06 | Misi Pertama Gagal Total

2465 Kata
Putra menurunkan aku depan gerbang kantor. Begini lah nasib orang yang tidak bisa naik motor, nggak bisa kemana-mana sendiri. Mau naik mobil, tapi nggak punya. "Gue jemput jam berapa?" tanya Putra cemberut. Agar tidak bolak-balik, dia yang mestinya kuliah jam 10, ikut berangkat denganku sebelum jam 9. Begitu pun kalau jemput. Kalau lagi malas berengkar, aku lebih sering naik ojol. "Nggak usah." "Bener, Nih? Awas aja entar kalau minta jemput dadakan." "Iya... Nggak usah," jawabku enteng. Sangat yakin tidak butuh dia hari ini. "Udah sana pergi." Putra nggak mau ambil pusing, dia langsung pergi begitu kusuruh. Beberapa karyawan yang tidak membawa kendaraan juga langsung masuk lewat gerbang utama, sementara yang bawa kendaraan harus lewat gerbang belakang. Tepat saat aku berjalan melewati pos penjagaan, sedan hitam melintas di sampingku. Mobil itu berhenti langsung di depan lobby. Dengan sigap satpam yang berjaga langsung membukakan pintu belakang dan memberi hormat pada Pak Bos Anggito. Pak Anggit langsung masuk setelah menjawab sapaan ramah satpam itu. Aku mempercepat langkahku, aku juga mau memberi sapaan hormat padanya. "Mbak Sonya, hati-hati." Pak Opik, satpam itu terpekik kaget saat aku nyaris terpeleset. Aku melambai padanya sambil lalu. Kulihat Pak Anggit masih berdiri menunggu pintu terbuka di lorong lift, namun sedetik kemudian pintu lift khusus direksi terbuka dan dia menghilang di dalamnya tanpa sempat aku menyapanya. Aku menghembuskan napas pendek. Seandainya tadi aku nggak pakai hampir kepleset segala. Aku berjalan gontai dan menuju lift khusus karyawan bersama Mbak Eli dan Bang Faisal yang sudah lebih dulu di sana. Aku menyapa mereka sekadarnya, lalu mereka lanjut ngobrol lagi entah aku nggak peduli. Pintu lift terbuka, aku masuk lebih dulu dan merapatkan badan di dinding. Berusaha mengumpulkan lagi semangat menggampao mimpi. "Kenapa lo?" Mbak Eli menatap diriku aneh dari ujung kepala hingga kaki, terus balik ke kepala lagi. "Sakit?" "Enggak." "Tumben pucat," komentar Mbak Eli. "Menurut gue malah kelihatan kayak anak magang," sambung Bang Faisal. Tabung lift ini akan membawa kami ke lantai 5 dimana kantor kami berada. Mendengar pendapat mereka akan penampilanku, aku lantas memerhatikan refleksiku dari pantulan dinding lift. Tidak ada yang aneh. Hari ini aku memang memakai blus putih dengan bahan ringan dan celana panjang hitam dengan model menggantung di atas mata kaki. Mungkin itulah kenapa Mas Faisal bilang aku kayak anak magang, lalu kenapa aku pucat, karena aku nggak pakai lipstik berwarna dan blush on. Aku cuma memakai cushion tipis-tipis, liptint di bibir bagian dalam, dan alis untuk membingkai wajahku. Bukan cuma Mbak Eli yang keheranan, saat berangkat tadi Ibu juga bilang wajahku terlihat seperti orang panas dalam. Karena biasanya aku memang nggak pernah polosan begini. Aku sangat suka lipstik, segala jenis dan merek yang direkomendasikan Tasya Farasya pasti aku punya. Blus putih ini pun sebenarnya baju jaman aku kuliah, sejak bekerja, aku suka memakai baju-baju berwarna dengan potongan lucu. Kayak ala-ala Korea gitu. Ah, menurutku penampilanku hari ini sempurna. "Menurut Mbak Eli sama Bang Ical, selain kayak orang sakit sama anak magang, penampilanku gimana?" tanyaku tepat saat pintu lift berdenting terbuka di lantai yang kami tuju. Mbak Eli dan Faisal melangkah keluar dulu dan melihat aku sekali lagi. Aku senyum-senyum semanis mungkin, menunggu jawaban mereka. "Kayak sales obat pucat kepanasan keliling nawarin barang tapi nggak ada yang minat," jawab Faisal sambil berlalu. Aku mencebikkan bibir. Jelas bukan itu jawaban yang ingin kudengar. "Kalau Mbak Eli?" Aku menagih jawaban dari Mbak Eli yang kuharao berbeda. "Aku udah kelihatan sederhana dan bersahaja, belum?" Mbak Eli menyipitkan mata, ekspresi tiap kali dia mencium sesuatu yang nggak beres tapi belum yakin apa itu. "Yang jelas ini bukan lo banget. Apa pun rencana lo, Nya, awas aja kalau sampai aneh-aneh." Bagaimana dia bisa tahu aku sedang merencanakan sesuatu? *** Mbak Eli benar, ini bukan diriku. Setiap kali tidak sengaja melihat cermin kecil yang sengaja kuletakkan di sebelah komputer, aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Tiba-tiba aku asing melihat wajahku sendiri. Beberapa kali aku tergoda untuk membuka zipper pouch make-upku, tapi kutahan godaan itu. Pokoknya, hari ini dan kedepannya, penampilanku harus seminimalis mungkin. Seperti Bu Hartawan. Kata orang, laki-laki itu cenderung memilih istri yang mirip dengan ibunya. Seperti halnya perempuan mengidolakan ayah mereka. Sayangnya, aku bukan termasuk kecenderungan itu. Aku justru tidak ingin punya suami seperti ayahku dan aku tidak akan pernah memiliki anak dari laki-laki seperti dia. Kasihan mereka. Cukup aku dan Putra saja yang sial terlahir dari Ayah tidak bertanggungjawab. Aku tidak ingin membahas Ayahku sekarang, tidak akan pernah sampai kapan pun kalau bisa. Dia mengatai kami benalu, padahal sesungguhnya dia lah yang selalu menyulitkan hidup kami. Karena dia, Mama harus banting tulang sendirian. Karena dia, aku dan Putra melewati masa kecil hingga remaja dengan ojokan anak tukang kawin cerai. Hidup kami berangsur-angsur normal ketika Mama akhirnya bercerai dan si k*****t itu hilang kabar. Sekali pun dia tidak pernah mencari aku dan Putra, anak kandungnya. Terakhir yang kudengar sekitar 5 tahun lalu, dia sudah pindah ke Sumatra. Aku sama sekali nggak penasaran dengan apa yang dia lakukan di sana dan bagaimana keadaannya, aku bahkan tidak peduli seandainya pun dia mati. Seandianya bisa, aku sangat ingin menghapus nama belakangku. Aku sangat malu nama itu tersemat pada identitasku, yang selalu harus kusebutkan setiap kali mengisi data diri. Aku lebih nyaman mengenalkan diri sebagai Sonya Reinita saja. Oh, tambah Hartawan jika Allah mengizinkan. Sonya Reinita Hartawan. Mama pernah mengungkapkan keheranannya, padahal aku sudah terbiasa dengan omongan nggak enak tetangga, tapi kenapa aku nggak pernah bisa terbiasa seperti Mama dan Putra. Itu karena aku marah orang-orang masih menghubungkan kami dengan dia. Huh, aku kan nggak mau cerita. Kenapa aku malah cerita panjang ujung-ujungnya. Lupakan laki-laki b******n itu, kita bahas saja laki-laki penyabar yang sedang berusaha kukejar. Jam 13 teng, aku sudah menunggu-nunggu jam itu sejak puluhan menit lalu. Aku menutup semua lembar kerjaku dan beranjak berdiri dari kubikel. "Guys, ada yang mau makan di kantin, nggak?" seruku, dalam hati berharap tidak ada yang mau. Soalnya kalau aku main nyelonong pergi tanpa ngajak-ngajak kan aneh. "Ikut, Kak Nya." Yah, nyantol satu. Aku tersenyum berlagak senang. "Okay, Debby baby, Yuk." Debby ini anak PKL yang karakternya memang aktif, nggak sungkan-sungkan gitu sama karyawan lain. Tanya kerjaan mulu tiap saat, sampai-sampai kami nggak tega cuma nyuruh-nyuruh fotocopy doang. Dia banyak tanya soal peluang kerja di perusahaan ini itu, bagaimana cara masuknya, proses seleksinya, apa saja yang mesti dia siapkan. Semangat Debby mengingatkan aku sama diriku dulu, tapi tetap saja, harapan nggak nganggur lama setelah lulus tidak tercapai. Seperti kata orang-orang, yang rajin, akan telat dari orang beruntung. Yang pintar, akan telat dari yang punya orang dalam. Kenapa aku pakai kata telat dan bukan kalah? Karena meski hoki sempit dan tidak punya orang dalam, pada akhirnya kita tetap bisa sampai di tujuan kalau nggak nyerah mencoba. Pada akhirnya, yang menang adalah orang yang nggak nyerah. Jangan bilang aku sok tahu, pengalaman berharga itu. "Yuk, Kak." Aku langsung merangkul Debby bersahabat. Senang sekali aku sama mahasiswa-mahasiswa PKL yang nggak sok jaim mentang-mentang nggak selamanya di sini jadi kayak nggak butuh. Apalagi yang maunya cuma ditanya-tanya saja. Aku memaklumi karena nggak semua orang punya jiwa 'bodo amat' kayak aku dan Debby. Aku dulu pun kalau mau ngomong bingung sekarang nggak ya, apa nanti aja. Takut ganggu mereka kerja. Tapi kalau yang aku tanyain bukan yang aneh-aneh, misal gosip keponakannya Ashanti tertangkap polisi lagi padahal baru sebulan bebas, ya nggak apa-apa. "Eh, mau kantin?" Suara Mbak Eli menghentukan kami. "Iya, Bu," jawab Debby mewakili aku. Please jangan ikut, please jangan ikut. "Baru mau ngajakin makan ramen di depan," Mbak Eli lalu melanjutkan dengan bertanya pada yang lain. "Ada yang bosen makan nasi nggak? Ngeramen di depan aja lah, lagi males desak-desakan di kantin." "Ditraktir nggak nih, Mbak?" "Heh, dosa lo malak emak-emak mulu kerjaannya." Aku melirik jam tangan kecil di pergelangan tanganku, duh aku ingin cepat-cepat ke kantin. Winna, Tyas, dan Diego, mau ikut Mbak Eli, sementara Faisal katanya dibawain bekal sama istrinya, sehingga akan makan di pantry saja. "Mau ikut kita sekalian nggak?" "Kalau aku enggak deh, Mbak, lagi pengen makan nasi putih. Nggak tahu si Debby." "Saya ikut sama Kak Sonya aja, Bu." "Kalau kamu mau ikut yang lain nggak apa-apa gue makan sendiri, Deb." "Enggak, Kak, aku juga lagi pengen makan nasi putih." "Yakin?" aku berharap dia goyah. Debby megangguk sangat yakin. "Iya, Kak Sonya." "Ya udah," desahku, sejurus kemudian aku menyadari Mbak Eli memicingkan mata menatapku dengan tangan bersendekap. "Kenapa sih, Mbak? Wajahku nggak sepucat itu, kok." "Sekarang nggak papa dulu deh, udah sana makan sana." Aku memutar bola mata. Mau mencibir Mbak Eli nggak jelas tapi nanti makin buang-buang waktu. "Udah yuk, Deb." Aku menggandeng lengan Debby meninggalkan ruang divisi kami. *** "Yes, nggak terlalu rame, Kak." Di belakangku, Debby menyusul memindai tanda pengenalnya yang didapat dari HRD ke mesin pemindai di depan pintu masuk kantin. "Sebenarnya aku nggak mau ikut Bu Eli karena lagi bokek, Kak, kiriman bulanannya masih dua hari lagi. Enakan makan di sini, gratis," ungkapnya sambil cekikikan menertawai kemalangan nasibnya sendiri. "Dasar. Bisa banget lagi alasannya lagi pengen makan nasi." "Kan niru Kak Nya." Untuk mahasiswa PKL atau karyawan magang, mereka dapat makan di sini gratis, sedangkan bagi karyawan tetap akan dipotong dari jatah uang makan kami. Namun jumlahnya sangat kecil, bisa separuhnya kalau beli di Warteg. Jadi amat sangat hemat kalau makan siang di sini. Sudah enak, menunya ganti-ganti pula. Bu Siti memang luar biasa, cuma sayangnya pelit dimintai jeruk nipis. Mungkin bagi karyawan di office kantin ini perlu nggak perlu, tapi bagi karyawan pabrik sangat membantu. Bukan karena gaji kami lebih banyak, melainkan karena jobdesk kami lebih fleksibel. Kalau mereka kan harus berpacu dengan mesin dan dalam pengerjannya tidak dilakukan sendirian. Mereka nggak perlu cari makan di luar dan keleleran lantaran nggak kebagian tempat duduk karena jam istirahat mereka sudah diatur oleh mandor pabrik, jadi nggak barengan tumplek. "Kak." Aku sengaja nggak menghiraukan panggilan Debby dulu, di seluruh penjuru ruangan super luas ini, aku tidak menemukan sosok tinggi cungkring yang kucari-cari. Pasti di sini dia, aku yakin dia sangat disiplin, termasuk soal jam makan. Tapi susah ditemukan karena banyaknya sosok mirip-mirip diantara karyawan pabrik. "Kak Sonya, nyari apa sih?" Debby ikut mengedarkan pandang penasaran. "Kak, mumpung ada meja kosong, tuh." "Yah, nggak ada," gumamku lemas. "Apa yang nggak ada, Kak?" Aku menggeleng kecil. "Bukan apa-apa. Ayo, duduk di mana kita?" "Situ." Debby menunjuk satu bangku di dekat dinding kaca yang menampilkan taman tengah gedung Nitiharta yang tertata apik. Kami hampir mencapai meja itu, ketika aku melihat Pak Dirga ketawa-ketawa sama dua orang karyawan yang nggak aku kenal. Mungkin dari departemen lain. "Duduk di sana aja, Deb." Aku langsung membelokkan langkahku ke arah meja Pak Dirga. "Lho, Kak, sini aja kosong." Aku tidak peduli Debby mungkin saja kesal tidak kuhiraukan, dia tetap mengekor di belakangku. "Selamat siang, Pak. Boleh gabung di sini, nggak?" "Boleh, boleh, Nya. Sini duduk." Aku menyapa dua orang lainnya, Debby juga ikut manggut-manggut nyapa. Nggak tahu apa yang sedang tiga lelaki itu obrolkan sambil ketawa-ketawa, aku yang ingin ngomong sama Pak Dirga jadi nggak enak mau menyela. "Kak, Bapak itu direktur pemasaran, kan?" bisik Debby tepat di dekat telingaku membuat aku merasa geli. "Iya." "Suaminya Fahrani Resta bukan, Kak?" "Mantan." "Ehem!" Seketika aku dan Debby terkesiap kaget mendengar Pak Dirga tiba-tiba berdehem. "Maaf, Pak. Saya nggak bermaksud gosip," Debby meminta maaf dengan benar. Kulirik Debby hampir pucat lantaran wajah Pak Dirga dan dua karyawan bersamanya mendadak serius. Aku menyengir berlagak bodoh. "Hehe, nggak gosip, Pak. Kalau gosip kan di belakang orangnya, ini di depan orangnya." Sedetik kemudian Pak Dirga melepaskan wajah aslinya. "Oh iya, ya, lagian itu fakta. Paling bisa emang kamu, Nya." Aku bahkan bisa mendengar helaan napas lega Debby, segitu takutnya dia sama Pak Dirga. Kalau sama Pak Dirga itu, udah sok akrab aja, asal jangan kurang ajar sampai manggil-manggil nama atau bra-bro. Kalau kitanya kikuk, Pak Dirga malah sengaja bersikap berjarak. Pak Dirga tiba-tiba melirik jam, lalu mengajak dua orang karyawan itu pergi. Loh loh, kok sudah pergi saja. Belum juga aku sempat tanya-tanya. Aku cuma bisa tersenyum kaku menjawab pamitan Pak Dirga. Aku menatap nanar kepergian Pak Dirga, tadinya aku mikir, nggak ada Pak Anggit yang bisa aku caperin, korek informasi dari Pak Dirga boleh juga. "Kak Sonya naksir Pak Dirga, ya?" "Hah?" Aku menoleh cepat ke arah Debby. Debby senyum-senyum. "Pak Dirga ganteng ya, Mbak. Mirip suaminya Sandra Dewi. Apa karena duda ya, jadi auranya lebih gimana gitu. Aku aja naksir." "Justru karena dia mirip suaminya Sandra Dewi, makanya seleranya juga kayak Sandra Dewi." "Mantan istrinya kan juga mirip Sandra Dewi, cerai juga tuh. Berati kan seleranya bukan kayak Sandra Dewi." "Nggak gitu, Debby baby," dengan sabar, aku berbaik hati menjelaskan. "Cerai kan banyak sebabnya. Mungkin salah satu ada yang bikin salah, atau dua-duanya udah nggak nemu kecocokan. Biar pun mirip Sandra Dewi tapi keluan kayak tai, ya mending cerai. Yang mirip Sandra Dewi masih banyak, kok." "Iya, sih. Aku kalau ada modalnya bisa banget tuh mirip Sandra Dewi." Ya, Debby memang cantik, cantik standar lah, karena belum kesentuh make up mahal saja. Tapi, kalau menyandingkan diri dengan Sandra Dewi meskipun sudah dimodali itu namanya radak nggak tahu diri. Menurutku nggak ada kelihatan bibit mirip-miripnya sama sekali. Tapi ya sudah lah, aku bukan orang yang suka merusak kesenangan orang. "Iya, yang penting modalnya aja adain dulu." "Kira-kira, dua tahun lagi Pak Dirga masih single nggak ya, Kak?" tanyanya senyum-senyum aneh. "Kalau aku udah jadi kayak Sandra Dewi, kira-kira dia naksir, nggak?" "Ha?" Aku berjengit menatap Debby. Debby cengengesan, senyum-senyum bodoh kayak anak baru masuk SMA lihat kakak osis cakep di lapangan MPLS. "Pak Dirga itu tipe suami idaman aku banget." Astaga, aku kira di lingkunganku cuma aku satu-satunya orang gila yang berani mengkhayal ketinggian. Ternyata Debby lebih parah daripada aku. Berani-beraninya dia naksir Pak Dirga. Aku meringis kecil, sesama orang gila, kami harus saling mendukung. "Iya, kita ngarep sama nyayal aja dulu. Segala sesuatu dimuai dari itu, kok," ujarku menyemangati Debby sekaligus diriku sendiri. Kemudian kami mulai makan, Debby makan sambil sibuk hapean. Kalau aku sambil mengedarkan pandang sekitar, aku berharap Pak Anggit ada di sini. Jangan-jangan dia menganggap serius saran Pak Dirga supaya tidak makan di kantin setiap hari. "Yah, tahu gini aku ikut Mbak Eli tadi." "Kenapa?" Debby mendekatkan layar ponselnya padaku, seketika mataku terbelalak. Tidak yakin dengan apa yang kulihat, aku merebut ponsel Debby dan mendekatkannya ke mataku. "Enak banget ya, Kak, ditraktir Pak Bos. Aku juga mau." Gambar lelaki berkemeja putih itu memang Pak Anggit, duduk bersama sepuluh orang yang melingkari meja. Sialan! Kan aku yang ingin caper dan makan semeja sama Pak Anggit, kenapa malah jadi mereka?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN