05 | Mau Jadi Istri CEO

1955 Kata
Tetes-tetes kecil air jatuh dari langit, aku mendongak dan mendapati gumpalan awan hitam di langit yang kebetulan sudah hampir masuk waktunya menghitam. Tetasan ini makin besar dan banyak, aku dan Pak Anggit lalu berlari ke arah emperan warung yang kebetulan sudah tutup. Langkah kami diikuti kucing-kucing itu yang berpencar. Ya ampun, turun hujan segala. Semoga saja Putra nggak lupa masukin jas hujan. Baru saja dipikirkan, panggilan dari Putra masuk ke ponselku. Aku duduk di bangku kayu sambil menjawabnya. "Halo? Di mana lo? Lama banget." "Masih di kampus gue." "Hah?!" Aku meringis sungkan, gara-gara pekikan kagetku Pak Anggit sampai noleh. Aku mendesah. "Yang bener aja dong, Mput, lo bilang udah OTW. Gimana, sih?!" "Ya maaf. Lagian ini hujan, naik Getcar aja mending." "Heh! Enteng banget lo nyuruh gue naik Getcar. Kalau emang nggak niat jemput, bilang kek dari awal, jadinya gue nggak perlu nunggu lo sampai jadi nenek-nenek begini." "Ya udah, maaf, intinya gue nggak bisa jemput." Untung aku ingat masih ada Pak Anggit di sini, jadi aku nggak berani berkata kasar setelah Putra dengan kurang ajar mutusin telepon lebih dulu. Karena belum puas, daripada jadi jerawat, eh jadi bisul, aku lanjut ngomel di chat. Durhakanya lagi, dia sengaja nggak balas padahal jelas-jelas lagi online. Aku mengelus d**a, punya adik satu kok ya begini banget ya Allah. Tanpa sengaja pandanganku melihat objek yang menarik, yaitu punggung Pak Anggit yang sedikit basah kena air hujan, membuat kemeja putihnya menerawang. Sepertinya di balik kemeja itu dia tidak memakai lapisan apa-apa. Setelah aku lihat-lihat lagi, aku jadi mikir. Itu punggungnya terlihat liat karena memang cuma tulang terbungkus kulit, atau hasil olah fisik. Seperti Sehun, kerempeng juga, tapi berotot. Tiba-tiba kepala Pak Anggit tertoleh ke arahku, aku mengerejap cepat dan buru-buru membuang pandangan. "Nggak jadi dijemput?" "Enggak, Pak. Kayaknya masih ada kegiatan di kampus. Nggak apa-apa. Saya bisa pesan Getcar," jawabku ingin terdengar bijaksana sebagai kakak yang baik. Ini aplikasi Getcar kenapa loadingnya lama sekali? Aku merutuk dalam hati. Ketika sebuah sedan berhenti di depan Pak Anggit. Enaknya punya supir pribadi. Saat supirnya membuka pintu hendak keluar, Pak Anggit mencegah, memberi isyarat dia akan buka pintu sendiri. "Rumah kamu di mana?" "Eh?" Aku mengerejap bodoh. Pak Anggit tanya rumahku? "Rumah kamu. Server Getcar sedang down dari tadi siang, sudah muncul beritanya. Kalau nggak ada yang jemput, bisa sekalian ikut saya." "Wah, pantas aplikasinya nggak kebuka, Pak." Oke, sepertinya Pak Anggit tidak berharap aku merespon bagian itu. Pak Anggit menunggu jawabanku. Sebenarnya ada banyak alasan menolak, kalau mau. Sayangnya, aku nggak mau. "Berhubung Bapak udah baik nawarin, saya nggak enak nolak. Kalau memang nggak merepotkan, saya nebeng sampai stasiun." Tanpa ada kata, Pak Anggit mempersilahkan aku membuka pintu terdekat dengan emperan warung, sementara dia menerjang hujan untuk masuk melalui sisi mobil satunya. Aku sudah duduk nyaman, selagi Pak Anggit membersihkan rambut dan lengannya dari titik hujan. Duh, padahal kan aku yang numpang. "Kita ke mana, Pak?" tanya Pak sopir sopan. "Mohon maaf harus menunggu lama, tadi kliniknya lumayan ramai." "Anaknya nggak luka parah, kan? Harusnya tadi bisa langsung pulang aja." "Alhamdulillah nggak kenapa-kenapa, Pak. Nggak perlu dijahit lukanya. Kontrakan saya nggak ada tempat mobilnya, Pak, takut saya kalau mobilnya ditaruh pinggir jalan." "Oh, syukurlah kalau nggak parah." Oh, jadi itu satu dan lain hal yang dimaksud. Beruntung sekali si supir dapat majikan sepengertian Pak Anggit. Aku juga mau. Jadi istrinya. *** Aku memandang kaca samping yang dihinggapi titik sisa hujan, lampu-lampu jalanan dan bangunan memberi ornamen di gelapnya malam. Ah, begini toh rasanya jadi orang kaya. Bisa menembus kemacetan di dalam mobil mewah yang disupiri supir pribadi. "Sebentar lagi aku sampai di rumah, nanti aku telepon lagi." Pak Anggit berbicara di teleponnya, dari yang sepintas kucuri dengar beberapa saat lalu, sepertinya itu dari ibunya. Makanya dia nggak nyaman bicara sekarang karena ada aku. "Bu, aku nggak suka disodor-sodorin perempuan. Aku ingin menemukan pasangan dengan pendekatan alami." Aku memasang telinga, Ibu Pak Anggit nampaknya tidak mau menunggu. Sehingga Pak Anggit harus melanjutkan obrolan meskipun dengan bahasa Jawa, mungkin dikiranya aku nggak ngerti. "Enggak gitu, Bu. Alami ya kita kenalnya bukan karena dikenalin, biar kami saling tahu karakter dari kebersamaan kami, bukan dari katanya-katanya." Pak Dirga benar, Pak Anggit sedang dikejar target nikah. Setahuku dari gosip-gosip maya, pernikahan orang kaya itu bukan sekadar penyatuan dua kepala dan dua keluarga, melainkan bisnis juga. Kalau Pak Anggit pusing memilih calon, kalau aku pusing karena tidak ada calon untuk dipilih. Ironis sekali. "Udah lah, pokoknya Ibu tenang saja. Ibu sama Bapak masih akan sehat sampai lihat aku nikah dan punya anak. Jangan mikir yang jelek-jeleknya terus, dokter bilang harus mikir positif dan bahagia. Aku masih di jalan, nanti aku telepon Ibu lagi ya, Bu. Assalamuaikum." Pak Anggit menghembuskan napas sambil menurunkan ponsel dari telinganya. Kira-kira Pak Anggit malu nggak ya kalau dia tahu aku mengerti pembicarannya. Suasana mobil kembali hening, aku nggak berani bersuara. Takut dikira sok akrab sama bos. Sehingga yang kulakukan sedari tadi adakah berkhayal babu. Aku membayangkan di luar sana sedang terik, mobil yang kutumpangi terjebak macet. Aku tidak mendengar klakson-klakson atau geberan kenalpot motor lantaran menikmati suara musik sambil ikut nyanyi-nyanyi lirih. Kemudian ada pengemis ngetok kaca, aku mengeluarkan recehan dari tas jinjing kulit buaya yang harganya setara dengan mobil ini. Aku membuka kaca sedikit dan memberikan uang itu dengan capitan jempol dan telunjuk. Sekaligus memamerkan nail art bling-bling dan cincin berlian besar di jari tengah dan cincin nikah di jari manis. Aku memukul kepala. Bangun, Nya, nggak tidur masa mimpi. Mimpi itu cuma akan bisa jadi kenyataan kalau aku jadi istrinya Pak Anggit. Apa aku mengajukan diri istrinya beneran saja, ya? Dia sepertinya juga butuh pasangan segera. Dari yang kulihat sejauh ini, Pak Anggit memang bukan orang kaya yang sok. Dia nggak segan berbaur makan di kantin sama karyawan, sangat baik sama bawahan, sangat bijaksana menyikapi permasalahan. Bukan mengeksklusifkan diri, maunya berkumpul sama yang setara. Bisa jadi, urusan pasangan hidup, dia pun tipe yang melihat dengan hati. Seperti kata Pak Dirga kalau Pak Anggit nggak punya kriteria, dan aku siapa tahu cocok mewarnai dunianya yang suram kayak buku gambar. Iya, siapa tahu kan, ya? *** "Terima kasih banyak atas tumpangannya, Pak Anggito. Terima kasih perjalannya, Pak Busri. Sekali lagi terima kasih, semoga selamat samp--" "Iya, sama-sama," potong Pak Anggit semena-mena, tidak menghargai ucapan terima kasih tulusku. Tapi aku tetap mempertahankan senyum di wajahku sambil menutup pintu mobil. Pak Anggit mengantarku sampai depan gang rumah, aku yang minta diturunkan di situ karena kasihan kalau menurunkan aku di depan rumah, nanti repot putar baliknya. "Baru pulang, Son?" sapa Bu Dino saat aku berjalan di depan warungnya dengan susah payah melewati jalan yang becek dengan sepatu hak tinggi ini. "Iya, Bu Dino." "Kok jalan kaki aja, sih. Biasanya dijemput sama Putra." "Lagi nggak bisa dia." "Terus kok nggak sama pacar kamu yang ganteng yang pegawai bank itu?" Saking ramahnya Bu Dino, aku sampai nggak boleh pulang dulu. "Lah dia kan bukan pacar saya." "Ah, masa? Kamu sering tuh diantar jemput sama dia." "Ah, nggak sering. Lebih sering ojol perasaan." "Heeei, udah putus, ya?" tebaknya yakin sekali benar. Tapi ya memang benar, sih. "Nggak boleh sombong gitu, Son, kalau sudah putus. Kan dulu pas pacaran pernah disayang-sayang." Bu Dino ini ngerti nggak sih, justru karena dulu aku sayang-sayang, makanya rasa sayangku udah habis. "Nggak jadi nikah tahun ini, dong." "Heeei," aku menirukan Bu Dino. "Bu Dino sok tahu, nih. Udah dibilang bukan si cowok ganteng kerja di bank itu pacar saya." "Oh... Terus siapa dong pacar kamu sekarang?" "Ada deh." Aku memutar bola mata. "Pulang dulu ya, Bu Dino, capek habis kerja." "Oh, iya. Silakan, Son. Nggak ada yang nahan kamu juga." Apa katanya? Baiklah, aku yang kelewat ramah kalau begitu. "Jangan lama-lama keasyikan kerja, Son, nanti kayak si Sinta. Udah 40 tahun nggak nikah-nikah tuh, saya aja yang baru 35 anaknya udah 2. Tuanya gimana itu ya?" Kalau kuladeni, nanti dikira aku nggak mau pulang. Sehingga aku cuma kasih senyum aja. "Siap, Bu Dino. Mari..." Tidak peduli kakiku kena cipratan air, aku berjalan sembarangan asal bisa cepat sampai di rumah. Heran, kenapa sih, segitunya ngurusin urusan orang lain? Mau 40 masih lajang kek, mau tuanya mati panti jompo kek, apa urusannya sama dia coba? Cuma karena dia melakukan satu hal dan orang lain enggak melakukan sama, bukan berarti dia lebih baik dari orng lain itu. Hih. Tiba di rumah, aku tidak sabar ngadu ke Ibu soal betapa usilnya Bu Dino. Lagi-lagi jawabannya mengecewakan, "ya udah, yang penting kita nggak kayak gitu." "Ya nggak bisa gitu dong, Ma. Bisa aja suatu hari nanti keluarga kita yang diomongin," aku nyolot nggak terima. "Eh, apa jangan-jangan udah?" Mama menghela napas panjang. "Udah, nggak usah ngomongin Bu Dino terus. Kamu nanti nggak ada bedanya kalau ngomongin dia terus." Oh iya, benar juga. Bergosip tuh memang sangat asyik, asal bukan diri kita saja yang sedang digosipkan. *** Aku berani bersumpah, sisi nggak tahu diri paling parah dari diriku, nggak pernah sekali pun aku ngayal babu ingin jadi istri CEO. Siapa sih, Sonya Reinita? Nggak bermaksud sombong, di SMP dan SMA aku langganan jadi musuh kakak kelas cewek karena katanya banyak cowok yang ngomongin aku. Nggak bermaksud besar kepala, kata mereka, aku cantik. Kalau kata kaca, ya memang cantik. Kalau kataku sendiri, hmm gimana ya, bukan bermaksud sok cantik, tapi ya memang begitu adanya. Maksudku, iya, aku cuma unggul masalah itu. Yang mana kecantikan sebetulnya sangat relatif, kebetulan aku ini yang tipe-tipe cantiknya mainstream. Antara tinggi badan dan berat badan proporsional, kulit bersih cerah karena dari kecil rajin disuruh Mama pakai Citra bengkoang, rambut lurus, bentuk wajah enak nggak bulat, nggak lonjong. Sebetulnya orang cantik itu cuma punya dua golongan, satu yang percaya diri dengan apa adanya. Dan kedua, yang percaya diri didukung dana. Aku nggak punya sokongan Ayah pejabat atau keluaga pengusaha. Almamater dan nilai pun rata-rata. Pekerjaan kudapatkan dengan keringat dan air mata sendiri. Seharusnya itu cukup membuat aku berhenti ngayal jadi istri CEO. Tapi, kalau CEO-nya itu semodelan Pak Anggit, khayalanku tampak realistis. Sejak hampir sejam lalu, waktuku kudedikasikan untuk searching nama Pak Anggit di Internet. Aku keheranan, namaku saja kalau diketik di Google akan muncul fotoku. Sedangkan Pak Anggit, aku cuma menemukan akunnya di LinkedIn. Saat aku menggabungkan namanya, yaitu Anggito Hartawa dengan nama Nitiharta, yang muncul foto bapak dan ibunyanya. Dari akun Linkedin itu, aku dapat sedikit informasi kalau dia lulusan S1 dan S2 di Malang. Padahal aku sempat mengira dia sama seperti Pak Dirga, lulusan luar negeri. Untuk ukuran orang kaya, bisa kubilang Pak Anggit mainnya kurang jauh. Masa muter-muter di satu kota saja. Tidak ada hobi atau pengalaman tertentu, sepertinya akun ini pun belum dia akses bertahun-tahun karena jabatan terakhirnya masih sebagai manajer pabrik. Pantas saja dia sangat cocok pakai jaket seragam kebanggan Nitiharta. Dari hasil penelusuran ini pula, aku tahu kalau keluarga Pak Anggit itu bukan golongan old money yang sudah kaya dari lahir. Nitiharta didirikan dari 0 oleh Pak Hartawan dan baru 15 tahun terakhir berkembang pesat, setelah berhasil masuk ke pasar ekspor. Dari buku biografi Pak Hartawan di gampang ditemukan di banyak sudut kantor Nitiharta, beliau dan keluarga kecilnya pernah makan singkong, sebelum akhirnya bisa makan keju. Sedangkan Bu Hartawan sendiri penampilannya tidak seperti Ibu-ibu kaya pada umumnya. Dia sangat bersahaja dengan gamis berpayet sederhana setiap mendampingi Pak Hartawan di momen-momen tertentu. Aku membalikkan badan jadi terlentang melintang di tengah ranjang, tidak peduli rambutku masih basah langsung menempel dengan bedcover. Aku seolah bisa melihat bintang-bintang hanya setinggi langit-langit kamar. Terlihat sangat mudah dijangkau, sangat mungkin kupetik, dan kilauannya sangat menarik. Saat aku tertidur malam ini, aku sudah tahu apa yang ingin dan akan kulakukan esok hari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN