Hari minggu berlalu tanpa ada kejadian yang berarti. Seharian aku hanya nonton drama Korea dan juga anime. Ditemani oleh Michiru yang sibuk memainkan ponsel barunya. Dia juga mulai mengirim e-mail pada Seika, Kazuyoshi dan juga Tetsushi.
Hari senin pagi, aku dibangunkan oleh alarm seperti biasa, dan langsung bersiap-siap untuk berangkat sekolah, membuat sarapan dan juga bekal makan siang. Tetapi, aku sedikit terkejut ketika berjalan keluar dari kamarku.
Sebelah alisku terangkat karena heran dengan Michiru yang ada di ruang tengah sepagi ini. Biasanya jam segini dia masih tidur …
“Michiru, selamat pagi!” kataku menyapa Michiru. Tetapi tidak ada jawaban darinya. Merasa sedikit kesal, aku berjalan mendekat ke arah Michiru dan melihat sedang apa dirinya sampai tidak mendengar sapaanku itu.
Ternyata, dia tertidur dengan posisi tidur. Ponsel baru yang kemarin saja ia beli berada di tangannya. Jangan-jangan … orang ini main ponsel baru semalaman!?
“MI-CHI-RUUUUUUUU!!” sahutku kencang, yang akhirnya membangunkan Michiru sampai ponsel yang ada di tangannya terlempar. Dengan gesit, aku mengambil ponsel itu sebelum jatuh ke atas lantai.
Michiru mengusap-usap dadanya seperti jantungnya sudah copot. “Akari! Kalau aku mati muda karena serangan jantung bagaimana!?”
Aku hanya terkekeh pelan. “Lagi pula, kenapa kau tidur di sini? Cepat siap-siap, bantu aku buat sarapan.”
“Hah? Sarapan? Bukannya masih malam …” perkataan Michiru langsung menggantung di udara ketika ia melihat jam dinding. “Akariii! Aku kira masih malam! Terlalu asik main ponsel nih aku!”
Aku hanya mendesah panjang. “Makanya jangan kebanyakan main. Aku sita dulu untuk hari ini!”
Meski terlihat ingin protes, tetapi Michiru tidak melakukannya. Dengan cepat ia pergi ke kamarnya dan mengganti pakaiannya ke seragam sekolah.
Aku mulai menyiapkan sarapan, setelah Michiru selesai berganti pakaian, dengan sihirnya ia membantuku untuk membuat makan siang.
“Michiru, kira-kira aku bisa belajar sihir, tidak?” tanyaku karena tertarik dengan alat masak yang bergerak-gerak sendiri dan mulai masak makan siang.
Dilihat dari wajahnya, sepertinya Michiru sedikit bingung kenapa aku tiba-tiba bertanya seperti itu. “Memang kenapa? Kok tiba-tiba kamu nanya hal seperti itu?”
“Hehe, habis kelihatannya enak! Tinggal pakai sihir, semua pekerjaan rumah selesai, dan kamu cuman duduk santai begitu,” kataku.
Michiru menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bilang aja kamu malas!”
Meski tidak terima dengan komentar Michiru seperti itu, tetapi aku tidak bisa membantahnya karena memang sedikit benar. Dengan pisau dapur yang diangkat sedikit tinggi, Michiru langsung menutup mulutnya rapat dan membantuku membuat sarapan dengan kedua tangannya, sedangkan alat-alat masak lainnya menari-nari sendiri di udara untuk membuat makan siang.
Ah, jika Michiru memilih untuk tetap tinggal di sini … mungkin aku tidak perlu masak lagi!
“Kenapa senyum-senyum begitu?” tanya Michiru tiba-tiba.
Aku langsung mencoba memasang wajah tanpa ekspresi. “Tidak tuh.”
Dengan cepat sarapan langsung selesai dibuat, Michiru menjentikan jarinya dan semua piring dan gelas untuk sarapan langsung melayang ke atas meja makan. Hm, setidaknya aku sudah biasa dengan kejadian piring terbang ini.
Setelah selesai sarapan, bekal makan siang juga sudah selesai dibuat. Alat-alat masak itu langsung membersihkan dirinya sendiri! Kira-kira ada buku untuk belajar sihir tidak ya? Sepertinya Michiru tidak ingin mengajariku sihir.
Dengan pikiran seperti itu, akhirnya aku dan Michiru berangkat menuju sekolah bersama-sama. Tidak seperti biasanya, di papan pengumuman yang tertempel di dekat loker untuk mengganti sepatu, banyak orang-orang yang berkumpul di sana.
“Akari, pagi~” Seika tiba-tiba muncul di belakangku.
Apakah ini yang namanya karma langsung karena tadi pagi aku mengejutkan Michiru? “Pagi, Seika. Ada pengumuman apa sih sampai ramai begini?”
“Ah …” wajah Seika langsung berubah seketika. Sepertinya ia tidak mau membalasnya.
Michiru langsung menarik tanganku. “Ayo kita lihat, Akari!” katanya dan langsung menerobos lautan manusia(?) sampai bisa melihat tulisan yang ada di papan pengumuman itu.
Ternyata, di sana tertulis pengumuman tentang olimpiade Matematika dan Sains. Di dalam pengumuman itu juga tertulis hadiah uang yang cukup besar.
“Woooo, Akari, ayo kita coba ikutan!” kata Michiru terdengar semangat.
Dengan cepat aku menarik Michiru untuk menjauh dari sana. “Olimpiade ini lebih cocok diikuti oleh Seika!”
“Seika? Kenapa hanya Seika?”
Aku sedikit lupa kalau Michiru sepertinya belum terlalu mengenal yang lainnya. “Meski sikapnya seperti itu, tetapi Seika selalu mendapat nilai tertinggi di sekolah ini.”
“Apa maksudnya dengan sikapku yang seperti ini!?” pertanyaan Seika langsung terdengar dari belakangku.
Aku hanya terkekeh pelan sambil memutar tubuhku menatapnya. “Ayolah, itu pujian! Pujian!”
Seika tersenyum tipis. “Kalau itu pujian, tidak masalah! Ayo kita ke kelas~”
Untung saja pembicaraan itu cepat berakhir sebelum masalahnya menjadi lebih rumit. Setelah sampai di kelas, hal pertama yang menarik perhatianku adalah Kirishima yang mengedipkan sebelah matanya padaku. Dengan cepat aku mengalihkan pandangan, sedangkan Michiru menatapnya dengan tajam. Setelahnya aku langsung menyapa Tetsushi dan Kazuyoshi yang sudah sampai, lalu mulai membicarakan poster olimpiade itu.
Seketika aku mengingat kalau semalam Kirishima dan Asuka bertemu … tapi sampai lonceng bunyi masuk kelas berbunyi, aku belum melihat Asuka datang. Apa mungkin hari ini dia tidak masuk sekolah lagi?
Takamura-sensei datang dengan wajah malasnya seperti biasa. Dengan suara yang tidak kalah malas ia berkata, “Ah … Rizumu jangan lupa datang ke ruanganku nanti setelah jam sekolah selesai. Karena semua kursi terisi penuh, berarti semuanya hadir … ah tunggu, ternyata ada yang kosong satu.”
“Sensei~ Asuka masih belum masuk sekolah lagi.”
Takamura-sensei menulis sesuatu di daftar absen. “Mmm, Asuka. Sepertinya Sensei dapat surat dari keluarganya kemarin. Tapi Sensei lupa simpan di mana …”
“Sensei, sebenarnya Sensei punya surat izin mengajar tidak?” tanya seorang murid laki-laki. Satu kelas itu langsung penuh dengan tawa.
Karena tahu kalau muridnya bercanda (atau dia memang tidak peduli) Takamura-sensei berkata, “Mmm, nanti Sensei bawa surat izin mengajarnya lain hari. Kalau begitu, kelas selanjutnya jangan ada yang bolos!”
Seperti biasa, jam yang diisi oleh Takamura-sensei selalu selesai dalam waktu singkat. Guru untuk pelajaran selanjutnya langsung masuk ke dalam kelas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya pelan merasa kasihan karena kelas ini memiliki wali kelas sepertinya. Tetapi semua murid yang ada di kelas itu merasa senang karena Takamura-sensei lebih mudah diajak bicara dibandingkan guru lain (atau mungkin Takamura-sensei hanya tidak peduli).
.
.
Saat jam makan siang, seperti biasa aku langsung mendorong mejaku untuk makan bersama dengan Seika. Tetapi tidak seperti biasanya, Seika terlihat tidak bersemangat.
“Ada apa, Seika? Apa tadi pagi kau masak sarapan sendiri?” kataku menggodanya.
“Mmm? Tidak, pembantuku sudah kembali dari liburannya,” jawab Seika. Tidak sesuai dengan bayanganku.
“Apa kau sakit? Mau kutemani ke ruang kesehatan?”
Seika membalas dengan menggelengkan kepalanya. “Aku baik-baik saja.”
“Apa ada hubungannya dengan Takamura-sensei yang memanggilmu ke ruangannya?” tanya Michiru yang ikut bergabung denganku dan Seika sambil membawa kotak makan siangnya.
“Mmm, sepertinya Kepala Sekolah menyuruh Takamura-sensei untuk memintaku ikut olimpiade itu,” kata Seika semakin pelan. Di akhir kalimatnya ia mendesah panjang.
“Memang kenapa? Bukankah bagus kalau sekolah ini memilihmu untuk menjadi perwakilan mengikuti olimpiade itu?” tanya Tetsushi yang ikut bergabung, Kazuyoshi mengikutinya di belakang.
“Ah, jangan bilang kau masih ingat Homura?” kata Kazuyoshi tiba-tiba.
“Argh! Jangan sebut namanya di depanku!!” kata Seika mulai mengacak-acak rambutnya terlihat kesal.
“Homura? Siapa Homura?” tanya Michiru bingung.
“Itu … saat Sekolah Menengah Pertama, aku, Seika, Kazuyoshi dan Homura masuk di sekolah yang sama. Seika yang dari dulu memang sudah pintar, selalu berada di urutan pertama satu angkatan, sedangkan Homura selalu mendapat urutan kedua. Karena Homura tidak pernah mengalahkan Seika, tiba-tiba dia menantang Seika di ujian berikutnya, yang kalah harus menuruti keinginan yang menang!. Coba tebak apa yang terjadi selanjutnya!” kataku sengaja memotong ceritanya.
“Argh!!” Seika hanya menggeram kesal mengingat kejadian lama. Kazuyoshi bahkan tertawa terbahak-bahak.
Hanya Tetsushi dan Michiru yang memasang wajah penuh tanda tanya. “Seika mendapat urutan pertama lagi?” jawab Michiru tidak sabar.
“Benar. Nah, kira-kira apa yang Seika minta?” tanyaku kembali menggantungkan cerita.
“Emm, menyuruh Homura untuk tidak mengganggunya lagi?” jawab Tetsushi.
“Hampir benar! Coba tebak lagi!”
“Ah, langsung saja cerita sih!”
Tawa Kazuyoshi semakin terbahak-bahak, akhirnya dia yang melanjutkan ceritanya. “Rizumu menyuruh Homura untuk tidak mengganggunya lagi dan melarangnya untuk mendaftar di sekolah yang sama karena Rizumu tidak mau merasa terganggu oleh seseorang yang selalu menantangnya, padahal Rizumu sendiri tidak pernah berpikir kalau Homura adalah saingan!”
Michiru langsung menekan dadanya dengan dramatis. “Ya ampun, Seika … aku tidak tahu kalau kau memiliki hati sejahat itu!”
Tetsushi mengangguk-anggukkan kepalanya setuju. “Seseorang yang bernama Homura ini pasti sangat trauma.”
Seika hanya mendengus panjang. “Ayolah, saat itu aku masih belum peka …”
Aku hanya terkekeh pelan mengingat sikap Seika ketika Sekolah Menengah Pertama. Sikapnya sangat dingin dan angkuh karena kedua orang tuanya selalu meninggalkannya sendiri untuk urusan pekerjaan. Setelah berteman denganku yang juga memiliki keadaan yang sama dengannya, sikapnya mulai berubah menjadi sekarang ini … aku sedikit merindukan Seika yang dulu. Lebih menyenangkan menggodanya dibanding sekarang!
“Tahun lalu, ketika Rizumu diminta oleh Kepala Sekolah untuk mengikuti olimpiade yang sama seperti yang ada di papan pengumuman hari ini, ia bertemu dengan Homura lagi!” Kazuyoshi melanjutkan ceritanya.
“Lalu?” tanya Michiru dan Tetsushi bersama.
“Homura langsung menantang Rizumu lagi. Jika salah satu di antara mereka mendapatkan nilai lebih tinggi dari yang lainnya. Tantangannya sama seperti sebelumnya, yang kalah harus menuruti keinginan yang menang!” tambah Kazuyoshi.
“Lalu Seika menang lagi?” tanya Michiru.
“Itu benar. Lalu, apa yang diminta Rizumu?” Sepertinya Kazuyoshi senang membuat Michiru dan Tetsushi penasaran. Aku hanya terkekeh pelan sambil memakan bekal makan siangku, sedangkan Seika terus menutup telinganya tidak mau dengar.
“Jangan-jangan … Seika menyuruh Homusiapalah itu untuk tidak mengikuti turnamen lagi?” jawab Michiru.
“Hoho, tidak! Rizumu tidak mengatakan keinginannya dan langsung meninggalkan Homura!”
Kali ini, Tetsushi yang memegang dadanya dengan dramatis. “Aku yakin jika sebelumnya sikap Rizumu belum membuatnya trauma, kali ini dia pasti akan trauma!”
“AAAAaaaAAa~ sudahlah hentikann!” kata Seika mulai kesal.
Kazuyoshi tertawa semakin terbahak-bahak, tapi tidak melanjutkan cerita tentang Seika dan Homura lagi.
.
.
Seika menarikku dengan paksa untuk menemaninya menuju ruangan Takamura-sensei. Mengingat kejadian sebelumnya, aku menyuruh Seika untuk menjauh sebentar dari pintu. Setelah Seika menjauh dari pintu ruangan Takamura-sensei sejauh lima meter, akhirnya aku membuka pintu ruangan itu dengan hati-hati.
Benar saja, ketika asap hitam mulai keluar dari sela pintu, aku langsung berlari dan menjauh dari ruangan itu. Sedetik kemudian terdengar suara ledakan pelan dari dalam ruangan Takamura-sensei.
“Akari! Akari suara ledakan apa itu!? Apa Takamura-sensei sebenarnya teroris yang sedang merakit bom di dalam sana!?” tanya Seika terlihat benar-benar panik.
Perkataan itu sedikit membuatku berpikir ada benarnya juga. “Mungkin percobaannya gagal lagi … ayo kita masuk. Biasanya setelah ledakan, ruangan Takamura-sensei tidak berbahaya lagi.”
Meski sedikit ragu, Seika tetap mengikutiku untuk masuk ke dalam ruangan Takamura-sensei. Sama seperti sebelumnya, asap hitam menghalangi pandanganku karena penelitiannya baru saja meledak. Suara batuk Takamura-sensei terdengar, dan akhirnya ia membuka jendela ruangan itu. Asap hitam langsung keluar melalui jendela, dan Takamura-sensei yang wajahnya penuh dengan debu hitam terlihat.
“Ah, kalian sudah datang,” katanya setelah batuk berkali-kali.
“Sensei … jika kau menyuruhku datang ke ruanganmu untuk menjadikanku kelinci percobaanmu. Dengan segala hormat aku menolaknya,” kata Seika yang hampir saja memohon sambil bersujud karena saking takutnya.
“Oh, karena kau mengatakan hal itu, Sensei jadi dapat ide untuk melakukannya,” kata Takamura-sensei.
Seika langsung bersembunyi di belakangku dengan cepat. “Sekolah ini bisa-bisa dihancurkan oleh kedua orang tuaku jika sesuatu terjadi padaku!”
Takamura-sensei tertawa pelan, tetapi di akhir tawanya terdengar ia mendecakkan lidahnya tidak ingin menyerah. “Aku hanya ingin menyampaikan pesan padamu dari Kepala Sekolah.”
“Ah … pasti tentang olimpiade itu?” tanya Seika.
“Itu benar,” jawab Takamura-sensei.
Pegangan tangan Seika pada bahuku semakin kencang. “Sensei, apa seorang murid bernama Homura mengikutinya?”
Takamura-sensei menggaruk pipinya pelan. “Sensei belum tahu. Nanti akan Sensei tanyakan pada Kepala Sekolah. Apa kau ada perlu dengan Hokuma ini?”
“Homura, Sensei. Pokoknya, kalau ada yang namanya Homura ikut olimpiade itu, tolong bilang pada Kepala Sekolah aku menolak untuk mengikuti olimpiade itu!”
Takamura-sensei hanya menganggukkan kepalanya sekali. “Baiklah, akan Sensei sampaikan pada Kepala Sekolah.”
Terdengar kata ‘Yes!’ pelan di telingaku dari Seika. “Terima kasih Sensei~ karena tidak ada hal lain lagi, aku dan Akari boleh pergi, ‘kan?”
Takamura-sensei menjawab perkataan itu dengan menganggukkan kepalanya sekali. Lalu membuat gerakan tangan mengusirku dan Seika.
Setelah keluar dari ruangan itu, aku dan Seika sama-sama bernapas lega. “Semoga Homura itu tidak ikut, ya?” kataku.
Seika menganggukkan kepalanya cepat. “Lagi pula, jika dia ikut juga aku akan langsung undur diri!”
.
.
Keesokan harinya, saat aku baru saja membuka pintu ruang kelas, Seika langsung menabrakku dan mulai menggoyang-goyangkan tubuhku.
“Akari~ Takamura-sensei jahat sekali!” rengek Seika.
“Kenapa?” kataku sambil mencoba untuk melepaskan pelukan kencang dari Seika.
“Lihat! Aku tetap didaftarkan untuk ikut olimpiade, padahal Homura ada di dalamnya!” kata Seika sambil memperlihatkan kertas yang dipegangnya padaku.
Benar saja, ada nama Homura di sana. “Apa Takamura-sensei lupa bertanya pada Kepala Sekolah?”
Seika menggelengkan kepalanya. “Takamura-sensei memang bertanya pada Kepala Sekolah, tapi dia bertanya Hokuma, bukan Homura …”
Aku langsung memukul keningku dengan keras. Seharusnya aku dan Seika yang menyampaikannya langsung pada Kepala Sekolah. Setelah ini aku tidak akan banyak berharap lagi pada Takamura-sensei.