14 | Manusia Paling Enggak Jelas

1337 Kata
"Oh iya, kasian." Hanya itu tanggapan Pak Dirga sewaktu aku menunjukkan cakaran Rabbit di daguku. Pak Dirga cuma manggut-manggut saat aku memaparkan laporanku. "Oke, bagus, meskpun menurut saja dengan Anggit nggak ngasih kamu tumpangan itu nggak bisa dianggap clue." "Kenapa begitu, Pak?" tanyaku. "Cowok kalau care sama cewek pasti ada lah basa basi mau nawarin pulang. Saya udah jelas sekali lho kemarin bilabg mau pulang juga. Nggak sopan sekali." "Justru Anggit sopan ke kamu, Nya," sambar Pak Dirga. "Beberapa perempuan nggak akan nyaman ditawati antar pulang sama orang yang nggak terlalu dikenal, nah dia nggak nawari kamu pulang biar kamu nggak mikir macam-macam. Logikanya, kalau kamu bisa berangkat ke sana sendirian, pastinya kamu juga bisa pulang sendiri, dong. Dia mana tahu kalau ada juga cewek yang kayak lo, yang malah ngarep dirawati tebengan." "Waktu itu Pak Anggit juga ngantar sama pulang, kok!" "Kamu bilang saat itu hujan dan udah gelap, lebih bahaya kalau dia ninggalin kamu i sana sendirian," papar Pak Dirga sangat lengkap hingga ku nggak punya celah buat mempertahankan anggapanku. Aku pun cuma bisa mengigit-gigit ujung sedotan. Pak Dirga terkekeh-kekeh. "Sonya ..., Sonya ..., lemah banget analisa lo ternyata." "Tapi emang bener, kok, Pak Anggit itu sulit dipahami," ujarku. Aku yakin dengan yang satu itu, karena kalau tidak Pak Dirga nggak akan minta bantuanku buat cari tahu kepastian orientasi seksual Pak Anggit. "Terus rencana selanjutnya apa, Pak?" "Lho, ya itu urusan kamu. Kalau saya juga yang mikirin, buat apa saya bayar kamu?" Mataku melebar merasa tertipu. "Bapak bilang mau bantuin." "Bantuinnya kalau kamu butuh info atau apa, kalau gimana kamu ngedeketin Anggit-nya, ya itu bagian dari job desk kamu dong, Sonya." "Ya kalau begitu susah," gumamku dengan kepala sibuk memikirkan apa yang harus aku lakukan. Tidak mungkin menciptakan kebetulan terus-terusan. Kalau sekali dua kali bisa lah disebut takdir, tapi kalau sudah berkali-kali, bisa-bisa Pak Anggit sadar aku berusaha mendekati dia dan curiga aku merencankan sesuatu yang buruk. "Saya balik ke kantor duluan, Pak," ujarku lantaran merasa tidak ada lagi yang perlu dibahas, lagipula aku tidak bisa lama-lama karena pamitnya ke cuma beli kopi sehabis makan siang tadi. Mbak Lia bisa marah-marah kalau aku nggak balik-balik bawa kopi titipanya. Pamitanku dijawab acugan jempol oleh Pak Dirga. Baru selangkah mau jalan, aku tiba-tiba teringat sesuatu. "Pak, saya penasaran ..." aku berkata menggantung. Pak Dirga mendongak dari layar ponselnya. "Apa?" "Kenapa Bapak peduli sekali sama orientasi Pak Anggit. Memangnya, kalau dia gay kenapa?" "Menurutmu itu nggak salah?" Aku terdiam sebentar, sedikit tidak menyangka Pak Dirga orangnya konservatif padahal dari luar terlihat sangat fleksibel dan open minded. "Saya beranggapan itu sebagai satu kebebasan, sih, Pak. Ini di luar urusan agama dan orang tua lho, ya, Pak. Maksud saya bilang kebebesan itu, karena Pak Anggit bukan siapa-siapanya saya, saya nggak ada urusan Pak Anggit mau jungkir balik juga. Tapi saya ngerti, kok, pasti nggak mudah buat keluarga menerima ada anggota keluarganya yang ya ..., apa ya istilahnya, beda mungkin?" aku menjelaskan panjang lebar semata-mata biar nggak terkesan aku menghakimi prinsip Pak Dirga. "Benar, kebebasan. Makanya kalau benar iya, saya ingin bantu dia biar bebas. Nggak perlu sembunyi-sembunyi, minimal dari keluarga." "Eh? Jadi nggak masalah misal Pak Anggit beneran gay?" "Pasti akan jadi masalah karena dia anak tunggal dan masyarakat kita tentang gay itu kelainan. Dan juga ...." Pak Dirga tiba-tiba berhenti bicara. "Dan juga apa, Pak?" Aku menuntut penjelasan lebih, aku penasaran bagaimana pandangan orang kaya sekaligus berpendidikan tinggi seperti Pak Dirga memandang seorang gay, khususnya di keluarganya sendiri. Tapi Pak Dirga hanya diam dengan pandangan tak fokus padaku. "Bisa kamu menyingkir dari situ?" Aku berlonjak kaget tiba-tiba mendengar suara perempuan dari arah belakangku, dan saat aku menoleh, aku lebih kaget lagi saat menemukan sosok Fahrani Resta, mantan istri Pak Dirga lah pemilik suara itu. Wajahnya tampak dingin dengan kaca mata hitam bertengger di pangkal hidungnya. Kupikir selama ini aku cukup tinggi, tapi ternyata Fahrani lebih tinggi dan aku bisa merasakan aura mendominasi menguar bahkan hanya dari caranya berdiri. Saat itulah aku sadar Pak Dirga bukannya nggak fokus memandang aku, tapi memang lagi mandang mantan istrinya yang mirip Nia Ramadhani ini. Sadar bahwa aku nggak boleh di sini, aku sekali lagi pamit ke Pak Dirga dan melanjutkan langkahku pergi. Aku mempir dulu ke kasir buat pesan kopi titipan Mbak Lia, sambil sesekali curi-curi lirikan ke arah meja Pak Dirga. Kursi yang tadi kududuki kini diduduki oleh Fahrani. Hubungan mereka pasti sangat buruk, terlihat dari cara mereka menatap. Aku buru-buru meluruskan pandangan ke kasir saat tiba-tiba Fahrani melihat ke arahku. Aku memegangi d**a saking kagetnya, aku bisa merasakan semacam lirikan laser meski Fahrani sedang memakai kaca mata hitam. *** Aku kembali ke kantor secepat mungkin setelah Debby mengabari kalau Mbak Eli menanyakan keberadaanku. Aku tiba di pelataran lobby bersamaan dengan Pak Anggit baru turun dari mobilnya bersama sekretarisnya yang kudengar bernama Bayu, sepertinya dia baru kembali, entah dari meeting atau makan siang. Aku mempercepat langkahku untuk mendekatinya, aku cukup percaya diri ingin menyapanya lantaran kemarin kami mengobrol banyak dan makan semeja. Dia bahkan mengobati lukaku. Aku bisa berbasa-basi menanyai kabar Rabbit. "Pak Anggit," panggilku. Di tengah lobby, Pak Anggit berhenti untuk menoleh padaku. Aku tersenyum lebar. "Siang, Pak." "Iya, siang," jawab Pak Anggit sambil melangkah lagi. Aku mengikuti selangkah di belakangnya. "Rabbit gimana, Pak? Udah mau makan?" "Sudah." "Oh, syukurlah. Bapak ajak dia ngobrol-ngobrol juga, kan? Kalau masih susah makan, rayu-rayu sambil di garuk-garuk aja bulunya, Pak." Yang kali ini Pak Anggit hanya bergumam pendek. Padahal banyak yang bisa dia katakan, seperti menanyakan apakah luka cakaran Rabbit di daguku masih sakit. Aku pun berinisiatif bertanya lagi, "Bapak—" "Tolong yang sopan, Mbak," Bayu menyela. Aku melongo nggak ngerti letak nggak sopannya di mana? Orang aku cuma menyambung obrolan kami kemarin, kok. Jujur saja aku tersinggung dengan cara Bayu memperingatkan aku, dia bisa bilang baik-baik tanpa memotong ucapanku dan sambil mendelik begitu. "Udah, nggak apa-apa," sela Pak Anggit, kok kesannya aku memang nggak sopan dan dia legowo memaafkan? Usai berkata begitu, Pak Anggit seolah sengaja mengabaikan aku dengan memberi Bayu instruksi tugas yang harus dilakukan. Sementara nggak sadar menghentikan langkah dan menatap kepergian dua laki-laki itu dengan kesal. Apa semua orang kaya seangkuh itu? "Iya, ganjen banget." Sontak aku memutar kepalaku ke arah dua orang resepsionis di lobby yang salah satunya agaknya keceplosan bicara kencang. Aku pelototi, mereka pura-pura ngegosip sendiri. Aku mengembuskan napas kesal, pengennya ngelabrak, tapi kata orang-orang itu nggak elegan. Aku hendak bergeming, ketika satpam lobby memanggil namaku. Dengan malas aku memutar badan dan seketika bau terasi menguar di seluruh penjuru ruangan ketika mataku bersiborok dengan Ibu-ibu pemilik warung yang hari itu mempermalukan diriku. "Itu orangnya, silakan." Aku cuma bisa berdiri kaku ketika Ibu itu berjalan mendekati aku. Ada apa ini? Kenapa dia mencariku? Aku bisa saja berpikir mungkin dia ingin meminta maaf, tapi wajahnya lebih terlihat seperti orang ingin mengajak adu jambak. "A-ada perlu apa, ya?" tanyaku langsung. "Ini," ujarnya, menyorokan satu kantong plastik kecil yang isinya dua bungkusan keras makanan. Dengan ragu, aku pun menerimanya. "Saya benarnya nggak salah, kan kamu memang terbukti ganggu usaha saya, eh kok malah kamu ngancam mau lapor polisi tindakan tidak menyenangkan dan nuduh saya nggak peduli sama hewan." Aku mengerejapkan mata seperti orang bodoh karena aku sama sekali nggak ngerti maksudnya. "Ya udah lah, anggap aja saya minta maaf meskipun nggak salah. Bilang ke temanmu, biar dia tahu kalau saya udah nemuin kamu." "Teman siapa?" "Temanmu yang kurus tinggi itu. Pastikan dia tahu kalau saya sudah minta maaf meskipun nggak salah." "Hah?" Aku masih belum mengerti. Si Ibu terasi membuang muka dan pergi dari hadapanku begitu saja. Aku memandangi plastik ini dengan bimbang, dia nggak memasukkan racun ke dalam sini, kan? Aku memutar otak, di kantor ini ada ratusan orang termasuk pekerja di pabrik, seperempatnya mungkin sudah dengar insiden itu. Diantara mereka yang bertubuh tinggi dan kurus pasti sangat banyak. Namun, kenapa kenapa otak ini menunjuk satu nama. "Nggak mungkin Pak Anggit, kan?" gumamku pada diri sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN