08 | Sonya Bau

1985 Kata
Dua lipatan ketiak, tengkuk, punggung, d**a, pergelangan tangan, hingga dengkul. Aku memastikan tidak ada bagian yang belum kena cipratan cairan parfumku. "Mput, lima menit lagi gue keluar. Gue udah telat, nih, buruan bangun!" aku teriak dari dalam kamar, harus begitu supaya Putra nggak saling tunggu-tungguan. Biasanya, Putra sering sengaja berlama-lama di kamarnya, seperti nggak ikhlas mengantar kakaknya kerja. Aku mematut penampilanku di depan cermin sekali lagi sebelum menenteng tas jinjingku. Cantik, sih, memang make up natural adalah yang terbaik. Tetap saja, aku kangen pakai lipstik merah dan pakai blush supaya pipiki pinkish-pinkish manis. Aku mengembuskan napas. Tahan aja, Nya. Anggap ini bagian dari perjuangan menjerat Pak Anggito. Brem! Aku memejam kesal, dasar si Putra. Jika aku akan langsung menggedor pintu kamarnya kalau dia membuatku menunggu, maka Putra akan memanasi motor dengan ngegas supaya aku buru-buru keluar. Setelah yakin tidak ada barang yang tertinggal, aku pun langsung keluar. "Ma, coba cium bau aku. Udah wangi, kan?" Dengan sedikit kurang sopan, aku mengangkat tinggi tangan kananku, mendekatkan ketiakku di dekat hidung Mama hingga Mama memukulku sambil menyuruh menjauh. "Kamu kerja apa sholat jumat?" "Berarti udah wangi, ya?" "Kamu bisa bikin teman satu kantormu pingsan pakai parfum sampai begini baunya." "Mending bau parfum, daripada bau terasi." Buru-buru aku menyalimi tangan Mama dan mencium pipinya, sebelum berlarian kecil karena semakin lama deruman motor Putra makin kencang. Putra batuk dua kali saat aku duduk miring di atas boncengannya karena hari ini aku memakai rok span di bawah lutut yang amat sangat sopan tapi elegan. "Lo mandi parfum apa gimana, sih, Kak?" decak Putra menoleh dengan wajah kesal. Aku mengendus-ngendus bau badanku sendiri. "Masa separah itu, sih? Ah, lo aja lebay." "Ck, makin aneh aja lo tiap hari." Aku memukul pundak Putra. "Udah, langsung jalan aja." "Nggak usah perintah-perintah! Gue bukan ojek!" Astaga, aku cuma bisa menghela napas dan memutar bola mata malas. Tiap mau bersyukur punya adik, selalu nggak jadi. Buat apa punya adik kalau nggak bisa disuruh-suruh? Aku tiba di kantor mepet sekali dari jam 9, aku harus berjalan cepat supaya bisa mengisi kehadiran tepat waktu. Di depan lift, segerombolan karyawan sedang menuggu pintu lift terbuka. Ada Bang Ical juga di deretan paling belakang, dia langsung menyambutku sumringah. Mood-nya terlihat sedang baik, mungkin semalam dapat jatah banyak. "Gimana kabar lo, Nya?" Aku berjengit aneh. "Apaan, sih? Kayak baru ketemu aja." "Ya terakhir gue ketemu sama lo, kan, sore, Nyam Mana tahu setelah gue pulang atau malamnya lo kenapa-kenapa." "Dih, nggak jelas," aku mencibir. Sejurus kemudian pintu lift berdenting terbuka, semua orang masuk teratur. Aku dan Bang Ical menjadi yang paling terakhir. "Ehem," Bang Ical berdehem sambil menggogosok-gosok hidung. "Kok kayak ada bau-bau apa, gitu. Lo habis sarapan terasi, Nya?" Aku melotot lebar, satu lift kini memandangku. Aku melihat beberapa ada yang hidungnya kembang kembis seolah sedang mengendus sesuatu. Aku tertawa garing. "Ya yali sarapan pakai sambal terasi, bisa-bisa diare gue." "Tapi, kok—" "Tunggu," aku sontak menahan pintu tang hampir menutup mendengar suara Debby. "Yah, udah penuh, ya?" desahnya dengan napas terenggah-engah, sepertinya dia habis lari dari parkiran ke sini. "Lo ke atas duluan, deh." Aku keluar dan sedikit mendorong tubuh Debby untuk mengisi spot kosong yang kutinggalkan. "Eh, tapi, Kak—" "Udah, nggak apa-apa. Daripada lo kena marah Mbak Eli." "Wah..., terima kasih, Kak Nya." Aku cuma tersenyum supaya terlihat seperti senior bijaksana, dalam hati perharap lift cepat-cepat menutup supaya aku nggak perlu lihat wajah usil Bang Ical. Apa-apaan coba nyinggung-nyinggung bau terasi segala. Begitu lift menutup, aku melirik sekitar yang untungnya sedang tidak ada orang. Ku mengendus-endus bau badanku. Masa, sih, bau terasinya masih tertinggal? Perasaan kemarin aku sudah mandi ulang, aku bahkan sampai sabunan dua kali dan rasa-rasanya keramas menghabiskan setengah botol shampo. Tapi, jika bau itu sudah hilang, bagaimana Bang Ical bisa mencium bau terasi? Nggak mungkin Debby ember, secara dia saja baru datang. Tak mau ambil risiko, aku mengeluarkan botol parfumku. Aku mengangkatnya tinggi ke belakang, mungkin saja baunya tertinggal di rambut. "Uhuk!" Mendengar suara laki-laki terbatuk, sontak aku memutar badan dan betapa terkejutnya aku saat tahu yang batuk dan tengah mengernyit itu Pak Anggit. "Aduh, aduh, Pak. Maaf. Saya nggak sengaja." Cobaan apa lagi ini, ya Allah? Kenapa kebetulan yang melibatkanku dengan Pak Anggit selalu menempatkan aku dalam kondisi terburuk? Sedangkan dari kemarin aku berusaha caper—cari perhatian, nggak ketemu-ketemu. Pak Anggit memandang aku kesal. "Kalau seperti itu cara kamu pakai parfum, sebaiknya lakukan di tempat sepi supaya nggak nyempot kena orang lain." Aku menunduk penuh penyesalan. "Iya, Pak, saya minta maaf." Pak Anggit mengibaskan telapak tangannya di depan hidung seolah ingin menyingkirkan sisa bau parfumku. Dia kemudian beranjak ke depan lift direksi yang tepat berada di sebelah lift biasa. Aku belum bergerak sampai pintu lift Pak Anggit terbuka, sebelum dia masuk, Pak Anggit menoleh lagi padaku sambil berkaya, "kamu udah cukup wangi, jangan pakai parfum lagi." Perlahan kepalaku terangkat, apa itu tadi? Pak Anggit bilang aku wangi? Saat sadar dari keterpakuanku, Pak Anggit sudah keburu masuk ke dalam lift-nya. Hah, padahal aku belum mengucapkan terima kasih. Saat tiba di ruanganku, Bang Ical dan yang lain sedang tertawa-tawa mengerubungi meja Bang Ical. "Morning," sapaku seperti biasa. "Wih, gue ketinggalan berita apaan, nih?" "Justru kita, Nya, yang ketinggalan berita," sahut Mbak Lia. "Hah?" "Kok bisa, sih, Nya?" "Apaan?" Aku benar-benar nggak nyerti maksud Mvak Lia dan kenapa juga empat kepala itu pada ngeliatin aku sambil ketawa-ketawa geli. Mas Ical, apalagi. "Nggak apa-apa. Jangan kapok jadi manusia baik, ya, Nya?" Tahu kalau aku nggak akan dapat pencerahan dari Bang Ical, Mbak Lia, Guntur, dan Femmy, aku melarikan tatapanku ke arah Debby yang duduk kaku di mejanya. "Deb, ada apaan, sih?" "Eh? Anu..." "Gimana rasanya disiram air terasi?" tembak Bang Ical yang disusul tawa satu ruangan, termasuk Debby yang sempat tertawa dua detik sebelum sadar sedang dipelototi. Debby menggeleng-gelengkan kepala dengan panik. "Enggak, bukan aku, Kak." "Kalau bukan lo terus siapa?" Oh, begini ya rasanya dikhianati orang yang kelihatannya polos? "Bukan, Kak... Sumpah. Aku aja baru sampai. Sumpah bukan aku." "Sonya...," seru Mbak Eli yang baru datang, "katanya kamu disiram Bu Yuni pakai air terasi, gimana bisa?" "Tuh, kan, bukan aku satu-satunya yang tau, Kak." Debby masih mencoba membela diri di saat aku ditenggelamkan oleh tawa puas Bang Ical dan yang lain. Aku hanya bisa duduk di kursiku dan menenggelamkan wajahku di atas meja. Ya ampun, malu sekali rasanya. "Orang satpam di belakang tadi ngasih tahu ke semua orang supaya nggak ngasih makan kucing di gang sebelah, kalau nggak mau disiram pakai air terasi kayak kak Sonya." "Hah?!" Aku terbelalak. "Itu artinya..." "Yap," sahut Bang Ical. "Semua yang lewat pintu belakang tahu." Kurasakan tepukan di punggungku. "Udah, santai aja, Nya. Lucu, lagi." "Diam, lo, Bang." Aku menepis tangan Bang Ical supaya menjauh tapi bentakanku justru bikin tawa dia makin menjadi-jadi. Ya Allah apa yang harus aku lakukan? *** Sepertinya, aku adalah manusia paling tidak beruntung di dunia. Seharian aku malu menampakkan diri keluar karena trauma sama jika mendengar seseorang mengatakan kata 'terasi'. Entah sudah ada berapa orang mongokkan kepala ke ruanganku hanya untuk mencari aku dan bertanya bagaimana kronologi lengkapkan sampai aku bisa kena siram air terasi. Sialan sekali di gendut itu. Dia membuat usahaku mendi satu jam di kamar mandi, menggosok kulitku dengan scrub lulur hingga merah-merah demi menghilangkan bau terasi jadi percuma karena kini semua orang sudah tahu kejadian laknat itu. Bagaimana jika Pak Anggit juga tahu? Ah, tapi Pak Anggit tidak perlu aku cemaskan. Bos besar seperti dia, tidak punya waktu mengurusi aib salah satu dari total ribuan karyawannya. "Lo yakin nggak mau ikut?" Aku melirikkan mataku sekilaa ke arah Femmy yang untuk kedua kalinya mengajak aku ikut makan siang dengan mereka ke kantin. "Enggak, nanti meja kalian bau terasi," dengusku sengaja sambil melirik Bang Ical yang sepanjang pagi ini nggak terhitung berapa kali nyebut-nyebut kata terasi. Jadi lah aku di ruangan sendirian sembari menunggu OB yang kumintai tolong, datang membawa makananku. Akh sedang scrolling-scrolling laman aplikasi belanja online, cuci mata melihat dress-dress semi formal yang lucu-lucu, tapi kegiatanku diganggu oleh telepon Mbak Eli. Dengan malas aku pun menjawabnya, "halo, kenapa, Mbak?" "Nya, lo masih di kantor, kan?" "Iya lah, memangnya gue bisa ke mana lagi?" dengusku sebal. Aku yakin, mereka sekarang masih membicarakan kesialanku. Ada aku aja mereka nggak sungkan ketawa, apalagi dibelakangku. "Bagus. Masuk ke ruangan gue, dong, Nya, ambil map biru di meja gue. Isinya proposal program kita. Kamu bawa itu sekarang ke ruangannya Pak Dirga, ya, sudah ditungguin sama dia." "Sekarang banget? Nanti aja lah, suruh si Debby. Lagian, biasanya Mbak Eli yang menghadap sendiri. Nanti kalau Pak Dirga nanya-nanya aku, gimana?" "Ya, tinggal dijawab aja. Ini perintah ya, Nya, jangan kurang ajar nawar-nawar. Udah, cepetan sana. Pak Dirga udah nunggu." Kalau sudah mengeluarkan kata-kata perintah, artinya Mbak Eli benar-benar nggak mau dibantah. Dengan terpaksa aku melakukan apa yang disuruhnya. "Nya, kabar baik, Nya?" sapa Pak Edo, manajer divisi sebelah kebetulan berpapasan denganku di lorong. Aku berjalan tanpa toleh kanan kiri karena sedang nggak minat beramah tamah seperti biasanya. Tiba di depan ruangan direktur, aku nggak lihat sekretaris Pak Dirga ada di mejanya. Mungkin sedang makan siang juga, sehingga aku langsung saja ketuk pintu ruangan Pak Dirga. Begitu mendengar sahutan dari dalam, aku lantas membuka pintu perlahan. Ternyata di dalam ruangan itu Pak Dirga tidak sendiri, ada Pak Anggit yang serius nemangku laptop tanpa ter8nterupsi oleh kehadiranku. "Eh, Nya, bawa proposal yang saya minta dari Eli, ya?" "Iya, Pak," jawabku sambil jalan mendekat dan mengulurkan map yang kubawa ke Pak Dirga yang duduk di sofa bersama Pak Anggit. "Terima kasih, Sonya." "Sama-sama, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu." "Eh, tunggu, bau apa ini?" Sial. Aku memejam rapat dan berdiri kaku, tolong jangan biarkan kata terasi masuk ke telingaku lagi. Sungguh, ledekan Bang Ical dan Guntur saja sudah cukup menganggu. Pak Dirga tidak mungkin sekurang kerjaan itu sampai tahu tragedi terasi yang menimpaku. Pak Dirga mengendus-endus aroma sekitar penuh konsentrasi, makin lama makin mendekat ke Pak Anggit hingga membuat Pak Anggit mendorong wajah Pak Dirga menjauh. Aku tersenyum kecil, mungkin karena mereka bersepupu makanya alih-alih atasan dan pembantunya, di mataku mereka lebih terlihat seperti teman belajar kelompok. Senyumku mendadak hilang saat endusan Pam Dirga mendekatiku. "Eh eh, Pak, ngapain?" Aku sontak menjauhkan badan dan refleks saja menyilangkan tangan di d**a. Membuat Pak Anggit yang tadinya cuma fokus memantengi layar laptopnya, kini mendongak penasaran. Pak Dirga menatap aku dan Pak Anggit bergantian, pun dengan telunjuknya yang menunjuk kami bolak balik. "Wah, ada apa ini? Kok bau parfum kalian sama?" Mataku melebar, sontak aku melirik Pak Anggit hanya karena ingin tahu reaksinya dan ternyata dia cuma memutar bola mata malas seolah perkataan Pak Dirga konyol dan tidak penting ditanggapi. Aku cuma bisa tertawa canggung. "Hidung Bapak mungkin lagi bermasalah," dalihku, padahal dalam hati ketar-ketir. Apa semprotan parfumku yang tak sengaja mengenai Pak Anggit tadi masih menempel di badannya. "Iya, bener. Coba kalau kalian berdiri sebelahan, orang yang nggak kenal kalian pasti ngira kalian suami istri." "Ya ampun, Pak Dirga bisa aja." Iya, bisa saja bikin aku malu tapi senang. "Saya permisi dulu kakau begitu, Pak." Kemudian aku melirik Pak Anggit yang dengan cepat kembali tenggelam di pekerjaannya. Uh, aku suka laki-laki dingin-dingin misterius begitu. "Saya permisi, Pak Anggit," pamitku demi kesopanan sekaligus dia melihat wajahku untuk terakhir kalinya sebelum aku keluar. "Hmm." Namun, Pak Anggit hanya bergumam panta sedikit pun menaikkan pandangan. Aku mengembuskan napas kecewa. Meski tahu sulit dan tampak mustahil, setidaknya aku ingin mencoba peruntunganku sampai akhir. Saat berpaling, tanpa sengaja aku melihat Pak Dirga menatapku jenaka sambil menaik-turunkan alis. Aku mengerutkan kening, tapi tak bertanya apa maksudnya. Jangankan Pak Anggit, aku sebagai karyawan Pam Dirga saja sudah maklum di waktu-waktu tertentu Pak Dirga seringkali bertingkah konyol. Entah apa yang ada di pikiran Pak Dirga sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN