04 | Dipuji Pun Salah

2387 Kata
Aku panik ingin cepat-cepat pergi tapi nggak tahu pakai alasan apa karena makananku masih banyak, nggak sempat kemakan lantaran keasikan ngobrol. Ngaco nih Pak Dirga, masa aku mau dicomblangin sama CEO. Yang benar saja. "Sini duduk, Pak Anggit," ujar Pak Dirga menyambut Pak Anggito. Sebelum menarik kursi di sebelahku, Pak Anggit menaruh nampannya di meja sambil mengangguk sopan padaku. Duh, aku jadi makin kepikiran kejadian kemarin. Masa udah duduk semeja gini aku belum minta maaf. "Nggit, gue saranin jangan keseringan makan di kantin," bicara Pak Dirga santai. "Kenapa gitu, Pak?" aku yang bertanya, Pak Anggitnya terlihat tidak terlalu peduli. "Kasihan karyawan yang biasa pesan cateringan atau nyuruh OB jadi malu. CEO aja makan di kantin, masa bawahannya nggak mau makan di kantin." "Kirain apaan, Pak," cibirku. Kukira ada semacam aturan atau etik CEO tidak boleh berbaur dengan karyawan. Pak Dirga terkekeh. "Eh, Nggit tadi pas kunjungan udah ketemu sama Sonya belum? Dia di bawah timnya si Elisia." Pak Anggit melirikku sesaat. Lalu mengangguk. "Gue nih yang angkat dia dari kubangan lumpur, gue sendiri yang interview dia. Inget banget dulu poninya lepek keringetan padahal AC dingin, sampai bedaknya ngedempul." Astaganaga. Itu adalah memori yang ingin kuhapus, aku malu mengingat lagi masa-masa frustrasinya mencari kerja. Panggilan interview gang kuterima dari Nitiharta adalah panggilan interview kesekian setelah 4 bulan penuh aku lamar sana sini. Selama 4 bulan menganggur, aku kehabisan ide menolak ajakan nongrong dari teman-temanku karena kantong semakin kering, mau minta Mama malu. Dan tiap aku nyapu halaman, ada saja tetangga yang nanya aku kerja di mana, sarjana susah dapat kerja, kenapa nggak coba di sini sana. Ah, dikiranya aku nggak berusaja apa! Orang kayak Pak Anggit yang dari kecil udah dipersiapkan jadi penerus perusahaan, mana tahu gimana rasanya susah cari kerja. "Ya maklum, Pak, udah hopeless nganggur lama." Syukurlah, dua minggu setelah interview aku dapat kabar kalau aku diterima bekerja di sini. Langsung tiga bulan pertama aku foya-foya, enak banget nikmatin duit hasil kerja sendiri. "Gimana, Nggit, lo udah nemu calon istri belum?" Pak Anggit menatap Pak Dirga kaget, mungkin nggak nyangka dia akan ungkit hal pribadi itu di depan karyawannya. Pak Dirga mengikis wibawa Pak Anggit di mataku, mana manggilnya Ngit-nggit lagi. "Kalau belum ada, nih kebetulan si Sonya lagi cari laki-laki kaya yang orientasinya ke pernikahan. Katanya udah siap diajak nikah tahun ini, rahimnya sehat siap dibuahi." "Pak..." aku menggeram, mau marah tapi takut dipecat. Tanpa merasa bersalah, Pak Dirga ketawa-tawa. Aku lantas melirik Pak Anggit yang ternyata juga sedang melirikku. "Jangan dianggap serius ya, Pak. Iseng sekali Pak Dirga." Kalau saja Pak Dirga bukan atasanku, sudah kucubit-cubit dia. Pak Anggit menjawabku dengan senyum. Tipis banget. "Gimana sih, Nya, katanya mau dikenalin cowok siap nikah. Nih, orangnya udah di sebelah." "Saya cuma bercanda tadi, Pak." Aku berniat menyudahi makanku, bersiap kabur dengan alasan ada pekerjaan mendesak. Tetapi urung lantaran ponsel Pak Dirga berdering, Pak Dirga berbicara sebentar di telepon lalu mengisyaratkan kalau dia harus pergi. Yah, harusnya aku duluan yang pergi. Aku ingin langsung menyusul pergi juga tapi sepertinya kurang pantas. Ini jelas adalah kesempatan yang baik buat minta maaf, justru aneh kalau aku melewatkan kesempatan ini dan besok atau kapan aku baru minta maaf. "Ehm, Pak..." gumamku, meminta perhatiannya. Aku sedikit memutar badanku agar lebih sopan menghadap Pak Anggit. "Saya mau minta maaf soal yang kemarin, saya nggak mengenali Bapak, makanya berani ngomong nggak sopan." "Kalau saya bukan atasan kamu, apa kamu juga akan menyesal?" balik tanya Pak Anggit sambil menyendokkan nasi ke mulutnya. Aku menundukkan pandangan. Benar juga, kalau dia beneran buruh pabrik, aku mungkin tidak akan merasa bersalah. Mengingat semua yang kukatakan padanya, ke-soktahuanku, nasehat memakai masker, mencomot jeruk nipisnya hingga mengatai perusahaan pelit, aku akui itu keterlaluan. "Jangan diulangi lagi ke siapa pun," ujarnya pelan, tanpa penekanan, apalagi emosi, namun langsung ngena ke hatiku. "Saya tidak mempermasalahkannya bukan karena saya baik atau saya nggak merasa terganggu, tapi karena saya coba memaklumi kamu mungkin sedang butuh pelampiasan emosi karena habis putus. Untuk yang itu saya minta maaf karena diam-diam ikut dengerin obrolan kamu." "Iya, nggak apa-apa. Eh, maksud saya, Bapak nggak perlu sampai minta maaf." Aku mungetuk kepala, kesal pada diri ini. Duduk semeja begitu pasti dengar lah orang ngomong apa, meskipun niatnya nggak mau dengerin. "Terima kasih Bapak udah mau ngerti. Saya emang lagi kesel banget kemarin itu, Pak. Biasanya saya nggak pernah begitu kok, Pak. Sumpah." "Oke." "Bapak beneran nggak mempermasalahkannya, kan, Pak?" tanyaku memastikan lagi. "Bapak nggak menandai saya sama Mbak Eli, kan, Pak? Tolong jangan pecat kami, Pak. Mbak Eli anaknya baru masuk TK, katanya nanti mulai SD mau dimasukin sekolah International. Kalau saya nggak boleh nganggur, Pak. Saya anak sulung, Mama saya udah nggak kerja, dan adik saya masih harus saya biayai kuliahnya. Nanti apa kata tetangga, Pak, kalau saya nganggur lagi." Pak Anggit menurunkan langi sendok yang mau dimasukkan ke mulut, mulutnya yang sempat mangap kembali ditutup. Dia menoleh padaku dengan tatapan terganggu yang langsung membuatku mati kutu. "Kalau kamu terus membahasnya, saya mungkin saja akan mempermasalahkannya." "Jangan, Pak," sentakku spontan, saat akan mengatupkan tangan memohon tanpa sengaja tanganku menyenggol botol minumku yang terbuka hingga isinya tumpah ke meja dan mengenai celana Pak Anggit. Aku panik cari tisu atau apapun yang bisa mengeringkan. Mendadak meja kami jadi pusat perhatian satu kantin. Aku minta tisu milik orang di meja sebelah, lantas berjongkok untuk membersihkan celananya yang basah. Aku terpaku tanganku menggantung di udara, menyadari wajahku sejajar dengan itunya. "Kamu ngapain?" Aku nyengir, aku bisa lihat kekesalan terpendam di matanya. Yang mana sebelumnya tidak ada. Aku berdiri penuh penyesalan di sebelahnya. "Maaf, Pak, saya nggak bermaksud lancang. Saya cuma mau membersihkan celana Bapak yang saya bikin basah." "Apa kamu kalau kerja juga begini caranya?" "Maaf, Pak?" "Kalau ada masalah, pertama yang harus kamu lakukan itu menghentikan sumber masalahnya. Baru setelah itu lakukan tanggung jawab moral kamu yaitu minta maaf," jawab Pak Anggit tenang. Dia kelihatan kesal, tapi nggak menyampaikannya dengan arogan. "Kamu panik nggak tahu apa yang kamu cari, padahal begitu botol ini terguling, yang harus kamu lakukan adalah membenarkan posisinya agar isinya nggak tumpah makin banyak." Refleks kulirik botol minumku yang sudah dalam posisi tegak, aku sama sekali tidak kepikiran itu karena terlalu panik takut Pak Anggit marah. Eh sekarang dia tambah marah. Seorang petugas kebersihan menghampiri meja kami, membersihkan segala kekacauan yang kuciptakan. Kukira Pak Anggit sudah hilang nafsu makan, dengan dia mengangkat nampan dari atas meja. Ternyata dia melakukan itu agar si mas petugas kebersihan bisa lebih gampang ngelap meja. "Terima kasih." Dia menepuk ringan punggung si Mas petugas kebersihan sambil menaruh lagi nampannya di atas meja bersih lalu lanjut makan. Aku masih berdiri seperti patung di sebelahnya, bimbang menimbang harus bagaimana. Mau bicara lagi, takut salah. Mau pamit pergi, takut dikira nggak sopan pergi begitu saja. "Kalau udah selesai, pergi. Kalau masih mau makan, duduk." "Eh?" suara Pak Anggit menyentak aku dari lamunan. "Ini masih mau makan, Pak," takut-takut aku kembali duduk di kursi. Pak Anggit sepertinya ogah dekat-dekat denganku, dia tadi geser tempat duduk sehingga di antara kamu ada jarak 2 kursi kosong. Melihat ada yang kesulitan cari tempat duduk, Pak Anggit dengan ramah nyuruh mereka jangan sungkan bergabung. Aku mendesah lega, seenggaknya di meja ini bukan cuma kami berdua. Untuk ukuran seorang bos besar, kuakui Pak Anggit sangat sopan, ramah, dan penyabar. Dia juga cukup bijak memaklumi kesalahanku yang pertama, dan yang ke dua ini entah apa permakluman itu masih ada. Dia tidak meledak mungkin karena dari sananya udah terlatih mengendalikan emosi, terlebih di tempat ramai. Sebab aku ragu kalau ada orang beneran baik hati. *** Entah dari siapa, Mbak Eli sudah mendengar kejadian di kantin siang tadi. Dia ngomel panjang sekali tanpa memberi aku kesempatan menjelaskan. Aku dengarkan semua omelannya dengan legowo. Lagipula Mbak Eli memang begitu kalau anak buahnya bikin masalah, marahnya cuma di sampai di mulut saja, kecuali kalau kesalahan itu fatal banget, baru nggak ada ampun. Untuk yang kasusku ini, dia bilang dia udah minta maaf ke Pak Anggit dan Pak Anggit katanya dia heran bagaimana aku bisa menyelesaikan pekerjaan dengan sifat gampang panik dan tidak solutif begitu. Yah, bisa dibilang aku diampuni. Tapi citraku udah jelek dimata Pak Anggit. Apa aku mulai cari kerjaan baru saja, ya? Aku takut tidak bisa dapat kesempatan dipromosikan naik jabatan dengan image begini. Aku berjingkat merasakan kakiku tiba-tiba lembab, di bawah sana seekor kucing entah muncul dari mana menjiat-jilat kakiku. Mata beningnya menatapku, seperti anak kecil sedang minta sesuatu. "Mau ini?" tanyaku menggoyangkan stik sosis bakar yang kumakan sambil nunggu jemputan Putra, adikku. Hari sudah hampir gelap, kantor sudah sepi, kegiatan di pabrik juga sudah selesai dua jam lalu. Aku menunggu Putra di halte tepat depan gedung Nitiharta. Tidak ada siapa pun di halte ini selain aku dan si kucing. Kucing itu mengeong imut, aku mengambil satu gigitan besar sebelum memberikan sisanya pada si kucing. Aku berjongkok lantaran tergoda mengelus bulunya. Aku sangat menyukai kucing tapi tidak pernah diizinkan memelihara satu di rumah karena Ibu ragu aku mau repot mengurus makan dan kebersihannya. "Makan yang banyak, biar gemuk," seandainya aku bisa mengatakan itu ke Pak Anggit juga. "Udah beranak berapa kali lo, Cing?" anggap saja aku gila mengajak kucing mengobrol. "Gue juga pengen nikah terus beranak, Cing, tapi sama siapa?" "Meww..." "Iya, kasian banget nasib gue, ya? Makasih, Cing, udah prihatin." Bukannya aku ngebet ingin menikah, kalau membayangkan kompleksnya urusan rumah tangga seperti kata orang-orang, aku juga ngeri. Tetapi perasaan yang lebih sering muncul itu rasa ingin, daripada ngeri itu sendiri. Nggak sama sembarang lelaki, aku ingin nikah sama yang minimal punya pekerjaan tetap di tempat bagus. Yang kalau menyebutkannya saja orang langsung wah, bukan semacam oh meremehkan gitu. Agar keluargaku dihormati. Tidak diremehkan hanya karena di rumahku tidak ada sosok laki-laki atau seseorang yang berpengaruh. Kerja keras Mama tetap tidak dianggap apa-apa meski terbukti bisa mengantar aku sampai sarjana, padahal yang dialami dan di lewati Mama sama sekali tidak mudah. Di keluarga besar, suaraku tidak terlalu didengar walau mereka sudah bisa melihat hasil kerjaku sedikit-sedikit. Aku masih dianggap anak kecil karena aku belum berumah tangga, sementara sepupuku yang baru umur 20 tahun tapi sudah menikah, sudah dilibatkan di banyak pengambilan keputusan. Dia dianggap sudah dewasa dan mandiri. "Lo kalau mau kawin lihat-lihat lakinya nggak sih, Cing? Apa main sikat aja?" "Meww..." "Seandainya manusia bisa kayak gitu, Cing. Gue nggak perlu susah-susah cari jodoh. Mana karir gue di sini terancam mandek lagi gara-gara bikin si Bos kesel. Gue mesti gimana dong, Cing. Masa udah ngelewatin quarter life, hidup gue masih krisis-krisis aja." "Meww..." Asyik kupijat-pijat badan si kucing sambil dia makan, tiba-tiba dia kabur ke arah belakangku. "Eh, Cing, mau kemana lu--" Aku nyaris terjengklang saking kagetnya melihat Pak Anggit berdiri tak jauh di belakangku dengan kaleng makanan kucing. Si kucing langsung mendekati kaki Pak Anggit dan bermanja-manja di sana, tahu aja dia siapa yang bisa ngasih makanan lebih enak. Tunggu sudah berapa lama dia berdiri di sana, aku tadi nggak ngomong macam-macam, kan? Enggak deh, kayaknya. Segera aku bangkit dan memperbaiki sikap berdiriku jadi sesopan mungkin. "Kamu kasih dia makan?" tanyanya padaku. "Eh? Oh, iya, Pak. Sedikit sisa sosis saya." Pak Anggit berjongkok meladeni ajakan manja-manja di kucing. "Dia kayaknya nggak sabar nunggu saya beli makanan, makanya kabur." "Oh, gitu..." Aku takut salah omong lagi, mending diam saja. *** Ya Allah, kalau saja dari awal aku nggak tahu siapa orang yang lagi jongkok ngasih makan lima ekor kucing di pinggir got itu, pasti aku akan mengira dia anak muda dari rantauan habis keliling cari kerja sambil bawa map cokelat, soalnya pakai kemeja putih dan kurus banget sampai kelihatan meringkuk duduknya. Terus dia berbagi kesedihan dengan berbagi makanan sama kucing-kucing jalanan. Padahal mah dia CEO Nitiharta. Pak Bos Anggito Hartawan. Berhubung aku penasaran Pak Anggit membawa kucing itu ke mana, jadi aku ikutin di belakang. Mereka ke jalan kecil di samping gedung yang merupakan akses keluar masuk karyawan pabrik. Kalau dilihat dari interaksinya dengan kucing-kucing itu, sepertinya ini bukan kali pertama dia memberi mereka makan. "Bengong jangan di tengah jalan." Aku mengerejapkan mata, ternyata Pak Anggit sadar aku mengikuti tapi membiarkan. Aku pun baru sadar juga kalau aku berdiri di tengah jalan. Jalan selebar 4 meter ini memang jalan buntu, di belakang pas adalah pabrik dan parkir karyawan. Segera aku bergeming, tertarik ikut melihat anak-anak kucing itu makan. Aku menunggu Pak Anggit akan mengusirku atau bertanya kenapa aku duduk di depannya, tapi tidak ada. Sepertinya Pak Anggit pun nggak keberatan aku nimbrung. Untungnya aku hari ini memakai celana sehingga bebas mau jongkok. Sambil melihat mereka makan, aku curi-curi lirikan ke Pak Anggit. Kalau diliat-lihat dia cukup menarik kok, kalau nggak ada jerawatnya, mukanya mirip Rendy Pandugo, cuma ya lebih hitam dan cungkring sedikit lah. "Bapak suka kucing, ya?" tanyaku basa-basi setelah mempertimbangkan masak-masak. "Biasa saja. Ini cuma kasihan mereka keliaran di sini nggak ada yang kasih makan." "Oh, jadi sebelumnya pernah kasih mereka makan juga, Pak?" "Hm, udah tiga hari ini selalu saya kasih makan sebelum pulang." "Wah, Bapak baik banget." Seketika tawa garingku berhenti saat tiba-tiba dia menatapku tajam. Apa aku salah bicara lagi? Aku harap-harap cemas menunggu kiranya apa yang akan dia lakukan selain menatapku dengan tatapan antara malas dan tersinggung itu. Tanpa sadar aku mengembuskan napas lega saat dia kembali menunduk pada kucing-kucing itu. Daripada cemas terus, mending aku pergi aja. Baru saja aku hendak bangkit, Pak Anggit tiba-tiba bertanya, "kamu nggak pulang?" "Nunggu jemputan adik, Pak. Baru jalan dari kampus katanya. Bapak sendiri, kok belum pulang?" "Nunggu jemputan juga." "Oh, supir, ya, Pak? Tapi bukannya biasanya supir yang nunggu tuannya?" "Ya karena ada satu dan lain hal, maka jadi nggak biasanya." "Oh, gitu." aku manggut-manggut, bermaksud menyetop sampai di situ, tapi mulut ini gatal. "Memang satu dan lain halnya itu apa, Pak?" "Bukan sesuatu yang penting buat kamu tahu." "Oh, iya, maaf lancang, Pak. Cuma kagum aja Bapak pengertian sekali mau menunggu supirnya, padahal kan Bapak orang sibuk ya, Pak. Nggak semua Bos bisa sesabar Bapak." Lirikan Pak Anggit diarahkan padaku lagi, seperti ingin berkata sesuatu yang seolah ada di luar nalar dia. Akhirnya Pak Anggit cuma geleng-geleng kepala sambil menundukkan pandangannya lagi, seolah malas melihat wajahku. Tunggu, salahku apa lagi memangnya? Perasaan dari tadi aku memuji-muji dia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN