Akal sehatku mengngatkan agar aku jangan terlalu percaya diri, apalagi sampai mengemukakannya ke orang lain karena kalau salah malunya bisa sampai ke ubun-ubun. Aku sadar diri Pak Anggit nggak mungkin meluangkan waktu khusus untuk mendatangi si Ibu pemilik warung hanya untuk menyuruhnya minta maaf padaku. Terlebih, aku tidak melihat mengapa dia merasa perlu melakukannya. Yang disiram air terasi, kan, aku. Yang dikatai bau terasi tidak peduli berapa banyak semprotan minyak wangi yang kupakai juga aku. Yang malu tetap saja aku. Namun, selain Pak Anggit aku nggak punya calon tersangka lain. Beberapa orang kurus tinggi yang cukup akrab denganku sudah kutanyai satu persatu dan taka da satu pun dari mereka yang melakukannya. Mereka bahkan mengatai aku kepedean. Tuh, kan, begitu saja aku dikata