nanti, mana sudi aku sesayang itu sama dia. "Eh, tunggu Kak," Debby berlarian kecil menyusulku, membuat langkahnya menggema di lorong yang sepi ini. "Terus, terus, Kak? Setelah kejadian ini, kapok mau caper lagi?" tanya Debby mensejajari langkahku. "Oh ho, tidak semudah itu, Debby Baby." Kejadian tadi memang memalukan dan menyakiti harga diriku, tapi aku aku masih punya sisa jatah gagal satu kali lagi. Aku akan memanfaatkan itu sebaik mungkin. "Jadi, mau lanjut misi capernya?" Aku mengangguk mantap. "Caranya?" "Hm, belum tahu. Mesti aku rancang dulu matang-matang, biar nggak gagal lagi." "Ngomong-ngomong, apa yang bikin Kakak naksir sama Pak Anggit. Kenal aja belum. Karena kaya, ya?" "Astagfirullah, Debby tega banget." Aku menyentuh d**a, berlagak terhina dengan ucapan Debby. Debby panik menutup mulut. "Bukan gitu maksudnya, Kak... Gimana ya, aduh, sumpah nggak maksud bilang Kak Sonya cuma mau ngejar harta Pak Anggito doang. Maksudnya, aduh apa, ya..." Aku mempercepat langkahku, sengaja pura-pura merajuk biar Debby bingung sendiri cari penjelasan. Sekaligus mengamankan harga diriku. Nggak mungkin, dong, aku ngaku di depan Debby tebakannya benar. Yang kutaksir dari Pak Anggit tentu saja hartanya. "Eh, Kak Sonya tunggu!" Di belakangku, Debby lari-lari kecil berusaha mensejajarkan langkah. Saat akan berbelok ke arah pintu keluar, aku refleks mengumpat kasar karena seseorang menabrakku. "Anj— Eh, Astagfirullah." Untung kata laknat itu belum terucap. Aku gelagapan dan mengambil langkah mundur, menjauh sejauh mungkin dari Pak Anggit. Gila saja, rambutku lepek dan masih asa selentingan bau terasi. Pak Anggit orang terakhir yang boleh melihat aku dalam keadaan begini. "Maaf, Pak," ucapku menundukkan kepala sedalam-dalamnya. "Enggak, saya yang salah tadi jalan sambil lihat handphone. Saya yang minta maaf." Pak Anggit menatap sekali padaku dan Debby bergantian, lalu berlalu begitu saja setelah memberi aku dan Debby anggukan kecil bergantian. Aku masih memandangi punggung Pak Anggit yang seperti biasa, dibalut jaket biru dongker kebanggan Nitiharta, saat Debby menggoyangkan lenganku. "Dia, kan, Kak?" "He eh." Aku belum mau diusik dari mengagumi betapa low profile-nya bos baruku ini. Bagaimana pun juga Pak Anggit harus jadi suamiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN